Oleh Setia
Naka Andrian
Kemerdekaan
bukanlah berarti telah bebas sepenuhnya dengan tidak terkena atau lepas dari
tuntutan. Kemerdekaan bukan pula perayaan dan pesta kesenangan semata.
Barangkali, pahlawan yang telah mendahului kita akan sangat bersedih di alam
sana jika melihat generasi penerusnya tidak mampu mengisi kemerdekaan sesuai
hakikatnya. Mengisi dengan aktivitas hidup yang penuh kebermaknaan dalam
berbangsa dan bernegara.
Setiap
tahun, kita terus mengulang keberadaan diri sebagai individu dan kelompok dalam
pengambilan perannya masing-masing. Merefleksikan diri, seolah-olah kita
kembali pada masa lalu ketika pahlawan pembela bangsa dan megara berjuang untuk
memerdekakan Indonesia. Pahlawan membebaskan diri, melepaskan bangsa ini dari
penjajahan, memberikan kebebasan, dan lain sebagainya. Setiap tahun begitu,
perayaan, pesta, dan kemeriahan. Memaknai kemerdekaan hanya sebatas kesenangan
atas kemenangan. Apakah begitu?
Barang
tentu penulis menyadari, sangat memprihatinkan memang. Di kampung-kampung
halaman, di pinggiran desa, hingga di perkotaan, pemaknaan memperingati hari
kemerdekaan masih sebatas ritual-ritual kesenangan. Di sudut-sudut gang,
perempatan kampung, banyak didirikan panggung-panggung hiburan yang siap
menggoyang masyarakat dengan dangdut koplonya. Lengkap dengan syair-syair
lagunya yang tidak senonoh, tidak patut dan dan sangat tidak sopan. Di
lapangan-lapangan kelurahan begitu riuh dengan perlombaan-perlombaan lelucon
yang mengundang tawa lebar. Dari mulai lomba makan kerupuk, mengambil uang
logam menggunakan mulut, memasukkan pensil di botol, menggendong istri, hingga
lomba memecahkan balon di pantat. Seperti itu cara kita merayakan kemerdekaan?
Kemerdekaan
barangkali sangat erat dan begitu akrab dengan diri kita. Merdeka dari tuntutan
penjara seumur hidup, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak
tertentu, dan lain sebagainya. Lalu apakah ikhtiar untuk mengisi dan atau
merayakan kemerdekaan dengan cara seperti itu? Tentu kita akan menjawab “tidak”
dengan lantang, jika kita bersedia sedikit melihat sejarah dan masa lalu bangsa
ini dengan baik. Hingga setelah itu kita akan lebih berhati-hati dan tentunya
sangat bersungguh-sungguh dalam mengisi kemerdekaan yang sangat mahal ini.
Penanaman
Nasionalisme
Ada
sebagian masyarakat kita beranggapan, bahwa beragam perlombaan lelucon yang
mengundang tawa lebar itu semata-mata niatan untuk mempermudah pengenalan hari
kemerdekaan negeri ini kepada anak-anak. Maka perlombaan-perlombaan itu pun
dikemas dengan lelucon dan sorak-canda yang pastinya sangat mengundang tawa
bagi khalayak. Lalu apakah akan selalu dan terus-terusan semacam itu? Penulis
sangat ingat, sejak kecil bahkan hingga saat ini, masih saja begitu yang
terjadi. Sangat jarang ada perayaan berisi kegiatan yang memupuk nilai-nilai
nasionalisme bagi generasi masa depan bangsa dan negara ini. Misalnya dengan
perlombaan-perlombaan terkait sains, kesenian, dan budaya. Pasti semua masih
selalu dimaknai sebagai pesta dengan segenap kesenangan-kesenangannya.
Barangkali
pemaknaan perayaan hari kemerdekaan yang sesuai hakikatnya tidak dapat kita
lakukan semudah membalik telapak tangan. Perlu ada pendekatan-pendekatan
tertentu dan penyadaran mendalam. Terutama bagi orangtua, pemuda, tokoh masyarakat
hingga pemerintah tingkat desa/kelurahan yang kerap kali langsung terlibat
dengan kegiatan-kegiatan peringatan HUT RI. Semua pihak tentunya harus berupaya
keras untuk mengubah mindset masyarakat
mengenai pemaknaan perayaan kemerdekaan yang tidak sebatas ritual
kesenangan-kesenangan saja.
Tujuh
puluh tahun sudah bangsa ini merdeka, telah cukup tua jika disandingkan dengan
hitungan usia manusia. Lalu apakah kita akan terus-terusan seperti ini?
Tentunya banyak hal yang dapat kita lakukan dalam upaya pemaknaan memperingati
kemerdekaan. Kapan lagi kita akan mengisi kemerdekaan ini dengan dengan kembali
pada hakikatnya. Bukankah momentum hari kemerdekaan sangatlah tepat untuk
transfer ideologi kepada generasi masa depan depan bangsa ini?
Jika
kita berkenan merenung sejenak, bukankah sangat kaya bangsa ini. Bukankah
sangat melimpah sumber daya alam di negeri ini. Bukankah sangat kaya pula
kebudayaan di negeri ini. Maka setidaknya itu modal, itu warisan tak ternilai dari
para pendahulu kita, dari pahlawan-pahlawan dan nenek moyang kita. Agar kita
mampu melanjutkan dan menjaga terus-menerus hingga tanpa berujung.
Bayangkan
saja, jika kita masih sepakat dengan perayaan kemerdekaan yang hanya diisi
dengan sebatas ritual-ritual bersenang-senang, lomba-lomba lelucon, dan memutar
musik keras-keras di perempatan jalan dari malam hingga pagi. Apa jadinya
bangsa dan negara ini? Barang tentu generasi penerus bangsa ini akan menyaksikan,
merekam, dan akan melanjutkan kesalahan-kesalahan kita.
Banyak
hal yang dapat kita lakukan untuk merayakan kemerdekaan. Misalnya dengan
perlombaan terkait sains, atau aktivitas kreatif terkait kesenian sastra,
teater, musik, dan seni pertunjukan lainnya. Dengan masih kita arahkan dan kita
selipkan nilai-nilai naisonalisme. Melalui perlombaan baca puisi atau menulis
puisi misalnya, yang bertema perjuangan serta nasionalisme. Lomba mencipta lagu
bertema perjuangan dan nasionalisme. Lomba menyanyikan lagu-lagu wajib nasional
dan daerah yang kerap kali masih belum dihafal anak-anak kita.
Barang
tentu banyak jalan untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jiwa nasiolisme
tidak akan tumbuh begitu saja. Segalanya butuh proses, pembiasaan, dan tanggung
jawab besar untuk terus menjaga serta menjiwai nilai-nilai keindonesiaan ini.
Tentu butuh kesadaran panjang dari dalam diri kita untuk mengisi kemerdekaan
bangsa dan negara ini. Bersama-sama dengan sepenuh potensi dan perannya
masing-masing guna mencapai, mempertahankan, serta mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa sebagai salah satu ikhtiar menebar
pemaknaan nasionalisme. Semoga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar