Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia
Naka Andrian
Hari
Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi
dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa
bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak
untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah
ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi.
Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya
gunakan untuk memburu koran.
Mengingat
di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan
warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan
beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan
di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk
menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh
nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu
tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya
dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat
dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu.
Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang
kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran
tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang
situ siapa?”
Kedua
belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup
saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang
seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan,
hari kruntelan), namun segala itu
dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum
lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua
orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu
kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat
menghinggapi ngunduh mantu pernikahan
saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya
jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan
dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan
kuliah di kota tetangga.
Segala
itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan
berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan
sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut
sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih,
ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu
ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa
pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas
panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik
tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan
keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri,
bisa karena biasa! Dalam hal apa pun,
kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran,
berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti
halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas
Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan
Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi
kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat
saya ternobatkan menjadi sosok halu di
hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya
harus bertemu dengan istilah semacam halu
itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang
jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal.
Waduh.
Namun
begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari
pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan
cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu
Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan
lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam
paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang
harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri,
dan sambung napas institusi.
Saya
seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali
ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada
terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna
imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita
hidup di zaman yang serba mudah.
Kita
seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa
di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel
pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau
membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi.
Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan
tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah
rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar
kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika
tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada
hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa,
jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu,
sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap
perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan,
was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan
tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media
apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap
mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata
kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata
yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***
─Setia Naka
Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id
yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar