Maskulinitas Ibu dan Kemuliaan Kecil di Sekitarnya
Oleh Setia
Naka Andrian
Penulis :
Dra. Asrofah, M.Pd.
Penerbit :
FPBS Universitas PGRI Semarang
Cetakan : I,
Februari 2016
Tebal :
viii + 86 halaman
Pagi
itu, saya dipanggil Ibu Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPGRIS. Bu
Asrofah memberikan satu bundel kumpulan puisi. Saya diminta untuk memberi
ulasan kecil untuk puisi-puisinya. Ada sejumlah 61 judul puisi yang termaktub
dalam dummy buku puisi bertajuk
“Setengah Abad”, yang dalam waktu dekat ini akan dibukukan untuk menyambut
genap usia setengah abad beliau. Selanjutnya, angin segar melingkar di benak
hingga segenap tubuh saya.
Mata
saya berbinar, ternyata puisi masih memiliki ruang cukup besar bagi seorang
pimpinan sesibuk dekan yang setiap hari harus mengajar dan mengatur segala
aktivitas akademik di kampus tempat saya bekerja ini. Batin saya, sungguh, ini
wilayah mulia, puisi menjadi bagian kecil yang memiliki peran besar dalam
wilayah kehidupan seseorang. Lebih-lebih, puisi kali ini ditulis oleh seorang
ibu yang tentu sangat besar pula peran dan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah
tangga. Belum lagi, jika selepas tanggung jawab kepada keluarga, ada tugas
lain, yakni berkarier dalam tempat kerja tertentu. Lalu di mana wilayah yang
diduduki puisi? Seperti apa kekuatan dan peran puisi dalam diri seseorang
tersebut?
Puisi sebagai
Spasi Hidup
Barang
tentu, puisi dalam diri seseorang, diyakini lahir dari segala aktivitas kehidupan
agama, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Segala itu direkam dan
dicatat pelan oleh Bu Asrofah hingga usia setengah abad ini, usia yang sudah
tidak diragukan lagi dalam ikhtiarnya untuk memenuhi kebermaknaan cinta
manusia, cinta dunia, dan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Segalanya.
Dalam buku kumpulan puisi tersebut,
puisi mengambil wilayah yang cukup mendalam, lebih-lebih bagi seorang penyair
perempuan. Seperti yang dialami pula oleh sederet penyair perempuan lainnya
semacam Hanna Fransisca yang juga berkarier sebagai pengelola bisnis di bidang
otomotif. Kemudian ada pula Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari, selain
berpuisi, ia juga berkarier sebagai politikus dan pemain sinetron.
Selanjutnya, ada pula penyair perempuan
‘ibu rumah tangga’ yang baru-baru ini memenangkan sebagai juara ketiga dalam ajang
bergengsi Sayembara Manuskrip Buku
Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Penyair tersebut bernama Cyntha
Hariadi, dalam manuskrip buku puisinya yang berjudul “Ibu Mendulang, Anak
Berlari: Kumpulan Puisi Pendek di Atas Celemek”.
Saya melihat pelan, aktivitas kreatif
yang dilakukan Bu Asrofah hampir memiliki nasib segaris dengan yang dilakukan
oleh beberapa deretan nama-nama penyair perempuan yang saya sebutkan tadi. Dari
mulai wilayah ibu rumah tangga, pekerjaan, hingga karier yang sama-sama
ditekuni ‘ibu-ibu maskulin’ tersebut. Semuanya dilakukan dengan penuh
kemuliaan, dan segalanya bermuara pada puisi. Dalam posisi ini, puisi mengambil
wilayah yang cukup besar sebagai penggerak wilayah-wilayah lainnya.
Saya sendiri sangat yakin, bagaimana
puisi menciptakan tenaga lain dalam kehidupan seseorang. Jika secara sederhana
gelimang kehidupan dan segala aktivitas berkehidupan di dunia ini adalah
sederet kalimat yang sangat panjang serta membuat napas kita megap-megap, maka tugas puisi adalah
sebagai spasi. Seperti halnya saya ingat sepenggal puisi cinta sederhana yang
sempat saya tuliskan, “Aku hanya ingin menjadi spasi untuk menghindarkanmu
sebelum titik.”
Puisi, Ibu, dan Kehidupan Domestik
Dalam buku kumpulan puisi ini, Bu
Asrofah berupaya menyampaikan sepenuh kesederhanaan dan kelegaan berkata-kata.
Upaya-upaya tersebut timbul akibat posisi strategis yang dialami dalam
kesehariaanya. Saya sangat yakin, betapa seorang ibu akan lebih mendalam
merespon, mengendapkan dan menyublimkan segala hal yang menampari dirinya.
Misalnya beberapa alasan yang
disampaikan juri sayembara manuskrip buku puisi DKJ 2015 (Oka Rusmini, Joko
Pinurbo, dan Mikael Johani), sehingga memilih puisi-puisi Cyntha Hariadi, sang
ibu rumah tangga sebagai pemenang ketiga, “Puisi dengan bahasa yang simpel,
berhasil memotret kekompleksan kehidupan domestik bagi seorang ibu di
Indonesia. Puisi-puisi yang bercerita tentang tetek-bengek urusan rumah secara
literal, sekaligus rumah sebagai metafora tubuh dan jiwa seorang ibu yang
dikacaubalaukan oleh pengalaman melahirkan dan membesarkan anak.
Segala itu sangat nampak, dan begitu
tegas dipaparkan Bu Asrofah dalam sebagian besar puisi-puisinya. Di antaranya
pada puisi berjudul “Hari Ibu di Tenda Mina”, /”Ibu... selamat hari ibu ya”/
“Ibu sehat aja to?”/ “Ibu kalau antri makan bawa roti ya....”/ “Adik sehat kok,
Bu.”/ “Salam untuk Bapak ya, Bu....”// Melalui SMSmu terhapus rasa rindu/
Terima kasih Via anakku/ Kau ingat itu/ Inilah hadiah terindah bagi seorang
ibu// Anak yang saleh/ Doakan ibu ya, Nak/ Besok masih satu kali lontar jamawat
wustho dan ula//.
Dari puisi tersebut nampak agung
hubungan ibu dan anak-anaknya. Dalam kondisi apa pun, saat anak-anaknya
berjauhan dengan kedua orangtua, maka ibu tetap menjadi posisi paling utama.
Ibu menjadi pilihan pertama sebelum bapaknya. Seorang anak pasti akan lebih
memilih meletakkan kepala di pangkuan ibunya terlebih dahulu sebelum tiba di
pelukan bapaknya. Misalnya saya ingat lagi puisi Andy Sri Wahyudi (2012), yang
sama-sama menyoal “Hari Ibu”, / Aku tak cukup laki-laki untuk menjadi ibu/.
Dalam diri Bu Asrofah, saya sangat yakin,
walaupun puisi menjadi ‘spasi’ dalam kehidupannya, namun puisi memiliki wilayah
utama dalam hal posisi ‘curhat’ berkemanusiaan dan bertuhannya. Puisi menjadi
upaya kecil ketika segala hal tak mungkin disampaikan begitu saja. Puisi
menjadi muara kecil ketika banyak ‘tembok’ yang tak begitu bersahabat dan
menjadi sangat transparan menyebarkan apa saja. Misalnya pada era berkicau
dalam media sosial yang sangat populer saat ini.
Puisi menjadi mahluk hidup tersendiri
dalam diri penyairnya. Misalnya saja dalam puisinya berjudul, “Di Dalam Laptop”
berikut, /Kupegang dalam kegamangan/ Kubuka dengan kecewa/ Kusentuh tanpa
ekspresi/ Kupandangi tiada henti/ File itu sudah tidak terbaca lagi// Tersimpan
dalam ketidakpastian/ Terbungkus di atas arogansi yang tiada pernah dimengerti//
Sekian waktu/ Kucari/ Kumengerti/ Kutulis/ Dan terhapus di tengah perjalanan
yang menantang// Semangatku hilang bersama aturan semu//.
Puisi setidaknya menjadi upaya kecil dalam
pengobat jiwa serta penyakit-penyakit lainnya. Bahkan, dapat menjadi ‘penggedor
iman’ dan ‘nyawa’ tersendiri dalam diri seseorang yang beraktivitas lebih luas
serta berhubungan dengan khalayak. Misalnya saja yang dilakukan di kampus
tempat saya bekerja, setiap hari senin, sebelum melakukan aktivitas pekerjaan,
dilakukan pembacaan puisi dan doa. Awalnya saya tidak sengaja melihat aktivitas
mulia tersebut. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.30, saya berniat mengambil beberapa
koran langganan saya di salah satu ruang. Tenyata ada lingkaran besar yang
berisi pejabat-pejabat kampus, dosen, dan karyawan.
Lalu sontak saya langsung ikut
melingkar. Puisi dibacakan, puisi menjadi penyeru kebaikan, penyemangat, dan
pengobat bagi jiwa-jiwa yang disentuhnya. Hingga berikutnya puisi diakhiri, dan
berlanjut pada muara doa-doa. Memang sangat benar, jika posisi puisi sangat
tepat bersanding dengan doa. Puisi berada tepat di bawah doa. Puisi menjadi
bagian kecil dari doa. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair
kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS). Tahun ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Perayaan
Laut” dan “Manusia Alarm”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar