Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia
Naka Andrian
Sejak
1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan
Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah
bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru
Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil
Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru,
sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi
apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing
berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan
murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983),
menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual
di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi
hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status
spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja.
Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat
spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan
dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu,
kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang
menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini
pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena
memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari
rumah.
Guru
diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan
presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh
guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun
apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan
yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya,
ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan
pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru
(PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru
(UKG). Seharusnya
guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi
pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya
yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat
terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru
menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi
abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban
dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid
berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan
sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas
serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua
Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia,
23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah
SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses
yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan
bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru
yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang
pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34
provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah,
kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data
pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status
guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun
masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa
waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di
Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu
ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu,
segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan
atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema
besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI
tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi
Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri,
agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan
menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga
selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para
guru di koran dan di televisi. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar