Pengajar
di Luar Tempurung
Oleh Setia Naka Andrian
Tentu setiap orang menyimpan banyak kenangan dari riwayat
pengajar/gurunya masing-masing. Barangtentu sudah sangat kita akrabi ungkapan William Arthur, bahwa guru biasa ‘mengatakan’,
guru baik ‘menjelaskan’, guru superior ‘mendemonstrasikan’, dan guru luar biasa
‘menginspirasi’. Pasti sepanjang hidup kita hanya akan mengingat
beberapa saja pengajar yang menginspirasi, dibandingkan dengan begitu banyak
pengajar yang ‘terlupakan’ riwayat kenangannya saat kita mengenyam bangku
sekolah.
Entah tentang guru fisika yang selalu tidak membawa
apa-apa ketika masuk kelas, namun begitu hafal dengan rumus-rumus dan segenap
materi yang disampaikan di kelas. Guru yang berprofesi sebagai pengusaha sukses
dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti. Atau guru bahasa Indonesia yang
mahir membaca puisi, berteater, menulis, dan langganan juara lomba. Guru penulis
buku-buku pelajaran yang diterbitkan penerbit major, dan seabrek kenangan
lainnya. Tentu segala itu akan mudah kita riwayatkan kembali sebagai inspirasi
hidup. Lebih-lebih, segala itu kita peroleh lebih banyak dari kenangan
pengisahan guru kita di kelas pada sela-sela pelajaran sebagai intermezzo, ketimbang pelajaran yang
disampaikannya.
Apa lagi di negeri kita ini, pembelajaran yang paling
mujarab tentu yang disampaikan melalui metode ceramah. Tentu tidak dapat kita
pungkiri, walaupun telah banyak ditemukan seabrek metode pembelajaran oleh
pakar pendidikan kita. Tetap saja, dari mulai pagi di sekolah formal, hingga sore
hari di sekolah diniah, misalnya. Guru kita akan lebih gemar berceramah.
Mengisahkan banyak hal, baik yang masih terkait dengan materi pelajaran, atau
bahkan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Segala itu, tentu dilakukan atas dasar
ikhtiar pembentukan nilai lain. Agar sekolah tidak hanya terkesan mengemban tugas
untuk mengguyur ilmu pengetahuan semata.
Guru menginspirasi, tentu yang begitu terkenang di benak
siswanya. Guru yang mampu memberikan ‘spirit lain’ atau pandangan lain kepada
siswanya. Guru yang mampu menyeret imajinasi siswanya untuk mendalami sesuatu
yang memang patut untuk diperjuangkan demi kehidupan diri, yang lebih baik
tentunya. Guru yang tidak sekadar memberikan contoh semata, namun benar-benar
mengajak untuk bergelut pada bidang tertentu. Entah yang dapat dilakoni pada
saat masih menjalani proses pembelajaran di sekolah, atau kelak pada masa
selanjutnya.
Seperti halnya tadi, guru fisika yang melampaui guru
fisika lainnya, guru bahasa Indonesia pula. Tentu guru-guru tersebut merupakan
pengajar yang berani mengambil keputusan lain. Guru yang beraktivitas tidak
sekadar menyuntuki tugas-tugas administratif di sekolah tempatnya mengajar
saja. Namun, telah mampu mengembangkan segenap potensi diri. Entah dengan memperbanyak persinggungannya dengan
komunitas atau forum-forum tertentu yang memicu semangat untuk menjadi ‘diri
lain’ selain sebatas sebagai guru semata.
Guru yang tidak melulu percaya bahwa kehidupannya hanya
sebatas menyuntuki segala yang sudah diterimanya saat ini. Artinya, tidak ada
niatan untuk lebih memompa potensi dalam diri, keluar dan berpetualang lepas
melampaui capaian orang lain di sekitarnya. Seperti halnya yang dikisahkan Benedict
Anderson (2016), bahwasanya peneliti (seseorang) yang merasa betah dengan
posisi mereka di suatu disiplin, jurusan, atau universitas tidak akan mencoba
berlayar keluar dari pelabuhan atau mencoba-coba cari angin. Menurutnya, yang
perlu dipegang teguh adalah kesiapan untuk mencari angin itu dan keberanian
untuk mengikutinya, manakala ia menembus ke arahmu.
Pastilah setiap orang memiliki potensi lain, baik yang
sudah kelihatan, yang masih samar-samar, atau bahkan yang belum nampak
sekalipun. Hal ini tentu yang perlu dipicu adalah niatan untuk menemukan
sesuatu yang baru, jika barangkali beberapa hal yang sudah ditemukan belum
sepenuhnya klik di hati atau belum mampu menggapai capaian tertentu. Maka tidak
heran, jika banyak pula masyarakat kita, selepas lulus sekolah/kuliah pada
bidang tertentu, setelah itu bekerja pada bidang lain yang sangat
berseberangan. Bisa jadi, itu semua akibat diri yang gegabah dan belum
sepenuhnya mengamini bahwa hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah proses,
sebuah perjalanan panjang untuk menjadi.
Lalu bagaimana dengan nasib pengajar kita saat ini? Dalam
segenap aktivitas mereka seolah-olah begitu terbebani dengan kesibukan
aktivitas administratif yang bertumpuk-tumpuk. Kegiatan di luar akademik yang
membabi-buta, serta seabrek perjumpaan kerja yang seakan semakin menceraikan
mereka dari buku, perlombaan bagi guru, atau bahkan pergulatan komunitas dan
forum-forum mulia yang seharusnya diperlukan untuk menyambuki diri menjadi
pengajar-pengajar yang bergerak di luar tempurung.
Mengingat, pada kenaikan pangkat jenjang tertentu
misalnya. Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e diwajibkan
untuk melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di
antaranya tuntutan pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau
pengembangan karya inovatif. Misalnya pada bagian publikasi ilmiah, guru
dituntut untuk publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru. Jika
segala ini dituntut pemerintah, tentu mereka akan mau melakukan. Namun akankah
masih mampu mengejar karya yang fenomenal, jika guru masih bernalar di dalam
tempurung? Jika guru masih selalu disuntuki kerja-kerja administratif yang
bertubi-tubi?***
─Setia Naka Andrian, Lahir
dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang
telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga
rampai “Remang-Remang
Kontemplasi” (November, 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar