Oleh Setia Naka Andrian
Barangkali, setelah Kendal kota kecil tempat lahir dan tinggalku itu, Leiden inilah kota selanjutnya yang sangat kucintai dan selalu kurindu. Setelah meneguk sekali pada 2019, lalu kini 2024, kemudian waktu selanjutnya ingin lagi dan lagi. Bismillah, semoga selalu ada kesempatan pada waktu-waktu berikutnya untuk melanjutkan belajar, untuk menyelam dalam-dalam, untuk selalu dahaga tanpa merasa penuh isi gelasnya...
Jika menyebut Belanda, tentu didapati narasi-narasi tak baik yang ditanamkan dalam benak ini kala masih duduk di bangku sekolah dasar. Meski kemudian, ketika melanjutkan studi di bangku kuliah, jika dihadapkan sejarah dan beberapa hal tentang peninggalan masa lalu dari bangsa Indonesia, maka Leiden adalah semacam tubuh berikutnya selepas mengenal Belanda.
Apa lagi ketika saya studi di Universitas Negeri Semarang, sekitar 2011-2014, salah satu dosen yang mengajarku adalah lulusan Universitas Leiden. Ia banyak berkisah mengenai pendakian studinya di Leiden. Bagaimana bahasa yang saling meminjam, saling memiliki, hingga perihal pasar tiban di tepi kanal yang buka dua kali seminggu: Rabu dan Sabtu itu begitu saja nyangkut dan kemudian mengeram cukup berat di benak-batinku.
Ya, dosen itu adalah Prof. B Karno Ekowardono. Aku cukup tertarik untuk mengikuti kuliahnya. Meski sungguh, mata kuliah yang diampunya, yakni Morfologi, selalu saja menjerumuskanku untuk berkali-kali remedi. Yang kuingat, sepertinya aku satu-satunya mahasiswa terburuk untuk menerima mata kuliah itu. Sampai suatu saat, aku begitu ingat bagaimana Prof. Eko menerimaku seorang diri di meja kerjanya. Berkali-kali begitu, meski ia begitu sabar meladeni kebodohanku. Hingga akhirnya, entah karena kasihan atau bagaimana, karena telah berkali-kali nilai selalu kurang, maka sudah pada akhirnya aku bisa lulus mata kuliah yang bagiku begitu angker itu. Sepertinya lulus dengan nilai paling minimal dan tentu aku yakin itu nilai yang dipengaruhi belas kasihan. Juga sempat beberapa kali minta bantuan pula kepada teman kanan-kiri yang sama-sama menempuh mata kuliah itu. Bukan minta bantuan ketika menggarap ujian, tapi minta bantuannya sesaat selepas nilai saya buruk dan harus mengulang ujian lagi, lagi, dan lagi. Sebab aku ingat betul, ujian mengulangnya itu harus dilakukan di hadapan Prof. Eko, di ruang kerjanya. Meski aku kadang kalau ingat menertawai kelucuanku kala itu, betapa bodohnya aku, soal yang dikerjakan ketika remedi itu adalah soal yang sama persis dikerjakan ketika ujian kali pertama. Aku ingat, mengulang ujian (kalau nggak salah) sampai tiga kali, tapi tetap saja nilainya kurang. Betapa entahnya aku kala itu, meski barangkali sampai sekarang pun masih sangat entah juga.
Hanya saja bagiku, terserah macam apa. Itu kulewati saja sedemikian rupa. Mengalir apa adanya. Sebab bagiku kala itu: tidak harus saya pandai banyak hal, satu atau mungkin setengah atau seperempatnya saja sudah cukup, asalkan yang itu benar-benar diupayakan melampaui apa saja yang kiranya dilakukan oleh orang-orang lain. Ibaratnya, cari jalan lain, cari celah untuk dapat mencapai titik tertentu. Bisa pula berupaya menemukan langkah-langkah yang mungkin tidak begitu banyak dilalui dan dipikirkan banyak orang. Meski tetap yang utama, berupaya melakukan yang setengah atau seperempat itu lebih daripada apa yang dilakukan orang lain, maka tentu insyaallah akan mendapatkan sesuatu yang lebih pula daripada yang didapatkan oleh orang lain. Sudah, sejak itu aku kiranya memahami rumus kecil semacam itu.
Maka sudah, saya terima apa adanya nilai-nilai buruk masa-masa sekolah, masa kuliah, dan bahkan sejak studi sarjana saya sudah kerap mengulang mata kuliah mengikuti kelas adik kelas, tidak hanya mengulang ujian saja! Bahkan hingga studi doktoral yang baru usai beberapa bulan lalu itu, aku sempat pula mengulang satu mata kuliah mengikuti kelasnya adik kelas. Dalam hati menyenangkan diri: tak apalah, malah keren, ikut kelasnya adik kelas malah bisa jadi merasa senior yang ditakuti adik-adik kelasnya, dikira lebih paham karena telah mengulang materi dibandingkan dengan adik kelas!
Meski cukup menyenangkan, ketika mengulang kelas itu, ketika saya studi di Universitas Negeri Yogyakarta, dalam mata kuliah yang cukup dianggap angker itu, aku bisa mendapatkan nilai A meski semua tahu kalau teman-teman serupa aku, mendapatkan nilai tak baik. Entah kenapa, tapi ketika sempat aku berjumpa dengan dosen penganpu, ketika sowan bersama teman-teman sekelas, dan aku tanyakan kenapa aku mendapatkan nilai baik, jawabannya: karena memang apa yang Anda presentasikan cukup bagus!
Baiklah, meski aku ingat, presentasi itu kulakukan secara daring ketika kalau tak salah ingat pada 2020 atau 2021 sedang menjalani residensi di Kayong Utara Kalimantan Barat. Aku ingat, dalam mata kuliah itu aku mempresentasikan topik politik bahasa yang berkaitan dengan perubahan Ejaan Suwandi menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Meski selepas presentasi, salah satu adik kelas merespon presentasiku dengan bertanya dan diakhiri: presentasi Anda membuat ngantuk, Mas! Tapi masa bodoh batinku, yang penting pengampu senang. Bisa jadi (kalau boleh menyenangkan diri): ngantuk adik kelas itu karena membosankan bagi orang yang susah memahami apa yang kusampaikan, karena tak cukup bisa masuk alias kurang gaul untuk memahami materiku.
Baiklah, aku kembalikan kepada Leiden. Kenapa pula kota ini kuberi tanda cinta setelah Kendal sebagai kota lahir dan kota tinggalku yang sungguh sulit aku tinggalkan itu. Bahkan aku kerap kali mencantumkan di berbagai identitas diri ketika menulis di media atau dalam biodata buku-bukuku: lahir dan tinggal di Kendal! Dalam batin pun meyakini: diri ini ingin selalu tinggal di Kendal, kota lahir itu. Tidak ingin bergeser ke lain tempat. Sebab, kian ke sini, kian banyak memberi arti. Termasuk berbagai laku hidup dan apa pun yang kukerjakan selalu saja bermula dan bermuara dari kota kecil yang dapat dimasuki melalui Jalan Raya Pos itu.
Kemudian, Leiden adalah kota selanjutnya yang memberi makna. Sebab memang sejak didengungkan oleh Prof. Eko kala itu, hingga akhirnya terngiang-ngiang, kemudian punya begitu banyak mimpi untuk menjemputnya, untuk datang melalui keyakinan atas serpihan guyuran kisah kala itu yang merembes begitu saja dan mengakar dalam-dalam. Mungkin, jika ada di antara pembaca yang menyimak catatan kecil ini, kalau pernah diajak Prof. Eko, bisa jadi sempat pula mendapati pengisahan tentang Leiden ketia ia menjalani studi PhD-nya.
Kemudian pada 2019 dari program Komite Buku Nasional Kemendikbud, aku diantarkan untuk residensi ke Leiden dengan kerja penelitian yang diupayakan menghasilkan karya sastra. Lalu pada 2024 ini, aku mendapat kesempatan untuk melakukan riset karya sastra melalui program dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, melanjutkan apa yang sedikit telah kukerjakan ketika menulis disertasi.
Antara Kendal dan Leiden, sejak 2019, lalu riset studi doktoralku, kemudian pada residensi 2024 kali ini, semua berkaitan antara Kendal dan Leiden. Maka sudah pasti, kian ke sini rasa cinta saya terhadap kedua kota itu kian tumbuh menggila. Keduanya sama-sama berarti. Keduanya membuat saya ingin terus menyelami dan menyelami. Tentu sejauh apa yang aku bisa, sejauh apa yang kupilih. Tidak harus banyak-banyak, tidak harus seperti yang dilalui banyak orang di luar sana, yang ramai-ramai, yang megah, yang mewah, dan mungkin yang cepat menghasilkan kepuasan tak terkira.
Biarlah, biar setengah atau seperempat seperti dalam hal aku harus menyelami mata kuliah yang paling aku bisa saja. Sebab setidaknya, kalau aku bisa semuanya, mendapat nilai bagus semua, bisa jadi yang kukerjakan sama sekali tidak ada yang terbaik atau yang mampu melampaui apa yang dilakukan oleh orang-orang lain di luar sana. Minimal lebih atau melampaui itu adalah spiritnya semata. Tak apa, paling tidak bagiku: ada yang lebih. Bukan ada yang kurang alias lebih rendah daripada yang dilakukan oleh orang lain.
Kemudian kali ini, karena Leiden yang kuyakini bermula dari apa yang ditaburkan ke telingaku dari Prof. Eko, maka sudah pada 2024 ketika momen Lebaran kukirimlah pesan singkat WhatsApp kepada Prof. Eko, kemudian tak sengaja kala itu tak lama kemudian aku berkesempatan sedang ngobrol bersama Prof. Willem van der Molen, kebetulan aku bersama manajer pribadiku (alias istri tercinta) sedang diundang makan di rumahnya. Kami disambut hangat dengan masakan dan obrolan khas Belanda oleh Prof. Willem dan istrinya. Aku menyebut nama Prof. Eko kepada Prof. Willem, aku ceritakan mengenai Leiden yang mulai tertanam pada diriku bermula dari kisah Prof. Eko yang kerap mengaku ketika studi di Leiden belajar kepada Prof. E. M. Uhlenbeck. Sontak Prof. Willem menyaut yakin kalau ia mengenal dan ingat betul mengenai Prof. Eko dosen saya yang kerap meladeniku dalam ujian-ujian ulang itu. Apalagi ketika aku menghadapi buku Kajian Morfologi Bahasa Jawa karya mendiang Prof. Uhlenbeck itu. Aduh, kami tertawa di hadapan para istri kami. Tentu menertawakanku!
Kemudian, selepas sampai kamar kos di salah satu rumah di tepi kanal, di daerah Waardeiland Leiden yang dikenal sebagai perumahan elit itu, aku kembali mengirim pesan kepada Prof. Eko, karena aku mendapat mandat untuk menyampaikan salam dari Prof. Willem, karena kala itu sempat saling kenal ketika sama-sama di Leiden. Prof. Eko pun masih ingat dan kirim salam balik, serta aku diminta menanyakan kepada Prof. Willem mengenai kabar dan keberadaan Prof. Hein Steinhauer, salah satu pembimbing Prof. Eko kala itu, selain Prof. Uhlenbeck.
Akan tetapi kemudian, sungguh menyesakkan, saya jika sebentar saja merasakan posisi Prof. Eko pasti sangat sedih sedalam-dalamnya.
Saya teruskan pesan dari Prof. Willem kepada Prof. Eko, tentang informasi mengenai Prof. Hein. Pesan yang sedikit saya sesuaikan, tentu hanya menghapus bagian yang kiranya tak perlu saja. Prof. Willem mengirim pesan kepadaku seperti berikut.
Mas Naka yang baik,
Prof. Hein Steinhauer kurang sehat. Sakit kanker yang stabil tapi mengakibatkan Prof. Hein tidak dapat melihat atau mendengar. Jadi komunikasi tidak mungkin lagi. Operasi tidak mungkin karena terlalu membahayakan (di kepala, dekat otak). Menyedihkan sekali. Kalau Prof. Eko mau, nomor ponsel isteri pak Hein (ibu Meilly) akan saya carikan.
Salam,
Willem
Lalu Prof. Eko menjawab begini:
Kalau bisa komunikasi dengan bu Meilly, saya senang sekali. Matur nuwun sanget. Saya masih punya hutang buku Morfologi Bahasa Jawa dengan Anncangan WP & Teori Leksem (untuk Prof. Hein). Yang saya buat dulu Morfologi Bahasa Indonesia. Sayang sekali Prof. Hein sudah tak bisa baca. Jika bisa baca, pasti beliau senang sekali.