Pengakuan Kecil untuk Penjagal
Itu Telah Mati
Oleh Setia
Naka Andrian
Satu
hal yang sangat sulit saya lepas ketika membaca kumpulan cerpen Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan
Budi Susanto (Kang Putu), yakni untuk memberi jarak antara teks dan penulisnya.
Beberapa tahun yang lalu, di TBRS dalam diskusi yang diselenggarakan Lembah Kelelawar,
Kang Putu telah menceritakan banyak hal tentang kegetiran yang dialami ia dan
keluarganya. Masa lalu memutar dari mulutnya, mesin waktu bergerak ke belakang,
tentang ketidakadilan dan kekejaman yang begitu menyayat. Saya tak tahu
bagaimana rasanya jika dalam posisinya. Tentu bakalan tak setegar dirinya, yang
hingga saat ini masih selalu membekas, entah sampai kapan. Barangkali sampai
akhir hayatpun akan selalu menyelubunginya.
Dalam
pembacaan ini, saya merasa bocor dengan apa yang telah saya dengar langsung
dari mulutnya. Saya merasa mendengarkan cerita langsung darinya. Dan di sisi
lain, saya merasa ini sangat mengganggu proses pembacaan. Bayang-bayang cerita
yang sempat saya dengar langsung darinya begitu kuat mengakar. Barangkali
sangat beda, ketika saya sama sekali belum sempat mendengar cerita kegetiran
ini dari penulisnya. Akan muncul banyak harapan ketika menelusuri teks yang
disuguhkan dalam 14 cerpennya.
Begitu
gamblang dan blak-blakan, Kang Putu
menumpahkan segalanya dalam kumpulan cerpen ini. Semua dilepas, hampir tanpa aling-aling. Berikut sedikit
penggalannya, “Bu, ceritakanlah saat Ibu
dan Bapak ditahan. Sekali saja. Mumpung tak ada siapa pun,” ujarku saat
mengunjungi ibu di rumah mbakyu. (hlm. 22).... Itulah, selalu begitu setiap
kali aku bertanya tentang masa lalu, masa ketika ibu ditahan selepas Peristiwa
1965. (hlm. 22).
Penceritaan
begitu gamblang mengalir dalam setiap cerita-ceritanya. Ya, barangkali inilah upaya
Kang Putu mengembalikan hakikat bercerita. Apa
anane! Namun, saya sempat membayangkan alangkah akan lebih menyenangkan dan
lebih mendebarkan jika kisah-kisah Kang Putu ini disajikan dalam cara penyajian
lain yang tidak segamblang ini. Di luar kegamblangan penceritaan, bisa jadi,
saya akan menjadi belum tentu percaya dengan apa yang disampaikan dalam
cerpen-cerpen ini. Jika saya belum diguyur kebocoran kisah-kisah getir yang
disampaikan Kang Putu kala itu. Walaupun, sangat diyakini bahwa penciptaan
sebuah karya seni tak pernah akan lepas dari kenyataan. Lahir atau
bersumber dari kehidupan beragama, sosial, politik, budaya dan kehidupan
individual.
Saya tak tahu, yang saya terima ini menjadi
kekuatan atau malah membunuh nasib segenap cerpen. Barangkali ada alasan lain,
Kang Putu menyajikan cerita-ceritanya tersebut. Mungkin ingin benar-benar melepas,
segalanya, apa pun, hingga menemukan kepuasan lain. Atau barangkali, kumpulan
cerita ini dapat menjadi wakil tersendiri ketika suatu saat anak-anaknya
menanyakan sesuatu mengenai masa lalu keluarga, kakek dan neneknya. Sehingga
melalui kumpulan cerpen ini, barangkali Kang Putu tak akan menghabiskan air
matanya setiap kali menceritakan kisah masa lalu yang begitu getir ini.
Namun secara garis besar, saya lebih
memihak pada kumpulan cerpen yang sebelumnya terbit, yakni Nyanyian Penggali Kubur. Saya yakin, akan ada banyak tanda tanya
yang menggenangi benak pembaca. Dari kumpulan tersebut, setidaknya akan
mengundang rasa penasaran tersendiri. Segala hal belum begitu disajikan
serta-merta, masih ada hal-hal yang perlu diselesaikan dalam perjalanan
membaca. Namun beda, ketika saya membaca Penjagal
Itu Telah Mati, saya seolah disuguhi banyak hal yang memang sudah terbuka
lebar. Bahkan kadang malah cukup marah, ketika dihadapkan dari cerita yang begitu
pendek dan tiba-tiba diakhiri begitu saja. Saya tak tahu, apakah ini kumpulan
cerpen yang terakhir, atau akan ada kelanjutan lagi. Namun dengan pengakuan
yang sangat pribadi, barangkali ini sudah cukup. Karena dalam hal ini seakan
Kang Putu telah menciptakan pungkasan. Bahwa penjagal telah ‘mati’. Tidak akan
ada lagi lanjutan-lanjutan cerita perihal kenangan getir ini. Atau masih
menyisakan cerita lagi selanjutnya, mari kita tunggu saja. Walaupun jika boleh
jujur, saya lebih dan sangat suka dengan kumpulan cerpen yang pertama, Nyanyian Penggali Kubur. Melalui
kumpulan cerita tersebut, banyak harapan yang muncul ketika menekuni setiap
perjalanan cerita yang saya baca.
─Setia
Naka Andrian, penggila puisi, tinggal di Kendal, sesekali berkicau di
@setianaka dan mengelola setianakaandrian.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar