Kartini dan Keajaiban Surat
Oleh Setia
Naka Andrian
Bulan
April, seakan kerap kali menjadi beban kita saat ini. Berat rasanya jika kita
mengenang momen mulia yang setiap tahun diperingati ini hanya sebatas selebrasi
semata, tanpa ada upaya pemuliaan-pemuliaan di dalamnya. Kita tentu paham, ada
banyak upaya besar yang disuarakan RA. Kartini pada masa itu, hingga saat ini
berdampak besar bagi bangsa kita ini, khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya
saja surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Surat-surat
yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat kita saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Kartini dalam sebagian besar
surat-suratnya mengisahkan keluhan dan gugatan-gugatan, di antaranya perihal budaya
di Jawa yang seolah-olah menghambat kemajuan perempuan. Misalnya saja terkait keterbatasan
pemerolehan pendidikan bagi kaum perempuan.
Selepas
Kartini wafat, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa tersebut. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda. Buku tersebut berjudul Door
Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya" (terbit 1911). Buku dicetak lima
kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Selanjutnya pada
tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa
Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang:
Boeah Pikiran”, diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938,
keluarlah kembali "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi Armijn Pane (Sastrawann Pujangga Baru). Surat-surat Kartini semakin
diminati di mana-mana, hingga akhirnya juga pernah terbit dalam bahasa Inggris
yang diterjemahkan Agnes L. Symmers. Selain itu, juga pernah diterjemahkan
dalam daerah, yakni bahasa Jawa dan Sunda.
Hingga
kini, kita tentu selalu mengingat, sejak kita masih duduk di bangku SD,
kelahiran Kartini selalu diperingati. Setiap tahun, Jepara dan 21 April selalu
terngiang-ngiang di benak kita. Walau usia hidupnya hanya seperempat abad (25
tahun) namun hal besar telah dicapai. Kartini diriwayatkan sebagai seorang
tokoh perempuan Jawa yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Putri R.M.
Sosroningrat dan pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini
memberi angin segar bagi kaum perempuan. Ia sepenuhnya memperjuangan perempuan
agar memperoleh kebebasan-kebebasan, berotonomi dan memperoleh persamaan hukum setara
dengan laki-laki. Hingga dampak besar dapat kita simak saat ini,
pemimpin-pemimpin di negeri kita ini dari mulai kepala desa, kepala daerah,
bahkan kepala negara sempat dipimpin oleh kaum perempuan.
Barangkali,
baru kali itu terdapat surat-surat seorang perempuan pribumi yang begitu menarik
perhatian masyarakat Belanda. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang
dilambungkan Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
perempuan pribumi di Jawa. Kartini mengubah pandangan kita terhadap perempuan.
Kita semakin meyakini dan mengamini keberadaan mereka. Bahkan suatu ketika jika
perempuan begitu menakjubkan dalam sikap laku dan gerak berkehidupan, kita
begitu percaya hingga mengangkat tinggi posisi mereka di atas kita. Kita sangat
yakin, pemikiran-pemikiran Kartini begitu menginspirasi generasi kita. Namun
apakah segala itu hanya mampu kita kenang begitu saja. Kita rayakan setiap
tahun. Kita ledakkan setiap April. Sedangkan jika sejenak kita kontemplasikan
kecil-kecilan, kita saat ini sudah terasa malas menarasikan segala yang kita
keluhkan dan yang kita gelisahkan dalam berkehidupan ini.
Kita
seakan malas beranjak untuk mencatat hal-hal kecil di sekitar kita, dan barangkali
segala yang kita anggap kecil itu belum tentu hal kecil pula di mata
orang-orang. Kita lebih memilih berdiam di kamar, mendekam dalam kondisi paling
sepi, berpeluk gawai, lalu berkicau di beberapa media sosial, bercakap-cakap
dengan beberapa teman melalui pesan pribadi, begitu serampangan, tak terarah,
dan pasti tak terdokumentasikan. Kita terkadang tak merasa, begitu berarti
pengisahan-pengisahan semacam yang dilakukan Kartini pada masa itu. Ia begitu
rajin menulis surat-surat untuk teman-temannya di Eropa, terkait segala yang
digelisahkannya tentang kehidupan perempuan pribumi yang masih begitu banyak
pengekangan-pengekangan, misalnya. Kaum perempuan yang belum memiliki persamaan
hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Walaupun
begitu, perjuangan-perjuangan perempuan terhadap kaumnya hingga saat ini masih
terus digaungkan, misalnya saja pengisahan Dewi Nova yang begitu memperjuangkan
diri, keluarga, dan anak-anaknya, dalam buku kumpulan cerita pendeknya, Perempuan Kopi (2012), dalam penggalan
cerpennya, Belum tuntas khotbah pagi itu,
suara gergaji mesin di kebun kopi menghentak jemaat. Beberapa nama menjerit,
menangis berguling-guling, seolah gergaji itu merobek tubuh mereka. Anak-anak
menangis kencang ketakutan, dipeluk erat ibu mereka. Melalui sepenggal
pengisahan tersebut, kita seakan disuguhkan kenyataan hidup kita yang masih
lekat dengan posisi perjuangan kaum perempuan (ibu) yang tiada batas. Pada
segala lapis kehidupan kita, sampai kapanpun posisi perempuan masih selalu kita
perhitungkan.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan
Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar