Oleh
Setia Naka Andrian
Seantero Indonesia sedang hangat
membincangkan pemilihan orang-orang nomor satu, dari wakil rakyat daerah hingga
presiden dan wakil presiden. Di mana-mana riuh. Tak hanya suara menggedor
telinga, mata khalayak pun dipaksa melihat wajah-wajah yang hendak berlaga di
panggung pemilu. Wajah yang dipajang di jalan, menggoda sepenuh senyuman,
menebar keramahan.
Para pegiat desain komunikasi visual
Universitas Selamat Sri (Uniss) Kendal menyambut hal itu, beberapa waktu lalu.
Mereka berpameran seni rupa “Ajar Wanter” di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kendal. Instalasi dari bambu tak bercat dan tali rafia begitu rupa menyangga
karya mereka, menyulap ruang selayaknya gedung pameran. Siang itu,
terselenggara pula obrolan, membincang “Desain Grafis dalam Pusaran Politik”.
Pemantik dua dosen muda Uniss, Didung Pamungkas dan Dwi Hantoro, serta Hevy
Indah Oktaria dari KPU Kendal. Ada kegelisahan di antara mereka.
Keinginan, impian, niatan untuk turut
serta mewujudkan pesta demokrasi yang bersih, aman, dan penuh godaan visual.
Bukan sampah visual. Sampah visual setidaknya tak lagi hanya ditempel
semena-mena dan tak berizin resmi. Namun sebagai sesuatu yang mampu membuat
mata khalayak jemu. Puluhan karya itu begitu menggoda.
Karya bermula dari duplikasi sederhana
benda-benda di sekitar kita; sepatu tanpa kaki, botol minuman dalam pangkuan,
potret wajah, kehidupan kecil di kampung halaman. Semua itu menggiring, menuju
ke keberanian; menggoda siapa pun untuk belajar berani, bersuara, berbuat
sesuai dengan kehendak diri dan khalayak. Segenap obrolan dan karya yang
dipajang mengajak kita makin memahami kehadiran diri bagi diri sendiri, orang
terdekat, dan khalayak lebih ramai. Bagaimana posisi dan tanggung jawab kita
untuk menjaga, merawat, dan menyangga pesta penyerahan suara itu?
Tokoh Lama,
Tokoh Baru
Kesadaran kolektif hadirin jadi riwayat
tersendiri bagi kenyataan yang lewat, yang telah berlalu. Yang kerap menggedor,
bahkan melukai mata kita. Benar, segala itu telah jadi santapan sehari-hari.
Kita seakan disuguhi segala sesuatu yang sama.
Beragam foto yang dipajang dan
dipamerkan, mengintai mata kita. Merekalah tokoh lama yang percaya diri berlaga
kembali, sedangkan tokoh baru turut serta ambil gaya. Kita rindu, kapan lagi
menemukan tokoh baru yang bermunculan karena laku dan gerak kemaslahatan
mereka. Bukan tokoh yang menghadirkan wajah duluan di jalan dengan desain dan
editan sedemikian rupa, tanpa kita ketahui seluk-beluk dan takdir dia di
hadirat khalayak. Makin hari kita kian rindu tokoh yang hadir di lingkaran
publik tanpa kehendak sendiri. Tokoh yang terpanggil, tercipta bersama suara
alam, suara Tuhan yang dititipkan pada rakyat. Segala peristiwa dan kegelisahan
itu menyadarkan kita, betapa tidak sedikit tokoh dan pemimpin yang selalu ingin
tampak di muka.
Kerap berupaya mengendalikan tatapan
mata kita, melalui foto program kerja, keberhasilan pemerintahannya. Segalanya
dinampakkan melalui gambar dia. Bukan gambar rakyat, bukan figur yang
menjalankan program atau sosialisasi yang ditawarkan pemangku kepentingan.
Betapa semua itu hadir begitu saja,
berterus-terang, tanpa upaya meraih godaan visual di mata publik. Di forum di
tengah pameran, beragam kegelisahan bertumpahruah. Adalah tanggung jawab
bersama, tugas besar pegiat desain grafis, untuk memikirkan keberlangsungan gerak
visual masyarakat. Sebab, makin hari pemangku kebijakan, para pemimpin,
politikus, telah dibentuk dan disiapkan dengan cara apa saja untuk menggapai
puncak.
Mereka hadir dengan diri yang
seolah-olah, diri yang dipercantik melalui gerak media massa. Diri yang
menguasai media massa atau bahkan memiliki media massa. Upaya pegiat desain
komunikasi visual itu jadi jawaban tersendiri atas keinginan menjaga, merawat,
dan menyangga pesta demokrasi yang sebentar lagi bergulir. Mereka memberanikan
diri berbuat, menyumbang, dan memenuhi kesadaran kolektif khalayak. Mereka
menyuguhkan, mengajak, menciptakan tatanan yang memberi harapan bagi harkat
hidup rakyat. (28)
—Setia Naka
Andrian,
lahir di Kendal, 4 Februari 1989, bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar