Stigma Sejarah
dalam Teater
Oleh
Setia Naka Andrian
Beberapa pekan lalu, panggung teater di
Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang sengaja digelapkan teater Tikar.
Kelompok asal kota Lunpia yang masih belia ini mementaskan naskah berbau
eksistensialisme karya anggotanya sendiri, Iruka Danishwara. Sekitar tiga ratus
penonton keluar dari lift dengan mata dingin. Barangkali, ini panggung teater
tertinggi dalam sejarah seni pertunjukan.
Dengan langkah hati-hati, mereka pijaki
lorong gelap dari dinding kain hitam. Mata mereka seolah sudah benar-benar
disiapkan untuk merekam panggung pemeranan. Sutradara membocorkan separuh
fenomena panggung. Lampu sorot warna hijau menyala dari bawah plastik-plastik
bening yang digantung setinggi tiga meter dan lebar satu meter. Benang-benang
putih sengaja ditata tak beraturan, membentangi backdrop hitam. Sutradara seolah mengajak penonton untuk lari
menuju keruwetan masa silam. Manekin tubuh perempuan digantung. Bergerak-gerak
pelan. Ke kanan dan ke kiri. Lampu tiba-tiba dimatikan. Ilustrasi digital mengalum
dengan nada mencengangkan. Pertanda bahwa pertunjukan dimulai. Segenap penonton
menyiapkan mata.
Semacam foto keluarga, aktor-aktor tak
bergerak. Seorang ibu menutup mata kedua anaknya, laki-laki dan perempuan yang
sedang duduk di kursi. Berdiri disebelah ibu, seorang ayah dengan tatapan
dingin. Berganti beberapa pose. Menutup kedua mata ayah dan anak laki-lakinya
dengan kedua tangan. Kemudian lampu dimatikan kembali. Aktor-aktor muncul lagi
dengan dialog. Seorang nyonya menyapu. Membersihkan lantai kotor, pigura, dan
dinding-dinding rumah dalam bahasa kenangan mereka.
Tiba-tiba empat orang menggerakkan
kakinya di balik plastik-plastik putih bercahaya warna-warni. Kaki-kaki semakin
bergerak kencang dengan langkah disiplin pasukan perang. Seorang nyonya
berialog dengan tokoh-tokoh di balik plastik. Mereka menanyakan, kenapa juga
nyonya masih terus saja menyapu. Sedangkan setiap hari selalu saja kotor,
selalu saja ada yang mengotori. Begitu pula dengan niatannya untuk selalu
membersihkan pigura dan dinding-dinding rumah.
Nyonya dijatuhi pertanyaan dari orang-orang
di balik plastik, “Nyonya, mengapa kau begitu meluangkan waktu sekedar untuk
menyapu teras rumahmu? Nyonya, tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap
pagi dan besok pagi sudah kotor lagi.” Jawab nyonya, “Ini bukan tentang lelah
atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.”
Melalui bocoran teks tersebut, barang tentu penonton mulai digelisahkan dengan kesadaran
aktor yang dibangun rapi oleh sutradara muda bernama Ibrahim Bhra. Aktor
memancarkan detail tubuh, ruang, dan suasana.
Teater sebagai Peristiwa
Agus Noor (2015), mengungkap bahwa aktor
harus mampu menghidupkan banyak suasana dalam panggungnya. Hingga yang
berlangsung di panggung bukan semata-mata menyampaikan ide-ide yang abstrak,
melainkan berhasil menghadirkan sebagai sebuah kisah dan peristiwa. Hal
tersebut setidaknya telah disuguhkan teater Tikar. Kisah dan peristiwa sejarah
disampaikan dalam miniatur keluarga. Namun tetap saja, stigma sejarah
dihadirkan dengan tawaran konflik yang pelik. Melalui teks yang begitu
olang-alik membuat para penonton berimprovisasi dalam benaknya masing-masing. Sejarah
besar disajikan sederhana, bukti nyata dari sutradara untuk memberi tawaran
lain menyoal sejarah yang biasanya disampaikan melalui peristiwa-peristiwa
besar.
Dalam pertunjukan ini, tubuh-tubuh aktor
bergerak, kata-kata bergerak, menuju ke arah bahasa teater yang utuh. Keajaiban-disuguhkan
dari gesture yang kuat dari para
pemeran. Hal itu menjadi sihir tersendiri dari tubuh teater. Gerak para aktor
ditawarkan dengan tubuh-tubuh sejarah. Gerak mereka cepat, menjalani aktivitas
peran dengan penuh kejutan. Mereka tawarkan deskripsi sejarah dalam kenangan
yang tak pernah selesai. Kenangan yang tak pernah ada jika waktu dan tubuh mereka
tak bergerak.
Kenangan disajikan sebagai bagian kecil
dari stigma sejarah tubuh. Bagi mereka, sejarah adalah kesepakatan dari
kenangan. Seperti dalam lakon, dilontarkan ibu kepada anaknya, “Tidak ada yang
bisa aku lakukan, Nak. Kenangan seperti menahan segala langkah untuk beranjak.
Entah bagaimana caranya, namun tidak juga aku temukan. Berulang kali yang aku
temukan hanya kau dan Ayahmu. Di setiap sudut rasanya seperti bayangan yang
terkena sinar terang, semakin jelas.”
Setidaknya, melalui pertunjukannya, teater
Tikar berupaya menyuarakan kebenaran sejarah yang selalu saja dibunuh beragam
kepentingan. Sejarah dianggap sebagai sebuah kesepakatan peristiwa yang
seolah-olah terjadi dan dibuat jadi. Kenangan mengenai masa lalu keluarga
diciptakan sebagai ikhtiar keabadian. Hingga akhirnya, setelah gelimang
tubuh-tubuh aktor bergerak dengan mesin waktunya, pertunjukan diakhiri dengan
seorang anak memeluk manekin. Ia tusuki manekin, tubuh kenangannya. Air-air muncrat dari tubuh manekin. Penanda
semua ingin diakhiri.***
─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal,
dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat
ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar