Sebuah Catatan Pendek atas
Kumpulan Puisi Setia Naka Andrian *)
Oleh Sawali Tuhusetya
Sebagai
sebuah produk budaya, teks sastra tak pernah terlahir dalam situasi kosong. Ia
berkelindan dengan berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi di
seputar kehidupan sang sastrawan. Tidak berlebihan apabila teks sastra tak pernah
diam; ia terus menyuarakan luka, derita, bahkan juga kegelisahan sang
sastrawan. Teks sastra, dalam konteks demikian, bisa dijadikan sebagai medium
sang sastrawan dalam menyuarakan kegelisahan, luka, dan derita yang mengendap
dalam ruang batinnya.
Demikian
juga halnya dengan teks puisi. Sebagai genre sastra, teks puisi juga tak pernah
hadir dalam situasi kosong. Ia senantiasa mengusung berbagai persoalan yang
berkelindan dalam diri personal sang penyair (jagat cilik) dan
berbagai dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang penyair (jagat gedhe). Melalui kepekaan intuitifnya, sang
penyair senantiasa terlibat dalam pergulatan kreatif untuk menyuarakan
kegelisahan yang mengerak dalam gendang nuraninya. Melalui bahasa sebagai
medium utama dalam berekspresi, sang penyair melakukan transpirasi total
kepenyairan sesuai dengan gaya tutur dan licentia poetica yang dimilikinya. Dalam proses pergulatan
kreatif yang semacam itu lahirlah berbagai genre puisi dengan corak khasnya
masing-masing.
Puisi-puisi
karya Setia Naka Andrian (SNA) yang terkumpul dalam Perayaan Laut (PL)
pun –dalam penafsiran awam saya– tak luput dari pergulatan yang semacam itu.
SNA dengan amat sadar memilih puisi sebagai teks yang dianggap tepat untuk
memberikan “kesaksian” dan menyuarakan kegelisahan yang mengendap dalam ruang
batinnya. Kepiawaian dalam merawi kosakata, idiom, atau langgam bahasa agaknya
dimanfaatkan benar untuk mengekspresikan berbagai persoalan yang bernaung di
bawah jagat
cilik dan jagat gedhe yang membayang dalam gendang
nuraninya. Tak berlebihan kalau sejumlah puisi yang terantologikan dalam PL menyiratkan
berbagai persoalan personal dan sosial yang menggelisahkan nuraninya; semacam
cinta, idealisme, religi, atau hajat kehidupan yang yang lain.
Tema yang
didedahkan dalam setiap puisinya pun tidak terjebak dalam narasi-narasi besar
yang berambisi kuat untuk melakukan sebuah perubahan. SNA lebih suka mengakrabi
persolan-persoalan keseharian yang seringkali luput dari perhatian banyak
orang. SNA agaknya sangat menikmati betul ketika sedang berproses kreatif.
Tema-tema keseharian yang diangkatnya justru mampu menumbuhkan imaji-imaji
“liar” dan mencengangkan. Ibarat orang mau memetik mangga, ia tidak langsung
melemparnya dengan batu, tetapi ia panjat dengan penuh kenikmatan sambil
merapal mantra-mantra suci yang dianggap mampu menjadi sugesti untuk
mendapatkan buah mangga yang diinginkannya. Dalam proses semacam inilah, SNA
menemukan berbagai imaji dari “dunia lain” yang dianggap “liar” dan
“mencengangkan”.
***
Jika ditilik
dari muatan isi, 74 puisi yang terkumpul dalam anotologi PL sesungguhnya
merupakan kisah tali-temali antara jagat cilik dan jagat gedhe yang yang bernaung-turba dalam
kehidupan SNA. Sebagai sosok anak manusia yang secara biologis memiliki naluri
sebagaimana makhluk Tuhan yang lain, SNA tak luput dari kisah pergulatan dengan
masa depan yang “disembunyikan”, percintaannya dengan lawan jenis (fa?),
aktivitasnya sebagai awak Teater Gema, hubungan kekerabatan dengan
sanak-saudara, atau berbagai respon dan “kesaksian”-nya terhadap berbagai
fenomena sosial yang mencuat ke permukaan.
Melalui
kelincahannya dalam bertutur dengan permainan metafora yang secara estetik
membuka ruang multitafsir, “keliaran” imaji yang mencengangkan tampak melalui
dekonstruksi logika yang secara diametral sangat kontradiktif dengan logika
awam. Simak saja: //Para masa depan terlihat lelah yang berjamaah/para masa depan
mengantuk/lalu kita giring mereka pulang ke rumah/Kita ajak para masa depan
untuk minum susu/kemudian mengajak mereka bergegas ke kamar mandi// (“Masa
Depan yang Kelelahan”: 93); //kau pasti akan selalu gemetar/setiap mendengar kabar dari
rumah/setiap pagi, ponselmu berkeringat/tak segan memukul mata dan telingamu// (“Perempuan
Rantau”: 82); //Hari-hari telah sepakat/menjatuhkan bibir kita
di laut/agar ikan-ikan semakin gemar/menidurkan petaka kita/dan membunuhnya
pelan-pelan/dengan penuh ciuman// (“Perayaan Laut”: 72); //Hujan, maukah kau menjadi temanku/pagi ini sungai terlanjur
menggantung dirinya/di atap kamar// (“Hujan,
Maukah Kau Jadi Temanku”: 64).
Sebagai
pemilik “kemerdekaan berekspresi”, tentu sah-sah saja SNA melakukan proses
dekonstruksi logika untuk menciptakan metafora dalam menggarap persoalan yang
dipuisikannya. Ia tidak harus mengikuti arus metafora “mainstream” yang sering
didaur-ulang untuk menciptakan kekuatan dan daya estetik. Persoalan apakah
puisinya bisa dipahami orang lain atau tidak, itu soal lain. “Pulchrum dicitur
id apprensio”, begitulah kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang
berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa
keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Begitulah,
pergulatan kreatif SNA sudah tertunaikan ketika ia berhasil merawinya ke dalam
sebuah teks puisi.
Yang tidak
kalah menarik, selalu saja ada balutan “luka” yang membayang dalam sebagian
besar puisi SNA. Simak saja pada puisi bertitel “Bidadari Tidur dalam Kitab
Suci” (:11), “Beberapa Nama yang Sering Muncul di Ponselmu” (:25), “Untuk
Pernikahan yang Tak Sebatas Ciuman” (:27), “Kaki dan Kenangan Kita yang
Terpisah-pisah” (:29), “Dari Perempuan Elegan hingga Perempuan Es Degan” (:34),
“Kita Lahir dari Musim yang Bersebelahan” (:36), “Takdir yang Mempertemukan
Kita” (:38), “Seorang Pemuda di Hati Kita” (:43), “Ada yang Tenggelam di Balik
Rel Kereta” (:44), “Perihal Sandiwara” (:47), “Munajat Air Mata” (:52),
“Tabrakan” (:55), “Seorang Luka” (:57), “Perempuan Berhati Kaca” (:58), “Rindu”
(:61), “Lampu Merah” (:62), “Kehidupan Aneh di Balik Jendela” (:63), “Hujan,
Maukah Kau Jadi Temanku” (:64), “Negeri Berhidung Panjang” (:66), “Perayaan
Laut” (:72), “Perempuan yang Ingin Menjadi Kereta” (:75), atau “Kematian
Hari-hari yang Menjadi Kamarmu” (:80).
Meski
bertutur tentang “luka”, puisi-puisi tersebut tidak lantas terjebak dalam
ungkapan-ungkapan vulgar yang sarat dengan sumpah serapah. Melalui permainan
metaforanya, “luka” dibalut dalam kemasan bahasa tutur yang subtil dan lembut. //kau terus membayangi
perjalananku/yang semakin subuh mendoakan cinta-cinta/kepada para tetangga yang
sedang asyik menyeruput malapetaka dalam rahim istrinya// (:25),
//dan orang-orang di sekitar kita/akan membaca hikayat kematiannya
masing-masing/yang selalu bermula-mula/karena kesepakatan kita/adalah doa
pertanggungjawaban lupa// (:27), //Begitulah takdir, mempertemukan
kita/dari perjalanan dan pengkhianatan-pengkhianatan/Ia yang membawa kita
menelusuri jejak dan luka-luka// (:38), atau //hendak
kau kirim ke mana lagi/air matamu/lihatlah, sungai tiba-tiba dangkal/kesedihan
meriwayatkan senyumnya/sebab keridaan tlah tak berpenghuni,/mereka bunuh
diri/menggantung kakinya/setinggi-tinggi di atas kepala// (:52).
“Luka”
dalam PL agaknya bukanlah fokus dan basis utama
SNA dalam berproses kreatif. “Luka” lahir sebagai bagian dari “digresi”
pemaknaan arus hidup yang mustahil dihindarinya ketika luka-luka peradaban
masih menganga di tengah panggung kehidupan sosial. SNA hanya sekadar
mewartakan dan memberikan kesaksian tentang “luka” yang memfosil dalam ceruk
kehidupan umat manusia yang belum sepenuhnya terpotong oleh sejarah. Balutan
“luka” dalam konteks PL juga
bisa dimaknai sebagai pengejawantahan totalitas sikap SNA yang ingin tetap
“setia” pada jalur kepenyairan yang “khas” menjadi miliknya; bertutur tentang
persoalan apa pun, metafora tetap menjadi bagian esensial dalam sebuah teks
puisi. Dengan kata lain, esensi puisi sebagai teks sastra akan kehilangan
“roh”-nya apabila menanggalkan bahasa sebagai medium utama dalam membangun
kekuatan dan daya estetika.
***
Sebagai
sebuah catatan pendek, tulisan ini mustahil dapat menampilkan telaah secara
utuh dan lengkap terhadap puisi-puisi SNA dalam PL. Masih
banyak aspek dan unsur yang terabaikan. Menelaah puisi SNA membutuhkan
kecermatan interteks secara intens. Saya berharap catatan pendek ini bisa
dilengkapi melalui diskusi bersama.
Nah,
selamat berdiskusi!
***
—————————————————–
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)
Sumber: http://sawali.info/2016/05/18/balutan-luka-di-balik-perayaan-laut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar