Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal
Oleh Setia
Naka Andrian
Tak
banyak yang mengira digedung kecil di belakang GOR Bahurekso Kendal kerap
terselenggara aktivitas dari para pegiatseni. Tak sedikit seniman cukup belia berproses
kreatif di gedung serupa bangunan taman kanak-kanak itu.
Ya,
bangunan tua itu adalah Balai Kesenian Remaja (BKR). Rumah para pegiat seni dan
ruang bertemu beberapa komunitas yang tersudut dipusat kota. Sangat tak
tersentuh pembangunan, minim fasilitas. Gedung yang hanya didiami dan dirawat
seadanya oleh para pegiatseni di segenap jalan sunyi mereka.
BKR
kalah rupa dari taman kota,alun-alun, seputaran jalan pusat kota yang selalu
riuh. Orang-orang itu sekadar ingin melepas lelah, mengatasi dahaga, atau
mengenyangkan perut semata. Lalu mereka berfoto,bersama beberapa teman,mengabadikan
momen seadanya dialun-alun, di Taman Garuda, di bawah lambang Indonesia yang
gagah, menjulang ke langit.
Tak
ada yang salah denganupaya pemerintah mempercantik pusat kota atau mendirikan
bangunan yang gemebyar ke hadirat mata khalayak. Namun para penyuara kebijakan
tentu harus mempertimbangkan pula keberadaan ruang kreatif di pusat kota. Sebuah
ruang yangkerap menjadi rumah bertemu,berdiskusi, menyibak gagasan,
proseskreatif, serta mempresentasikan karya cipta.
Bolehlah
kita tengok, misalnya,gelaran Barang Bukti Theater Parade #4, parade teater
reguler yang digarap Teater Atmosfer Kendal, beberapa waktu lalu. Kita akan
disuguhi parade teater di gedung yang sempit. Sesungguhnya tak jadi soalbesar
atau kecil ruang akan tampak dengan seberapa orang yang menghuninya. Nah, saat
parade teater itu, penonton membeludak. BKR pecah oleh kisaran 130 penonton
pada tiap sesi, baik sore maupun malam. Belum lagi aktivitas lain; forum
mingguan Jurasik (Jumat Sore Asik) dan seabrek laku kesenian lain.
Jika
memasuki ruang pertunjukan, saat membuka pintu gedung, kita langsung menghadapi
penonton yang lesehan di karpet lusuh. Bahkan jika ada penonton yang hendak
keluar, pintu gedung tak dapat terbuka dengan leluasa. Harus ada beberapa
penonton merelakan diri bergeseratau berdiri. BKR seakan anak tiri, atau bahkan
anak yang tak dianggap memiliki orang tua. Ia berdiri lemas diantara gerak
pembangunan yangkerap menyuarakan diri untuk mempercantik kota.
Di Mana Saja
Dewasa
ini kita seakan tak bisamengelak dan beranggapan: kesenian dapat kita nikmati
kapan saja dandi mana saja. Gawai di genggaman seakan mampu menjawab segalanya,
termasuk sebagai ruang menyibak jagat estetika. Kita menapaki segenap keindahan
di sebuah media, diruang kedua, selepas diabadikan dari ruang pertama yang
berdarah-darah.
Kita
tentu mafhum, tak sedikit pulayang masih beranggapan kesenian masih selalu
butuh gedung. Ruang untuk mempresentasikan karya cipta, selepas beberapa waktu
ditempaproses panjang. Ruang yang menjadidapur untuk menggodok berbagai gagasan,
ide kreatif, hingga bahasan kerja bersama antarkomunitas. Kendali Seni Kendal,
misalnya. Itulah gelaran tahunan, yang disebut embrio festival kesenian, yang
telah berlangsung dua kali, 2016 dan 2017. Dan, tahun ini pun sudah mulai
digodok.
Bolehlah
jika kita bersuara dan meyakini, panggung di ruang publik dibuka begitu lebar.
Seniman dapat memanfaatkan untuk menyuguhkan karya cipta. Seniman rupa dapat
leluasa menunaikan gagasan di dinding-dinding, di tembok-tembok, bahkan di jalanan
yang kerap dilewati manusia, yang ditempa panas dan hujan sekalipun.
Penyair
pun dapat membacakan sajak di pasar, di lampu merah, atau dimana saja yang
memungkinkan disinggahibanyak mata. Guyuran kata-kata akan bebas memasuki tubuh
baru, puluhan, bahkan ratusan hati, akan turut serta menyambut kehadiran upaya
mereka menebar kesadaran kolektif.
Namun
tetap saja gedung serupa BKR pastilah sangat mereka butuhkan. Apalagi jika
ruang serupa itu hanya satu-satunya—gedung di pusat kota, dapat diakses dengan
mudah. Rumah yang patut dipertahankan dan dirawat sebagai titik pertemuan para
pegiat seni di Kota Bahurekso.***
— Setia Naka Andrian, lahir di
Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini sesekali menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar