Jalan Tol dan Kematian Kota
Oleh Setia
Naka Andrian
Selepas
peristiwa pembebasan lahan usai, yang didahului dengan tarik-ulur harga tanah,
tragedi kecil dengan pemerintahan desa/kelurahan, atau bahkan hingga berdemo
menuju pemerintahan tinggi di atasnya. Kita tak jarang akan melihat di
warganet, orang-orang mengunggah foto riwayat rumahnya. Dari mulai potret awal
ketika rumah didirikan, diperjuangkan dengan bertaruh keringat dari tahun ke
tahun, hingga saat terjadi penggusuran akibat proyek pembangunan jalan tol.
Mereka
seakan begitu tak rela melepas tanahnya. Berdalih, segala itu warisan leluhur
yang tak terkira nilainya, dan patut dipertahankan sampai kapan pun! Namun akhir
kata dalam unggahan foto-fotonya, “Biarlah segala ini berakhir. Biar
bagaimanapun, semua ini demi suksesnya gerak pembangunan bangsa dan negara!”
Segala
itu belum berakhir begitu saja. Tentu akan menyisakan berbagai persoalan baru
bagi masyarakat kita. Awal mulanya, harga bangunan dan tanah yang diganti oleh
pemerintah terkesan berduit-duit, melimpah-ruah. Ternyata setelah dibelikan
lahan baru, kemudian membangun rumah lagi, uang tersebut tidak cukup. Lalu
akhirnya, masyarakat lagi yang kelimpungan. Mengadu lagi, mengumpat lagi!
Menyalahkan pemerintah lagi!
Belum
lagi persoalan baru yang menimpa kota. Tentu ini bukan lagi hal sepele dan
dapat dibiarkan begitu saja. Bergelimang pekerjaan rumah yang tidak hanya
menyangkut harkat diri perorangan. Namun sudah berdampak pada kelangsungan
hidup khalayak dan masa depan kota. Bayangkan saja, misalnya di kota kecil
semacam Kendal. Selepas jalan tol Semarang-Batang dibangun, kemudian selanjutnya
beroperasi. Apa yang akan terjadi dengan wilayah yang awalnya sebatas kota
singgah ini?
Kota
yang sebelumnya dimanfaatkan oleh pengguna Jalan Pantura hanya sebatas untuk
merebah selepas mengisi bahan bakar di pom bensin, melucuti lelah sejenak di
hotel-hotel melati, atau sekadar mencari warung-warung pinggir jalan untuk mengobati
perut yang lapar. Segala itu sebatas mampir, tidak lebih! Kota singgah ini pun,
sebelumnya seakan tak kuasa memberikan kemanjaan apa-apa. Baik itu untuk
memanjakan mata atau bahkan lidah mereka!
Mata
para pengendara, pelancong yang lewat tadi seakan semakin tak menemukan sesuatu
yang berkesan. Seakan tiada lagi yang terkenang, membuat mereka kelak akan
mampir lagi ketika melewati kota ini. Bahkan untuk urusan lidah, yang kita pahami
dapat menjadi keutamaan bagi orang-orang bepergian. Siapa pun pasti ingin
menjalani wisata kuliner! Sudahkah itu digarap di kota singgah semacam Kendal
ini?
Seharusnya
segala ini menjadi kegelisahan bersama. Kita harus sadar, kota ini bukan kota
tujuan. Selepas jalan tol Semarang-Batang beroperasi, kita akan kejatuhan dampak
yang bertubi-tubi. Bisa jadi, kota singgah yang dahulunya hendak bercita-cita
menjadi kota tujuan pun akan pupus seketika. Bahkan untuk mempertahankan
menjadi kota singgah (lagi) pun harus melalui jalan lebih panjang dan lengang.
Jika
tidak segera mengambil tindakan berarti, cepat atau lambat kota ini akan
berangsur-angsur mati. Para pengendara, pelancong, turis lokal maupun manca,
akan lebih memilih berselancar di jalan tol yang lepas dan bebas hambatan itu. Menuju
kota-kota tujuan semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar (Bali). Kota
singgah ini tidak akan kebagian apa-apa. Masyarakat kita yang (katanya) telah mendapat
berduit-duit dari hasil pembebasan tanah pun seakan mereda. Menikmati kehidupan
baru di tempat tinggal baru, dan ‘seolah-olah’ merajut kebahagiaan baru.
Lagi-lagi
pemerintah kabupaten/kota (Bupati Kendal) harus segera lepas tindakan.
Masyarakat pun wajib membantu. Persoalan ini akan mulus dilalui hanya dengan
kerja kolektif. Sudah tentu, sangat perlu mendengar pertimbangan dari tokoh/sesepuh
masyarakat, sejarawan, budayawan dan seniman dalam gerak pembangunan yang
benar-benar meriwayatkan kearifan kota.
Mau
diapakan kota ini, hendak dibawa ke mana, mau disulap menjadi apa, dan lain
sebagainya. Sudah seharusnya, tatanan kota pun harus dikemas ulang sedemikian
rupa. Merujuk yang sudah disinggung sebelumnya, secara sederhana, kota ini
wajib memanjakan mata dan lidah para pelancong! Kedua itu tentu dapat kita
jadikan sebagai awal pijakan.
Setelah
keduanya selesai, maka kemanjaan hati pun akan dilampaui. Para pelancong akan
berkesan, mereka akan terkenang atas kemanjaan-kemanjaan yang dihidangkan di
hadapan mata, lidah, dan tentunya di hati. Maka mau tidak mau, kelak mereka
akan mengulangi persinggahannya lagi. Akan datang kembali, mengajak orang-orang
baru, mengabarkan kepada handai-taulan dan sanak-saudara. Otomatis, pundi-pundi
pedagang akan semakin penuh, perekonomian masyarakat kota bergerak melambung
tinggi.
Sudah
seyogianya perlu dipetakan lagi, mana saja tempat-tempat wisata di Kendal ini
yang berpotensi digarap lagi. Terutama wisata alam di kota ini yang sekiranya
masih bertenaga untuk memanjakan mata khalayak. Tentu hal ini sebetulnya bukan
lagi menjadi sesuatu yang sulit. Tidak sedikit wisata alam di kota ini yang
memiliki daya pukau. Ada Curug Sewu, Goa Kiskendo, Pulau Tiban, Pantai Sikucing,
dan lainnya. Tentu salah satu tugas saat ini, hanya bagaimana mengelolanya
lebih baik lagi. Lihat saja beberapa waktu dekat ini, Sungai Bladon yang
terletak di Dusun Krayapan-Brangsong telah membuktikan.
Sungai
yang tidak disangka-sangka itu tiba-tiba meledak dibanjiri banyak pengunjung.
Masyarakat hilir-mudik, tidak hanya dari dalam kota saja yang berdatangan,
namun menyedot ratusan warga dari kota-kota tetangga. Sungai yang terkesan
masih asri, bersih, dan cocok untuk digunakan berfoto di balon pelampung yang
bisa disewa pelancong. Itu menjadi salah satu bukti atas aset alam yang
dimiliki kota ini. Sudah saatnya kota berbenah. Proyek pembangunan tol sudah
berjalan. Sebentar lagi akan beroperasi. Seluruh lapisan masyarakat wajib urun rembug, turut andil dalam
menciptakan masa depan kota yang lebih baik!***
─Setia Naka
Andrian,
Dosen UPGRIS, Menulis buku Perayaan Laut dan Remang-Remang Kontemplasi.