Urbanisme dan Riwayat Kampung
Oleh Setia
Naka Andrian
Ingatan
saya membuka lebar menuju beberapa lagu-lagu terkait urbanisme, di antaranya Tunggu Aku di Jakarta (Sheila on 7), Sapa Suruh Datang Jakarta (Melky
Goeslaw), serta Preman Urban (Slank),
ketika menjadi salah satu saksi pemanggungan teater yang digelar Teater Gema di
Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang, Rabu (16/3). Mereka menggarap
lakon Ronggeng Keramat (RK) karya Eko
Tunas yang disutradarai oleh Alfiyanto (Komunitas Panggung Semarang). Panggung
teater diciptakan sedemikian rupa, bersikeras meyakinkan diri dan berupaya
menyuarakan teater sebagai sebuah peristiwa. Mereka coba tunaikan tugas besar
untuk menjaga peristiwa dengan memproduksi teater dari lakon yang meriwayatkan
kampung serta kehidupan urban.
Jakarta
dan kampung halaman menjadi dua sisi mata uang yang saling berseberangan.
Jakarta menjadi kota impian untuk memanjangkan iman tentang upaya mengubah
kehidupan menjadi lebih baik dalam tataran ekonomi. Sedangkan kampung,
diriwayatkan sebagai tubuh yang masih alami, segala sesuatunya terasa manual,
lambat dan jauh dari kemajuan-kemajuan, hingga ditakdirkan sebagai tempat yang
serba sulit untuk memperoleh banyak uang (pekerjaan). Dalam cerita, dikisahkan
Dukuh Keramat yang masih alami, penuh aroma bunga melati yang menjadi khas
kampung dan dicita-citakan memberi kemakmuran. Namun ternyata segalanya tidak
sesuai yang diimpikan,
Dalam
lagu Sheila on 7, setidaknya melambungkan keyakinan Jakarya sebagai kota penancap
mimpi. Penggalan syairnya, Tunggulah aku,
di Jakarta mu. Tempat labuhan, semua mimpiku. Seperti halnya dalam lakon RK
ini, Paijo dan Paimin, pada awal pertunjukan digambarkan sebagai warga kampung Dukuh
Keramat yang hendak hijrah ke kota dengan mimpinya untuk memperoleh kemakmuran.
Namun sebaliknya, ada penggambaran lain yang berkebalikan dengan Paimin dan
Paijo. Terdapat dua tokoh, Raden Bos dan Katak. Keduanya merupakan kaum kota
yang berkeinginan menguasai kampung.
Raden
Bos, dalam kisahnya ditakdirkan sebagai orang yang sangat kaya raya, ia
memiliki kekuasaan, dan Katak sebagai orang kepercayaannya. Mereka berdua
berpikir bagaimana menciptakan surga buatan di kampung. Dengan dalih ‘negatif’
menyelamatkan kesenian kampung (ronggeng), mereka ciptakan tempat-tempat
hiburan dan perempuan-perempuang ronggeng sebagi objek pemuas nafsu para
pelanggan. Pada akhirnya, Raden Bos merasa telah memiliki segalanya, dari mulai
harta, tahla, hingga akhirnya wanita menjadi titik akhir keruntuhannya. Raden Bos
menyerahkan kekuasaan dan segala hartanya untuk orang kepercayaannya, Katak. Termasuk
juga senjata, sebagai simbol kemenangan atas kekuasaan dalam pengisahan lakon. Akhirnya,
saat Raden Bos sedang lengah dengan wanita-wanitanya (para ronggeng), ia mati
ditangan Katak, ditembak dengan menggunakan senjata yang dimiliki Raden Bos
sendiri.
Isu Urban dan
Teater Modern
Isu-isu
urbanisme, setidaknya menjadi garapan yang cukup menggairahkan bagi
teater-teater modern (kontemporer) saat ini. Teater yang membentuk ingatan dan
makna baru dalam setiap gagasan dalam garapan-garapannya mengenai takdir sebuah
kota serta kekejaman-kekejamannya. Seperti pengisahan Radhar Panca Dahana
(2001), teater modern menjadi teater yang berada di kota besar, menggunakan
meode-metode kerja yang serupa yang serupa dengan teater di Barat, serta
memiliki kebebasan fakultatif dalam proses kreatif maupun pemilihan
idiom-idiomnya. Sebut saja, Teater Sae, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater
Garasi.
Barang
tentu, proses penciptaan teater bagi para pembuat teater sangat berpengaruh
gerak zaman yang selalu menjadi langkah dan pijakan manusia dalam menciptakan
penanda kehidupan dan lingkungannya. Bahkan, persoalan kekalahan, kegagalan,
kemuraman, menjadi dalih memperoleh keimanan kita dalam menyimak takdir
panggung teater yang seolah-olah ‘sesungguhnya’. Seperti halnya kegagalan Paimin
dan Paijo, setelah berjuang di Jakarta, ternyata segalanya sangat tidak sesuai
dengan yang mereka bayangkan dan mereka impikan sebelumnya. Jakarta menjadi
tempat yang suram.
Dalam
dialog, mereka mengeluhkan, “Di Jakarta, kita ini kayak coro-coro saja ya!”
(Kayak coro-coro: seperti para kecoa). Itu bukti, bahka kota telah
menelantarkan mereka. Hal ini seperti yang disuarakan Slank dalam lagunya Preman Urban yang mengisahkan teman dari
desa yang berniat mengejar mimpi di Jakarta. Syairnya, temanku seorang pengembara, yang datang dari timur negeri ini. Mencoba
mengadu nasib di Jakarta, karena di desa kelahirannya susah mengejar mimpi.
Melki
Goeslaw pun seolah turut menyalahkan juga dalam lagunya, Sapa Suru Datang Jakarta. Berikut penggalan syairnya, Ado kasian yeng mama. Jauh-jauh merantau
mancari hidup mama. Nasib tidak beruntung. Siang dan malam yeng mama. Jalan
kesana kemari. Sanak saudara mama. Semua tidak peduli. Sapa suru datang Jakarta.
Hingga pada akhir cerita, Paimin dan Paijo berkeinginan untuk pulang
kampung, karena merasa kota tidak memberikan apa-apa, kota telah menelantarkan
mereka. Setelah sampai di kampung Dukuh Keramat, mereka kaget, semua telah
berubah. Tidak lagi mereka temukan aroma melati, yang dulu menjadi aroma khas
Dukuh Keramat. Kampung tumbuh menjadi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Kampung
tak lagi mampu mengisahkan dirinya sebagai ruang gerak berkemanusiaan yang
selalu dirindukan.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan
Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar