Mental Plagiarisme
Oleh Setia
Naka Andrian
Plagiarisme
menjadi penyakit paling kronis di dunia akademis kita. Penjiplakan yang sudah
sangat mutlak melanggar hak cipta tersebut ternyata hingga saat ini tidak
sedikit menjangkiti para pelajar, guru, mahasiswa, dosen, bahkan guru besar
kita. Tentu kita ingat, kala itu cukup ramai diperbincangkan dan begitu
menyeruak di beberapa media massa. Menghadapi kasus plagiarisme, kita seakan kesulitan
untuk memeranginya.
Dalam
bahasan ini, akan lebih fokus pada plagiarisme karya tulis, baik ilmiah maupun
populer, yang kerap kali menggenangi lautan akademis kita. Lebih-lebih, sangat
memprihatinkan jika mental plagiarisme meracuni mahasiswa. Walaupun
sesungguhnya kebiasaan buruk ini dapat kita bunuh dengan sangat mudah.
Pembunuhnya ya diri kita sendiri. Bagaimana pemahaman kita, mental kita, jika
berhadapan dengan segala aktivitas kreatif dalam berpendapat atau bergagasan.
Kenapa
perlu aktivitas kreatif? Sebelumnya mari kita simak lagu Slank berikut, “Kopi
Air Hujan“ (2007): Lemparkan biji di
halaman, kelak akan menjadi barang. Menadahkan tangan di jalanan, kelak akan
menjadi uang. Pasang tampang pasang aksi, begitupun menghasilkan. Nggak ada
tangis bayi kelaparan. Nggak ada dentuman meriam. Nggak usah takut deh. Di
kampung di kota orang sibuk pada bisnis. Banyak yang punya rekening di negeri Swiss.
Pemboikot sekarang pada modis-modis. Pengemis aja mudik carter bus. Hidup di
alam yang ramah, di atas tanah subur dan kaya. Nggak usah pake banyak tenaga. Mikir
sedikit pasti jalan. Hidup senang nggak ada perang. Makan kenyang ngapain ribut-ribut?
Sangat
gamblang yang dilukiskan Slank dalam lagunya tersebut. Dalam lagu
diimajinasikan, bahwa dunia sangat membuka lebar untuk digarap manusia. Kita
akan sangat mudah melakukan apa saja. Asalkan ada niatan untuk bergerak.
Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Sangat sederhana, dan
sangat mudah. Begitu saja, dengan tindakan sederhana saja sudah dapat
menghasilkan. Apa lagi jika tindakan sederhana tersebut dilanjutkan/dibumbui
dengan gerak kreatif. Apa jadinya? Tentu akan lebih bagus dan melimpah lagi
hasilnya. Begitu pula dengan tindakan lain, bahkan hingga hal yang seharusnya
sangat tidak baik, mengemis. Seseorang pasang tampang memelas, menadahkan
tangan, akhirnya mendapat uang.
Upaya Kecil
dalam Gerak Kreatif
Sangat
benar yang diteriakkan Slank, “Mikir sedikit pasti jalan!” Lalu, apakah para plagiator
tidak mau berupaya? Jawabnya tentu, ya benar, mereka malas mikir! Dalam hal ini
terkait proses kreatif, misalnya. Seorang plagiator akan lebih bernapsu untuk
menyelesaikan sesuatu. Semua ingin instan. Cepat jadi tulisannya, lalu dikirim
di media, atau jika mahasiswa ya biar lekas bisa dikumpulkan sebagai tugas, dan
lain sebagainya. Padahal, segalanya butuh proses panjang. Tak ada yang jatuh
dari langit dengan cuma-cuma. Misal penulis yang sudah sangat “pendekar”,
dengan begitu cepat menyelesaikan karyanya, misalnya. Tentu itu bisa jadi kita saat
ini hanya melihat 1% hasilnya saja, yang saat ini di hadapan kita. Lalu apa
kita paham betul 99% perjuangan dan proses panjangnya yang tentu sangat
jungkir-balik itu?
