Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas
Oleh Setia
Naka Andrian
Sarasehan
yang digagas Subur L. Wardoyo, Nur Hidayat, serta teman-teman Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia (HISKI) Universitas PGRI Semarang dengan tajuk Perempuan, Budaya Pop, dan Erotisme pada
21 Januari 2017 di Rumah Makan Chanadia Jalan Erlangga Semarang, memantik
hadirin untuk lebih jauh meriwayatkan keberadaan bau (aroma tubuh perempuan)
sebagai identitas dan kekayaan masyarakat kita.
Aroma
tubuh, khususnya bagi perempuan, tentu kerap menjadi perhitungan panjang.
Seorang perempuan tak akan begitu saja “melepas” tubuhnya di lingkungan
masyarakat. Pasti akan dipersiapkan penampilannya, terutama pada sisi aroma
tubuh. Barangkali jika penampilan sudah dipersiapkan baik-baik, sosoknya sudah
cantik, namun jika urusan bau masih belum selesai, dan masih menyemburkan bau
tak sedap, maka runtuhlah “harga” diri seorang perempuan itu.
Yang
pasti, ilustrasi tersebut kerap hanyalah menjadi persoalan bagi perempuan
semata. Terkait obrolan yang berjalan, di antara peserta diskusi ada yang menyampaikan
bahwasanya seorang lagi-lagi tak selamanya selalu menuntut aroma sedap dari
tubuh perempuannya. Jika semua itu sebatas tempelan, yang hanya diperoleh dari
semprotan parfum atau deodoran yang diguyurkan di sekujur tubuhnya. Tak sedikit
laki-laki yang mengatakan, bahwa mereka masih sangat merindukan aroma alami
dari pasangannya atau perempuan yang diidamkannya.
Disampaikan
oleh Subur, bahwa body chemistry akan
menentukan seorang perempuan dan laki-laki saling terangsang. Pada posisi tertentu
seorang laki-laki, misalnya, akan lebih memilih pasangannya dengan tanpa
menggunakan aroma parfum. Ia lebih menghendaki pasangannya menyemburkan aroma
tubuh yang alami. Biar pun selepas beraktivitas, berolahraga, dan berkeringat,
namun sang laki-laki justru semakin berhasrat.
Di
antara perempuan dan laki-laki itu, akan timbul reaksi alamiah yang kemudian
berlanjut pada ruang-ruang pergerakan jasmani. Terutama pada laku spontan dari
organ jasmaniah, seperti dari otak, jantung, otot-otot yang terpicu oleh
rangsangan dari indra penciuman kita. Kemudian, segala itu akan kita yakini
sebagai sebuah kecocokan, merasa berjodoh dan klik.
Barang
tentu sangat kita lihat, dan sangat kita yakini, seorang perempuan justru
cenderung akan menutupi bau badannya dengan pemenuhan aneka parfum pilihan yang
dibelinya dengan harga yang begitu mahal. Kali pertama yang dilakukan selepas
ia mengenakan pakaian, tentulah menyemprot sekujur pakainnya dengan aroma
parfum tertentu. Segala itu, tak lain hanya demi sebuah kesan yang hendak ia sajikan
kepada pasangannya (lawan jenis). Dengan harapan, akan terjalin sebuah
pertemuan, perbincangan, dan hubungan yang hangat.
Perihal
bau, yang awalnya kita percaya sebagai segala sesuatu yang keluar dari apa saja
yang dapat ditangkap oleh indra penciuman kita, seperti bau anyir, harum, busuk.
Maka kini, riwayat bau (aroma tubuh) tidak selesai atau berhenti begitu saja. Misalnya,
peserta diskusi lain, Nanda Goeltom, salah seorang pria kelahiran Batak, turut
serta mengisahkan perjumpaannya dengan bau. Ia menjelaskan bagaimana bau telah
menjadi warisan dari leluhur kita.
Dalam
obrolan yang berlangsung, bau yang ternyata sudah menjadi bagian dari identitas
masyarakat kita, sejak dahulu kala. Orang Batak misalnya, akan sangat hafal
dengan bau orang Madura, begitu pula sebaliknya. Di antara mereka akan sanggup
mengenali, hanya berdasar pada bau yang ia terima melalui indra penciumnya.
Seolah-olah, bau mengambil posisi yang melampaui dari tubuh yang memproduksi
bau itu sendiri.
Selanjutnya,
bau pun menjadi penanda keberadaan atau identitas tersendiri bagi sebuah
kota/daerah tertentu. Bau atau aroma masakan misalnya, ditebarkan begitu rupa,
disebar setinggi-tinggi ke udara. Dengan harapan, pada waktu-waktu tertentu
saat aroma masakan itu dihadirkan, pada saat-saat yang menunjukkan waktu makan
pagi, makan siang, atau makan malam, masyarakat akan mengetahui, bahwa ini
sudah waktunya untuk makan. Waktunya untuk menepi, beristirahat sejenak, dan
menikmati hidangan makanan.
Tentu,
segala itu menggiring godaan tersendiri bagi masyarakat kita. Khususnya bagi
yang sedang bepergian. Di tepi jalan, tak jarang warung-warung makan yang
menggunakan metode aroma masakan untuk menarik minat pelanggan. Tak jarang di
antara mereka mengudarakan aroma-aroma masakan khas kota/daerahnya. Sehingga,
selain bernalar untuk berdagang, mereka juga punya tanggung jawab dalam usaha
memanjangkan riwayat kota/daerah. Menjunjung tinggi identitas kota melalui
pertahanan dan tawaran dalam godaan aroma-aroma masakan.
Bahkan
kita ketahui bagaimana masyarakat lampau, sebelum ditemukan Global Positioning System (GPS) sebagai
sistem navigasi berbasis satelit yang kerap menemani kita dalam setiap
perjalanan, masyarakat kita saat itu akan mengetahui dan mengenal
wilayah-wilayah tertentu hanya dengan bau (aroma). Kepekaan indra masyarakat
kita saat itu akan benar-benar diuji. Saat mencium bau ikan-ikan asin, tentu
kita yakin telah berada di wilayah pesisir pantai. Selanjutnya pada kota atau
daerah lain pastinya meriwayatkan pula hal serupa.***
─Setia Naka
Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016)
dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi “Manusia Alarm”.
2 komentar:
Wah akhirnya bikin blog juga. Sukses terus dalam berkarya. Jangan lupa nulis behind the sciencenya disini :D.
ismi, wah blog ini sudah sangat lama
Posting Komentar