Oleh Setia Naka Andrian
Siapa hendak
turun...
Ke Bandung...ke
Papua...babinya kok turun semua...
Ayolah kawanku
cepat naik...babiku tak berhenti lama...
(Syair
yang dinyayikan dalam pementasan bertajuk “Kado Kebudayaan Akhir Tahun” oleh
Teater Gema IKIP PGRI Semarang, dengan mengusung pertunjukan Latar (Lawak
Teater) dengan lakon “Guru Kepala Burung” karya dan sutradara Danang Septa
Friawan. Kamis, 29 Desember 2011, di Gedung Pusat Lantai 7 IKIP PGRI Semarang).
Tradisi—ciptaan
leluhur yang selalu memutar ingatan generasi selanjutnya. Semacam tradisi
ospek, memihak pada individu tertentu dan melebar kepada individu lain sebagai wujud
budaya yang traktat/ kesepakatan. Sehingga kita akan selalu mengenang tradisi sebagai
sejarah yang memutar. Muncul dengan judul barang mahal yang mudah untuk kita
beli.
Tradisi
yang diusung oleh Danang Septa Friawan mengajak penonton untuk memutar distorsi/
penyimpangan ingatannya masing-masing tentang Papua. Kali ini sutradara
berusaha membibirkan potongan-potongan tradisi yang muncul dari beragam ingatan
penonton. Lalu mengubah pola realitas sosial dari berbagai potongan tradisi yang
sudah terlanjur menjadi putaran gelimang sejarah, dan memporak-porandakan kepada
penonton sebagai hal yang segar dari persoalan-persoalan sosial yang menjenuhkan.
Segar, bukan hanya karena lawak/ banyolannya saja. Melainkan sederet kecemasan
ingatan penonton tentang realitas sosial yang dijungkir-balikkan secara
berhamburan dan berusaha menolak batin mereka untuk mengingat-ingat lebih tinggi.
Awal
pertunjukan yang riang dimunculkan melalui kehadiran tokoh anak-anak SD yang
bernyanyi bersama. Mereka menggerakkan tubuh untuk berderet, berjalan dan
memutar semacam kereta api yang bergandengan. Dengan sangat riang mereka menggemborkan
lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta babi”. Alasan mereka dalam dialog, “karena
di Papua tidak ada kereta api, adanya babi”. Maka mereka sepakat untuk
mengganti kereta api menjadi kereta babi. Mereka terus berjalan dengan hentakan
semangat, memutar mengelilingi pohon dan benda-benda yang berantakan di
sekeliling sekolah dengan seragam yang bersih dan kompak—bendera Indonesia.
Kemunculan
adegan tersebut secara tidak sengaja mengajak penonton untuk memihak batinnya
masing-masing, bahwa itu tidak benar. Sehingga penonton semakin curiga untuk
memproklamasikan mata dan batinnya agar semakin serius menyaksikan distorsi
dialog, syair lagu dan tubuh mereka atas suguhan kebohongan-kebohongan yang
sesungguhnya sudah diketahui dan disadari. Kebohongan pertama mencuat saat
gebrakan awal pertunjukan, penonton beranggapan dan sangat tidak yakin jika semua
siswa SD di tanah Papua berwajah bersih, kulit putih mulus, tampan dan
cantik-cantik serta mengenakan seragam yang rapi dan bersih. Itu bukti bahwa
sutradara yang sekaligus penulis naskah telah memporak-porandakan sebagian
ingatan penonton untuk sedikit mengucurkan airmata ketika melihat kebohongan
yang muncul. Karena penonton yakin di Papua sana tidak seperti yang dilihatnya
di panggung, namun jauh sangat mengerikan. Ditambah lagi sentuhan lagu “Darah
Juang” yang sempat dipopulerkan oleh aliansi LMDI (Liga Mahasiswa Demokrasi
Indonesia) yang digunakan saat demo menggulingkan Soeharto. Dan kali ini lagu
tersebut telah mengarak hati penonton untuk semakin mencumbui cerita. Berikut penggalan
syairnya, “Mereka dirampas haknya. Tergusur
dan lapar. Bunda relakan darah juang kami. Untukmu kami berbakti.”
Realitas Sosial dan Pendidikan yang Pelik
Selanjutnya
beranjak pada proses pendidikan pelik yang dialami oleh anak-anak SD itu, mereka
mengupas antara urusan perut dan otak yang berujung kelaparan dan tradisi malas
belajar. Karena banyak orang bilang kedua hal semacam itu saling berkawin,
logika tanpa logistik maka tidak jalan. Namun dalam pertunjukan ini, distorsi
kembali diputar. Anggapan orang tentang logika tanpa logistik maka tidak jalan,
runtuh seketika. Karena anak-anak SD itu sanggup menentukan budaya kritis melalui
hal-hal kecil yang dihamburkan, ada beberapa keemasan yang tersembunyi. Hal itu
ditunjukkan ketika mereka masih tetap riang dan bergembira dalam kelaparan, namun
masih mampu dengan kritis mengubah lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta
babi” atas dasar fenomena yang mereka tangkap bila di Papua tidak ada kereta. Entah
itu mengalir atas ketidaksengajaan dari sutradara, atau ada upaya lain yang
melatarbelakangi fenomena tersebut. Namun hal itu menuntun penonton untuk
mengemas kecemasan tertentu agar kembali memutar ingatan mereka. Secara tidak
sengaja pula, penonton digiring untuk kembali mengingat persoalan-persoalan pelik
di Papua. Entah tentang keemasan/ gemilang tradisi kritis yang terungkap dari
anak-anak SD itu mengenai dampak negatif desentralisasi terkait pada banyaknya sumber
alam yang hilang, mungkin tentang keadilan yang terpasung mati atau terpaksa
bunuh diri, hingga nyawa-nyawa yang terbang begitu saja tanpa ada tindak lanjut
yang tegas dari pihak pemegang kewenangan/ pemerintah setempat.
Namun
begitulah yang patut disebut tradisi sebagai sejarah yang terus bergulir. Hingga
sosok guru tidak mampu berbuat apa-apa. Seseorang yang seharusnya menjadi leader di bangku sekolah, kali ini hadir
sebagai pecundang yang memilih kalah sebelum bertanding. Guru diam saja melihat
kenakalan dan tingkah liar anak didiknya, contoh kecil ketika mengubah syair
lagu “naik kereta api” menjadi “naik kereta babi”. Juga ketika anak-anak itu
berbuat kekonyolan-kekonyolan yang tidak sesuai dilakukan di sekolah, guru
tetap tidak mampu berkutik. Distorsi kembali bergulir dan semakin semena-mena. Namun
kalau yang seperti ini, menjungkir-balikkan fakta atau memang terangkat dari
realita?
Yang
pasti tidak perlu dijawab. Biarkan menjadi perjalanan teater kedua, pinjam
istilah Afrizal Malna. Bahwa kali ini penonton memiliki otoritas, berhak
memilih jawaban tertentu dari hasil pengamatan serta pengalaman batinnya
masing-masing setelah menyaksikan teater pertama yang disuguhkan di panggung
pertunjukan itu. Dan tentunya penonton digiring untuk menemukan kritik tajam
mengenai akibat desentralisasi pendidikan yang kurang tepat untuk daerah-daerah
tertinggal/ pedalaman.
Banyolan yang Khas Ala Suku Pedalaman
Potret
kehidupan suku pedalaman digarap cukup serius. Sehingga sangat berpotensi
menggiring penonton untuk menyibak banyolan-banyolan yang segar dan mengocok
perut. Sekelompok suku pedalaman yang membawa tombak, menari, bernyanyi ala
Papua dan berlarian beramai-ramai dengan menunjukkan tradisi berkehidupan yang
memikat itu telah berhasil menyihir penonton. Melalui kekonyolan-kekonyolan yang
sengaja dihamburkan sebagai peredam empati mereka, selelah berulang kali dihujani
realitas sosial yang memedihkan mata dan hati. Namun tidak semata kekonyolan
saja yang dibeberkan dalam adegan ini. Ada suguhan yang cukup menarik dan
menggelitik, ketika seorang kepala suku pedalaman yang masih percaya untuk
menyekolahkan anaknya. Sungguh bertolak dari kerasnya pola pikir dan ideologi
yang tertanam secara turun-temurun dari leluhurnya. Sang kepala suku masih mengimani
untuk menitipkan anaknya di bangku SD. Walaupun dari adegan ini masih tetap
saja mengocok perut penonton, garapan yang erat dengan khas banyolan atas dasar
latar belakang ala suku pedalaman. Ditunjukkan ketika anak dari kepala suku
pedalaman hendak berangkat sekolah dikawal oleh dua orang warga suku yang gemuk,
berkulit hitam dan betampang lucu. Dengan tingkah laku yang lucu dan
gila-gilaan pula.
Dan
akhirnya, pertunjukan dipungkasi dengan kehancuran yang begitu saja. Penonton
dibuat kaget, karena tiba-tiba terbaca ending-nya.
Namun tetap saja penonton masih diguyur kondisi di atas panggung yang semakin berkecamuk.
Ketika kehadiran tokoh yang dimaksudkan sebagai kaum kapitalis yang mampu
membeli segalanya. Menyuap para pemegang kewenangan/ pemerintah setempat untuk
menguasai tanah Papua dan menumpas masyarakat suku pedalaman. Termasuk guru
yang dituduh sebagai pelopor Gerakan Separatis Papua Merdeka, lalu akhirnya guru
itu dibunuh juga. Anak-anak SD—simbol generasi pewaris tradisi keadilan yang
terpasung, dihadirkan kembali dalam babak yang paling pungkas. Mereka tak mampu
berbuat apa-apa. Hanya mengeluh, berdoa dan menangis atas kematian seluruh warga
suku pedalaman, orangtua serta guru mereka. Kemudian anak-anak SD itu kembali
menyanyikan lagu “Darah Juang”, sambil membawa lilin yang menyala sebagai wujud
penerangan yang redup. Simbol ilmu/ pendidikan yang pudar.
Guru
Kepala Burung—penggambaran atas leader yang
paling penting dalam pondasi berkehidupan melalui pendidikan. Hadir sebagai
konstruksi yang gagal atas perkawinan tubuh manusia dan kepala burung. Manusia
yang seharusnya utuh atas akal pikirannya, namun runtuh ketika berkepala
burung. Dan jika manusia dimaksudkan sebagai burung yang berpotensi untuk
terbang melangit, namun runtuh pula ketika burung yang bertubuh manusia dan
tidak bersayap.
Begitulah
tradisi tentang sejarah yang memutar ingatan kita terhadap Papua. Akhirnya
memang menjadi sebuah percumbuan mata dan batin kita atas gelimang distorsi
yang muncul dari berbagai dialog, syair lagu, hingga distorsi tubuh yang
bermacam-macam. Penonton secara tidak sadar diculik diam-diam untuk sejenak
menikmati kepedihan-kepedihan yang hingga saat ini selalu saja berakhir
distorsi. Lalu kita semakin sulit mengingat, karena setiap hari lahir jutaan
distorsi dalam tubuh kita—Indonesia.***
Pandean
Lamper, 311211.
1 komentar:
menurut saya,pendidikan itu penting,biarpun itu di pelosok(jauh dari jangkauan).kita sebagai generasi penerus bangsa harus lebih obyektif dalam memperhatkan hal itu. miftakhur rohmah 1A
Posting Komentar