Sungguh
sangat membahayakan. Mental plagiarisme, barangkali tidak sedikit dilakukan
teman-teman mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah. Asal comot saja dari
internet. Karangan/pendapat orang lain diambil begitu saja, tanpa membubuhkan
nama penulisnya. Diramu dari banyak tulisan dari beberapa blogger misalnya,
hingga akhirnya menjadi satu jelmaan tulisan baru, menjadi karangan baru, atau
makalah baru dengan modivikasi sedemikian rupa. Bahkan ada juga yang ditemukan
beberapa paragraf sama persis. Menjadikan karangan/tulisan tersebut seolah-olah
karya sendiri. Sungguh sangat sesat.
Barang
tentu, semua itu ada karena plagiator tidak mau berusaha, alasannya kehabisan
ide, buntu, dan lain sebagainya. Itu semua karena tidak ada upaya, sekecil apa
pun upaya itu. Kita bisa menyimak beragam media massa yang terbit setiap
harinya. Atau momen-momen penting di sekitar kita. Peristiwa besar, atau
kejadian-kejadian sederhana lainnya. Dari situ, kita dapat meramunya menjadi
karya. Entah itu karya tulis ilmiah, populer, atau bahkan bisa juga diramu
menjadi karya seni. Tinggal semua yang kita tangkap tersebut direkam dengan
baik, dicatat, lalu diendapkan. Kiranya apa yang terjadi, ada solusi apa, ada
upaya apa untuk menanggulangi atau meluruskan, jika ada yang kurang lurus,
misalnya.
Jika
masih mentok, lakukan diskusi kecil dengan beberapa teman dekat. Bisa juga bersama
teman-teman komunitas. Padahal saat ini sudah sangat banyak forum-forum
diskusi, kegiatan-kegiatan seminar, misalnya jika di kampus. Semua itu bisa
menjadi ruang galian untuk berproses kreatif. Walaupun dengan cara kere-aktif,
kita akan tetap menemukan kebermanfaatan-kebermanfaatan lain. Tentunya, sangat
banyak upaya-upaya kecil yang sekiranya dapat kita lakukan dalam proses
pembelajaran. Jika seseorang masih mahasiswa, tentu malah sangat banyak ruang
yang bisa menampung.
Saya
ingat, dulu, saya bersama teman-teman dalam Komunitas Sastra Lembah Kelelawar,
sebuah komunitas yang kami dirikan di luar lembaga kampus. Hampir setiap malam
kami bertemu, waktu itu komunitas hanya beranggotakan empat orang saja. Kami
bertemu, membawa masalah dan kegelisahannya masing-masing dalam wilayah
kesenian dan budaya misalnya, atau bahkan hingga menjamah dunia politik. Kami
diskusikan, kemudian masing-masing dari kami menuliskannya dalam berbagai jenis
tulisan. Entah puisi, cerita pendek, esai, catatan perjalanan, dan
tulisan-tulisan lainnya yang sangat sederhana dan bisa dibilang tidak kelihatan
jenis kelaminnya.
Lalu tulisan-tulisan tersebut kami muat
sendiri dalam buletin komunitas buatan kami sendiri, yakni Buletin Kelelawar,
atau kami kirim ke media kecil kepunyaan teman-teman komunitas lain. Dengan
niatan, kami memulai proses. Dari hal-hal kecil yang sangat sederhana. Kami
lepas dulu tulisan-tulisan yang bergantung pada gagasan-gagasan orang lain.
Intinya, kami saat itu butuh dasar kuat dalam menulis. Kami upayakan sangat
berdikari, biar tidak memanjakan diri dengan ketergantungan-ketergantungan
gagasan/ide lain. Kami lakukan dan kami tulis segala yang sederhana, yang kami
pahami saja, sejauh mana mata, hati dan jiwa kami mengembara dalam jagat
kata-kata. Seperti halnya yang tentu sering dikatakan penyair Afrizal Malna
dalam setiap pelatihan-pelatihan menulisnya, “Tulislah apa yang kamu lihat,
bukan apa yang kamu pikirkan!” Hal tersebutlah pembelajaran yang sangat sederhana.
Ibaratnya, kenapa harus jauh-jauh sampai bintang, jika di sekitar kita sangat
banyak kunang-kunang. Bukankah begitu?
─Setia Naka Andrian, penyair
kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya,
“Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar