Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia
Naka Andrian
Seperti
apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum,
bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan
tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan
penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak
sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang
terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan
teknologi informasi.
Jika
sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun
lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati
masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu
dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat
dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar
hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat
dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan,
segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas
itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada
sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita
seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan
lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa
bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum
lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan,
karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu
mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala
kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali,
kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp.
Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang
akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah
alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan
suara (telepon).
Bahkan,
saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa,
yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa
disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya
ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman
kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata
yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua
karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas
bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan
melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik
saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul
bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru
kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak
fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan
dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan
yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari
ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp,
kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum
lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai
sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum
sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari
segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat
menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah
pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita.
Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar
ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun
jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula
dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet
pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini.
Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa
pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden
pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran
kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana,
menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu,
jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi
berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk
setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat,
murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang,
akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon
menjadi sandaran utama.
Emotikon
dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok
karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi,
biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon
seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat
zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik
kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas.
Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita
lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita.
Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa
lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan,
saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan
membanggakan.
Bisa
jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan
kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu
bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu
menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun
setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi
hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel
pintar kita.***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi
Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di
Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar