Membangun Kota dengan Seni
Oleh Setia
Naka Andrian
Nasib
kota sebuah kota tentu menjadi tanggung jawab bersama. Tidak melulu urusan
pemerintah saja, yang biasanya kerap kali lebih mementingkan bangunan
infrastrukturnya ketimbang sumber daya manusianya.
Peran
seniman lokal bisa jadi sebagai tumpuan utama. Kenapa begitu, karena
bagaimanapun sejarah dan usia kota tidak bisa lepas dari nilai-nilai
estetis di dalamnya. Baik terkait ketahanan filosofis dan kulturalnya. Itu
tanggung jawab seniman, bukan?
Saya
ingat, apa yang dikisahkan Tubagus P. Svarajati (2012) dalam sepenggal esainya,
“Meski kita paham, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan
perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis.”
Seniman
kita, seakan begitu abai dengan kota yang melahirkan dirinya. Bahkan, jika di
antara mereka masih selalu dihinggapi beragam apologia sebelum melakukan
apa-apa. Maka cepat atau lambat, takdir sebuah kota akan berhenti begitu saja.
Dalam
hal ini, jika kita simak di Kendal, selama lima tahun terakhir telah banyak
bermunculan komunitas-komunitas seni kreatif. Baik yang fokus bersastra, seni
rupa, teater, musik, film, dan lainnya. Seakan menyibak belantara kota melalui
seabrek aktivitas saban harinya. Namun apa arti semua itu, jika program-program
kreatif belum menyentuh bahkan sangat jauh dengan aktivitas pendokumentasian
riwayat kota secara serius. Sebab, nasib sebuah kota akan tetap selalu bertarik
magnet, antara sebuah kenyataan dan gagasan.
Komunitas
seni kreatif layaknya hanya akan menjadi angin lalu, yang akan tumbuh
berkembang beberapa saat. Lalu pada akhirnya pelan-pelan menunggu tumbang atau
menemui ajal, kehancuran, mati suri, dan entah istilah mengerikan lainnya.
Memang, sangat sulit kita temukan, misalnya, beberapa kelompok yang begitu
berjaya pada masa lalu dan hingga saat ini masih bergerak atau menyisakan
catatan kemuliaan di mata publik.
Sebut
saja, jika di Kendal memiliki Teater Semut, dengan Aslam Kusatyo sebagai
sutradara sekaligus aktor kawakan yang konon salah satu tokoh yang begitu
mati-matian menghidupi khazanah teater dan sastra di tanah Bahurekso ini.
Tentu, hingga saat ini masih terdengar, mengingat bagaimana ia diakui telah
melahirkan jawara-jawara lomba teater, baca dan tulis puisi misalnya, bagi
kalangan pelajar.
Begitu
pula, ia dicatat melahirkan generasi penerus yang khusyuk menekuni sebagai
pengajar ekstrakurikuler teater di beberapa sekolah. Bolehlah kita sebut
beberapa tokoh muda. Di antaranya Akhmad Nasori, Hidayat Kliwon, dan Sobiron,
misalnya. Ada pula yang mendirikan kelompok baru, sebut saja Akhmad Sofyan
Hadi, aktor yang sempat menyabet juara II monolog dalam ajang Peksiminas (Pekan
Seni Mahasiswa Nasional) 2008, sebagai salah seorang pendiri Jarak Dekat dengan
beberapa aktivitas yang berniat menghidupi teater di Kendal. Walaupun tetap
saja, jika di kota tetangga (Semarang) kesenian teaternya
dihidupi oleh teater-teater kampus, maka di Kendal diramaikan dengan
teater-teater sekolah (pelajar SMA sederajat). Hal tersebut dibuktikan selama
bertahun-tahun dengan terselenggaranya beberapa parade teater yang dihuni oleh
berjubel kelompok teater dari sekolah.
Generasi
Patah-Patah
Sudah
sepatutnya, masa lalu kesenian kota memiliki generasi kebanggaan, komunitas
yang diagung-agungkan, atau tokoh-tokoh yang diidamkan menjadi tumpuan masa
depan sebuah kelompok pada khususnya, atau nasib kota pada umumnya. Namun
kenyataannya, kota seakan tak mampu memberikan apa-apa. Seorang seniman yang
seharusnya menjadi ujung tombak, motor penggerak roda kesenian di
sebuah kota, yang konon katanya karena persoalan klasik, maka di antara mereka
pelan-pelan meninggalkan kota ini. Sebut saja misalnya, salah seorang sastrawan
ternama di negeri ini, Ahmadun Yosi Herfanda. Penyair kelahiran Kaliwungu Kendal,
mantan redaktur sastra koran Republika yang kini telah menetap di Jakarta
sebagai penyair religius-sufistik. Ia banyak menulis cerpen, kolom dan esei
sastra. Sehari-hari ia mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN)
Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Tentunya,
sederet persoalan tadi, atau kendala apapun tidak akan mampu menghalangi sebuah
gerakan kesenian yang benar-benar khusyuk dan berasyik-masyuk
dalam bidangnya masing-masing. Semua lini sudah seharusnya mampu berbaur untuk
menentukan nasib sebuah kota. Barangtentu kita ingat, beberapa waktu lalu
ketika Kendal Expo 2016, Bupati Kendal, Mirna Annisa, meluncurkan program
“Kendal Permata Pantura”. Bupati yang masih terhitung belum lama ini menjabat,
dengan seabrek program yang diidamkannya, tentu perlu dukungan dan kawalan yang
ketat.
Mengingat
pada bulan-bulan ini, sedang fokus pada peresmian Kawasan Industri Kendal dan
mulai aktifnya Pelabuhan Tanjung Kendal. Lalu, apakah konsep besar yang
disuarakan melalui Kendal Permata Pantura cukup masyhur dengan didirikannya
kawasan industri dan pelabuhan baru saja? Lalu bagaimana nasib beberapa
destinasi wisata semacam Pantai Sikucing, Goa Kiskendo, Curug Sewu? Jika
mengidamkan kota ini menjadi permatanya pantura, apakah tempat-tempat itu hanya
akan dibiarkan dengan pola pengembangan yang setengah-setengah dan sewajarnya
saja?
Tentu
jawabannya, sudah waktunya Kendal memiliki agenda festival kesenian yang
diselenggarakan tahunan. Jika kita mau tengok kota-kota tetangga, taruhlah
festival rutin FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), lalu Dieng Culture Festival.
Sudah sepatutnya, Kendal tidak hanya sekadar menciptakan kegiatan sebatas
selebrasi semata, atau bahkan yang hanya terkesan sebagai pasar malam semata.
Maka dalam hal ini, peran serta segenap seniman dalam berbagai bidang pun
sangat dibutuhkan. Pemerintah kabupaten dengan dinas-dinas terkaitnya sangat
mustahil mampu mensukseskan kerja besar tersebut.
Jika
sudah ada keterlibatan kelompok-kelompok seniman, yang kebanyakan anak muda
tersebut, tentu kota ini saya yakin tidak akan kesulitan menentukan arah gerak
masa depan kotanya. Tentu, jika semua sudah benar-benar niat ingsun
untuk meriwayatkan kota secara serius dan metodis. Baik melalui sastra, seni
rupa, film, maupun teater. Festival yang menyuarakan seni kontemporer yang
tidak mengesampingkan nilai tradisi dan filosofis kota. Tentu Kendal
pelan-pelan akan menggema di penjuru kota, bahkan seantero negeri ini. Dengan
seruan, “Kenali Kendal!” Tempat-tempat wisata dikelola dengan sajian tontonan
sekaligus tuntunan seni dan budaya. Selanjutnya, pundi-pundi pendapatan daerah
pun akan terdongkrak. Kota berangsur-angsur akan semakin merekonstruksi masa
depannya yang kian gemilang. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Universitas PGRI Semarang.
Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016).