Pengajaran Sastra Kita
Oleh Setia
Naka Andrian
Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia baru saja digelar di Hotel Bidakara Jakarta
Selatan, 18-20 Oktober ini. Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundang 107 sastrawan dalam
perhelatan bertajuk Peran Sastrawan dalam Pendidikan Karakter Masyarakat
tersebut.
Beberapa
narasumber yang hadir di antaranya Dadang Sunendar, Gufran Ali Ibrahim, Remy
Sylado, Putu Fajar Arcana, Maman Suherman, Maman S. Mahayana, Nirwan Dewanto,
dan Dino Umanuk.
Dalam
musyawarah tersebut berlangsung diskusi masalah kesastraan yang ada di seluruh
Indonesia yang dibahas bersama-sama sehingga menjadi bahan rekomendasi.
Ada
beberapa hal menarik yang diperbincangkan. Terutama pada sidang komisi
pembinaan sastra terkait peningkatan mutu apresiasi sastra melalui pengajaran.
Misalnya saja dalam pembelajaran sastra banyak didapati karya sastra yang
sebenarnya tidak cocok dengan teori sastra yang ada, namun dicocok-cocokkan.
Seharusnya, teori mengikuti karya sastra yang ada, jika tidak ada teorinya,
maka ciptakan teori yang baru.
Lebih-lebih
pada peredaran buku-buku sastra di sekolah atau di perguruan tinggi. Tidak
sedikit di antara sekolah/kampus yang masih belum update buku-buku sastra yang
berkembang saat ini. Perpustakaan masih dinilai belum menampung karya-karya
sastra baru. Misalnya, pada karya-karya sastra yang mendapat penghargaan dalam
perhelatan-perhelatan sastra tertentu.
Maka
pada forum, sastrawan yang hadir menyuarakan betapa sangat penting negara atau
Badan Bahasa berkenan untuk merekomendasikan buku-buku sastra yang layak untuk
diedarkan di sekolah/kampus. Perlu adanya kurator yang berkompeten untuk
menentukan buku-buku sastra mana saja yang harus dikonsumsi siswa/mahasiswa.
Barang
tentu peredaran karya-karya sastra yang bagus dan bernas akan menunjang
penciptaan generasi unggul yang kreatif, baik di lingkungan sekolah maupun
kampus. Siswa/mahasiswa saat ini masih dinilai sangat kering dan begitu jauh
dengan iklim dunia literasi yang seharusnya.
Bolehlah,
misalnya, dapat kita lihat, saat ini siswa/mahasiswa dalam hal apresiasi sastra
masih hanya terhenti pada apresiasi baca. Sangat banyak didapati lomba baca
puisi/cerpen. Belum pada tahapan mencipta karya, menulis karya. Entah dalam
lomba atau lokakarya tertentu untuk menciptakan generasi-generasi pencipta.
Persoalan
sangat rendahnya masyarakat kita dalam hal membaca buku, tentu menjadi masalah
besar bagi bangsa ini. Segenap peserta forum pun begitu gelisah menyikapi virus
malas membaca ini.
Coba
kita simak saja, msyarakat kita akan sangat lebih menyukai menyaksikan/menonton
film daripada membaca kisah yang difilmkan tersebut. Masyarakat kita akan lebih
berbahagia terbahak-bahak menyaksikan Dono beserta teman-teman Warkopnya dari
pada mencoba mencari buku-buku novel karyanya.
Lebih-lebih,
tidak sedikit guru-guru atau pengajar di sekolah atau di perguruan tinggi yang
masih begitu abai dengan pergerakan atau apa saja yang terjadi pada
perkembangan sastra saat ini. Sastra koran seperti apa, sastra dari gerakan
komunitas seperti apa, siapa saja sastrawan muda yang bermunculan, atau siapa
saja sastra yang menjadi nominasi berbagai ajang penghargaan kesastraan, entah
puisi, cerpen atau kritik sastra.
Tidak
malah hanya melulu berkutat pada karya sastra masa lalu yang terkadang sudah
sangat ketinggalan. Itu terkadang yang membuat pengajaran sastra kita menjadi
sangat kuno. Sudah sangat puas hanya saja mengajarkan atau membacakan puisi
"Aku Ingin" dari Sapardi Djoko Damono dengan cuma hasil "copy
paste" dari internet, tanpa mengetahu seperti apa dalam bukunya.
Belum
ada upaya pengajar kita berkeinginan melek literasi, dengan cara update
karya-karya baru yang lebih segar. Misalnya saja jika puisi bolehlah diajak
menekuri buku puisi Tidak Ada New York
Hari Ini karya M Aan Mansyur yang begitu populer dalam film Ada Apa dengan
Cinta 2, buku puisi Sarinah karya
Esha Tegar Putra, Mendengarkan Coldplay
karya Mario F. Lawi atau bahkan mengajar menyuntuki buku puisi karya penyair
sarung Joko Pinurbo yang terbaru, Malam
Ini Aku Akan Tidur di Matamu.
Belum
lagi sangat sedikit pengajar kita yang mau mendatangi beberapa gerakan sastra
yang ada di sekitar. Misalnya, saja jika di dekat-dekat Semarang dan Kendal
ini, siapa yang mau meluangkan waktu untuk mendatangi acara obrolan buku
semacam yang diselenggarakan oleh Kelab Buku Semarang dengan tawaran buku-buku
sastra bagus yang dibahas dalam forum. Belum lagi perhelatan sastra tahunan
yang diselenggarakan Komunitas Lerengmedini Boja Kendal, misalnya dalam Parade
Obrolan Sastra atau Kemah Sastra.
Padahal
sudah menjadi rahasia umum jika dalam forum obrolan dan kemah tersebut
mendatangkan banyak tokoh-tokoh sastra kita. Sebut saja Agus Noor, Ahmad
Tohari, Remy Sylado, Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, dan sederet maestro
lainnya banyak didatangkan di situ.
Belum
lagi gerakan literasi Wakul Sastra
yang saat ini sedang dijalankan Heri C. Santosa dalam komunitas tersebut dengan
meletakkan buku-buku di warung-warung makan di Boja. Niatan mereka sederhana,
bahwa diri manusia tidak hanya butuh kenyang perut saja. Jika hanya itu, lalu
apa bedanya manusia dengan hewan. Namun jika sudah begini, sesunggunya hanya
ada satu jawaban. Yakni, semua butuh kesadaran. Jika karya sastra itu
kemuliaan, maka tentu pengajaran sastra adalah ibadah yang begitu mulia.***
─Setia Naka
Andrian, Penulis Buku “Perayaan Laut” (2016). Peserta
Munas Sastrawan Nasional 2016.
1 komentar:
Aditya putra utama
4C
Tulisan yang satu ini merupakan tulisan yang memuat banyak fakta fakta yang hadir dalam kehidupan manusia sehari hari. Dari siswa/mahasiswa yang kurangnya akan pengetahuan tentang dunia luar dari zona nyaman mereka. Padahal mereka sebenarnya sudah sering sekali mendengar bahwa buku adalah media untuk menambah pengetahuan dan wawasan seseorang. Tetapi mereka hanya mengetahui saja dan tidak sama sekali mau membaca buku. Mereka hanya menyukai hal2 instant yang sudah tersajikan matang dihadapan mereka. Tanpa mau tau cara sang pencipta tulisan tersebut berproses membaca dan observasi dahulu sebelum membuat tulisan. Yang mereka tahu hanya menulis uneg uneg di dalam media sosial mereka masing masing. Hanya untuk ingin diperhatikan oleh pengguna lain tulisan uneg2 mereka tersebut. Padahal masih banyak media yang dapat menampung segala uneg uneg agar lebih bermanfaat dan bisa di baca oleh anak cucu kita. Media tersebut adalah buku.
Posting Komentar