Cermin Jiwa; Politik dan Jagat Pesantren
Oleh Setia
Naka Andrian
Jagat pesantren, dewasa ini
begitu rupa menjadi sorotan bagi elite politik. Santri, ulama, kiai seakan lahir
sebagai magnet tersendiri bagi mereka yang hendak menampilkan diri dalam
panggung politik. Pesantren setidaknya telah mengambil salah satu posisi (sasaran
utama) untuk memperoleh kemenangan yang diidam-idamkan.
Sudah jelas, pesantren diyakini
masyarakat sebagai jagat sunyi yang tak henti-hentinya memproduksi makna,
identitas, hingga segala hal tentang pembentukan akhlak mulia bagi umat
beragama. Rumah bagi para pengeja ilmu agama tersebut pun hingga kini masih
begitu kuat menempa ingatan publik. Pesantren dengan segenap isinya, selalu
diberi tempat di mata dan batin masyarakat kita.
Untuk itu, tak sedikit calon
pemimpin kita yang kerap sowan kepada segenap pesantren seantero tanah Jawa
ini. Dari mulai sekadar minta doa restu, hingga menggandeng putra kiai, atau salah
seorang insan terbaiknya untuk maju bersama dalam panggung politik.
Seolah-olah pesantren menjadi
sebuah tameng, rumah berlindung jika barangkali didapati beragam anggapan buruk
yang bertebaran di telinga masyarakat. Atau setidaknya mampu menanam
kepercayaan lebih dan yang pasti, mendongkrak ‘suara’. Sebab, sampai kapan pun pesantren
tetaplah menjadi rujukan, segala mula dan muara, rumah berteduh bagi insan
beragama, atau bagi siapa saja yang berhasrat menanam citra baik dalam
tubuhnya.
Melalui novel Cermin Jiwa (Alvabet, Juli 2017), S.
Prasetyo Utomo mengisahkan sebuah keluarga yang dihuni sepasang suami-istri setengah
baya dan seorang anak perempuan belia. Merekalah Abah, Umi, dan Zahra. Abah
mengalami kekalahan dalam pemilihan wakil rakyat. Abah, seorang pemilik ladang
dan toko bunga. Suatu ketika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun ia
gagal, meski segalanya telah dipertaruhkan. Termasuk tanah, mobil, dan
tabungan.
Selepas itu, Abah berniat
menenangkan diri, kembali berguru di sebuah pesantren yang sempat ia tinggali
semasa muda. “Aku ingin kembali berguru
pada kiai di pesantren Lembah Bayang-Bayang, seperti pada masa mudaku.
Melupakan keguncangan hatiku.” (hlm. 12).
Abah berniat menepikan diri. Ia
telah tersadar, bahwa ia tak berjodoh menjadi wakil rakyat. Meski awalnya ia
belum bisa sepenuhnya menerima. Selepas Umi, istrinya, mampu menyadarkan, maka
Abah berniat kembali berguru ke pesantren. Abah memilih jalan sunyi, selepas
persoalan berat menimpa hidupnya. Menapaki kembali jalan yang dikehendaki
nuraninya, selepas diterpa kehancuran bertubi-tubi.
Gelagat Elite Politik
Prasetyo dalam novel ini
memberikan tawaran lain pula, yakni didapati tokoh yang menyabung nasibnya
dalam pemilihan wakil rakyat. Tokoh tersebut menang, namun tidak lama kemudian
ia tak mampu mengendalikan nafsu. Maka segala itu menjerumuskannya ke penjara,
akibat terbelit kasus korupsi.
Didapati pula kisah lain,
seorang tokoh yang hendak maju dalam pemilihan Bupati. Ia berkunjung dan hendak
meminta restu kepada Kiai Sepuh, pengasuh Pesantren Lembah Bayang-Bayang,
tempat Abah berguru dan menenangkan batin.
Calon bupati tersebut
mengumbar janji kepada Kiai Sepuh, termasuk ingin membangun jalan menuju
pesantren. Akhirnya, Kiai Sepuh mengizinkan, memberi restu kepada calon bupati.
Abah pun sempat heran, kenapa Kiai Sepuh memberikan restu.
Calon bupati tersebut pun menang
dan sudah berkuasa, namun jalan menuju pesantren masih tetap belum dibangun
seperti yang dijanjikan. Kiai Sepuh tetap tenang, tak mengaharap apa-apa. Abah
begitu heran, pasti akan terjadi sesuatu.
Akhirnya terdengar kabar,
bahwa bupati yang berkuasa tersebut ditangkap, ditahan, dan dibawa ke
pengadilan. Semua orang pun tahu maksud Kiai Sepuh mendukungnya, hanya untuk
menggiringnya ke penjara. “Aku baru
sadar, Kiai Sepuh mendukung bupati itu untuk menemukan takdirnya di penjara,”
kata Kiai Maksum, sebelum menghentak tali kendali kudanya. (hlm. 33).
Dari beberapa penggalan kisah
tersebut menunjukkan, betapa Prasetyo menampakkan gelagat elite politik di
sekitar kita. Keberadaan pesantren yang kerap kali diperhitungkan dalam
melancarkan gerak roda kelompoknya demi mencapai kekuasaan yang mutlak.
Bumbu-bumbu lain pun
dihadirkan oleh Prasetyo, yakni terkait persoalan tarik-ulur pembangunan pabrik
semen di Lembah Gunung Bokong. Perlawanan, kecaman, pengkhianatan menjadi
putaran gerak politik tersendiri. Negara pun turut serta dalam peristiwa daerah
tersebut, selepas persoalan berlarut-larut dan memanjang hingga menjadi isu
nasional.
Dalam novel ini, Prasetyo
seakan menggarap sebuah dunia dengan segala kemungkinan yang kokoh, melalui
kejernihan jiwa beberapa tokoh yang dihadirkan. Segalanya seakan menyelinap
dalam benak dan batin kita. Menggelinding dalam roda keseharian yang tentu akan
begitu mudah kita tunjuk di koran, televisi, dan segala media massa yang
beterbangan di sekitar kita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar