Oleh
Setia Naka Andrian
Siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan
bibit-bibit (sastrawan) yang mondar-mandir pada lingkungan kampus? Para dosen?
Atau keberadaan mahasiswa itu sendiri atas berbagai penunjang kreativitasnya?
Semua benar, berbagai pihak bertanggung jawab
atas masalah ini. Dirinya sendiri otomatis, pasti paling bertanggung jawab atas
survive-nya. Lalu dosen juga punya
pengaruh besar, keterlibatannya pun cukup memiliki singgasana. Ia berfungsi
sebagai pengarah dan pengaruh. Memang dalam proses kreatif sesungguhnya tak
perlu seorang guru/ dosen pun pasti bisa jadi. Namun, kali ini dan dalam
tulisan ini menyatakan bahwa guru/ dosen berpengaruh dalam proses kreatif
seseorang. Ia menuntun pada jalur aman. Ketika dalam persidangan kelas seorang
guru/ dosen menindaklanjuti beberapa orang yang disinyalir memiliki sedikit
amunisi untuk bergelut dalam sastra. Semisal saja diberikan sedikit kelonggaran
waktu dan tempat semisal siswa/ mahasiswa tersebut dimungkinkan harus pernah/
sering bolos sekolah/ kuliah. Ini bukan semata-mata karena pembelaan bagi
orang-orang yang memiliki sedikit atau bahkan banyak kegiatan di luar
pelajaran/ kuliah. Namun ini adalah keadaan yang memang harus diadili.
Beberapa waktu lalu saya pernah menjumpai
mahasiswa yang ternyata ia sering tidak masuk kuliah. Bila masuk pun ia sering
terlambat masuk kelas. Setelah ditelusuri ternyata ia merupakan mahasiswa yang
sering/ aktif mengikuti/ nebeng pada kegiatan/ aktivitas di luar kampus. Nah,
karena terlalu serinya membolos, berangkat dengan tidak berangkat lebih banyak
tidak berangkatnya, bahkan ia sempat tidak mengikuti ujian tengah semester,
juga sempat tidak mengikuti ujian akhir semester. Lalu bagaimana bila Anda
sebagai guru/ dosennya? Apa yang akan dijatuhkan terhadap mahasiswa nggondhes tersebut? Dikondom saja
otaknya ya? Biar nggak keluyuran kemana-mana imajinasi dan kreativitasnya?
Hahaha
Dalam hal ini, diharapkan guru/ dosen mau
mempertimbangkan dengan begitu matang. Jangan langsung memvonis begitu saja
sehingga mahasiswa tersebut tak mampu berbuat apa-apa ketika kehilangan nilai,
bahkan dipersulit untuk mendapatkan nilai. Maka tolong lah, diberi kesempatan
mahasiswa tersebut untuk sedikit berbicara pada ujian susulan dengan peran yang
sama seperti halnya ujian yanmg dilakukan oleh mahasiswa lainnya. Karena saya
yakin hal yang dilakukannya di luar kampus belum tentu dan bahkan tidak dapat
dilakukan oleh semua mahasiswa pada umumnya. Memang semua benar, bila yang di
kampus selalu datang masuk kuliah dan mengikuti ujian pasti dimungkinkan
mendapat nilai bagus. Namun apakah mahasiswa itu juga mampu melakukan hal yang
digeluti oleh mahasiswa aktif di luar tadi? Semisal undangan-undangan yang
terkait tentang sastra, antologi bersama, festival sastra mahasiswa, baik lokal
maupun nasional?
Guru/ dosen juga berpengaruh terhadap iklim
sastra di kampus. Semisal ketika dapat menghasilkan para peneliti sastra yang
benar-benar matang dengan teori dan lincah
menelisik karya. Ia mampu menggiring mahasiswanya yang tidak hanya mencari
nilai. Dengan bertanya mendapat nilai (pikir mahasiswa pada umumnya), padahal
pertanyaannya terkadang sangat ngawur, asal
tanya, pertanyaan yang sudah ditanyakan teman lainnya dan sudah dijawab diulang
ditanyakan lagi, pertanyaan yang sudah tak perlu ditanyakan tapi ditanyakan
lagi. Uh, kacau-kacau. Haha
Peran dosen/ kampus terhadap iklim sastra juga
sebenarnya sangat memiliki singgasana. Semisal, tiap tahunnya berapa kampus
melahirkan karya lewat skripsi-skripsinya. Namun, berapa skripsi-skripsinya
yang benar-benar berpengaruh dari penulisnya? Skripsi yang benar-benar dari
hati ataukah skripsi demi toga? Hehe
Nah, bisa dibilang, mahasiswa yang sering tidak
masuk kelas karena sering mengikuti aktivitas di luar tadi, termasuk sebagai
mahasiswa yang mati suri. Ia terkesan mati dalam urusan kelas, namun
sesungguhnya ia menggelegar hidup di luar sana. Banyak yang dilakukan di luar
sana. Tetap sekolah/ kuliah dan juga tetap keluar. Maka ia adalah insan yang
patut dibilang ampuh, ketika ia dapat melakukan lebih terhadap sesuatu yang
dilakukan oleh orang lain. Maka semoga saja kelak orang-orang tersebut akan
mendapatkan sesuatu yang lebih juga dari yang telah didapatkan oleh orang lain,
amin.
Seperti
halnya seniman yang sering digemborkan telah mati dan jarang beraktivitas.
Namun pada kenyataannya ia tetap menjalani proses kreatif, misalnya saja ketika
seorang seniman masih tetap berproses kesenian dengan siswa-siswa SD, SMP atau
SMA─sebagai guru pengajar tentunya. Namun ia masih tetap menghidupi seni, ia
tetap berproses, walaupun terkadang terkesal mati─mati suri. Maka marilah tetap
berproses. Jangan lelah terhadap satu hal. Karena masih banyak yang harus dan
dapat kita lakukan. Satu tak dapat, cari yang lain. Yang lain belum dapat, maka
teruslah berjuang untuk mendapatkan yang lain lagi. Selamat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar