Hari Rabu, 6
November 2019 tak terasa telah menginjakkan kaki dalam benak dan batin saya.
Ternyata memang selalu benar, waktu begitu cepat menggelinding. Seperti yang
ditulis Afrizal Malna dalam puisi Abad Yang Berlari, Dunia berlari, dunia
berlari. Seribu manusia dipacu tak habis mengejar.
Seakan kerja
waktu begitu rupa melampaui segala jenis putaran apa pun di jagat ini. Terus
bergerak, tak pernah mau berhenti. Meski saya sempat yakin, hanya fotografer
saja yang mampu sejenak menghentikan waktu. Bersamanya, kita sering diajak
menyeberangi lautan detik-detik, kemudian singgah sejenak di masa lalu. Yang
terkadang begitu asing dan lampau.
Dan, sudah tiga
minggu saja kiranya tubuh ini hinggap di Leiden. Ya, tepat pada Rabu 16 Oktober
2019 yang lalu, saya tiba di tanah residensi ini. Burung besi Qatar Airways itu
yang telah membawa tubuhku dari Jakarta hingga mendarat dengan baik di Schiphol
International Airport, Belanda. Nama bandara yang begitu saya ingat, atas penegasan
Joss Wibisono dalam pesan singkatnya saat masa persiapan residensi saya:
Schiphol bukan Schipol (yang katanya kerap ditulis oleh orang-orang Indonesia).
Ya, Schiphol, dengan
dua huruf h. Sebuah bandara yang kerap disebut ada di Amsterdam. Dalam
keterangan di pemesanan tiket penerbangan pun begitu, tertulis Amsterdam. Dan
menurut Joss Wibisono pula, itu Schiphol, bukan Amsterdam. Sebab Schiphol itu
terletak di antara Amsterdam dan Leiden. Jarak Schiphol ke Amsterdam berkisar
15 kilometer, begitu pula sama jaraknya jika menuju ke Leiden.
Sesaat selepas
saya tiba di Schiphol, saya dijemput oleh Teh Tuti. Ibu kos yang baik hati,
yang telah cukup membantu saya dalam berbagai kebutuhan saya di Leiden. Perempuan
kelahiran Bandung yang telah menikah dengan orang Belanda, dan selanjutnya
menetap di Leiden. Kami sudah saling berkirim pesan sejak saya masih disibukkan diri dalam
persiapan residensi. Tak lama kemudian, saya bergerak bersama Teh Tuti
menggunakan sebuah mobil yang dikendarainya.
Mobil melaju cukup kencang menuju
Waardeiland Leiden, tempat tinggal saya selama dua bulan residensi. Ya, dalam kecepatan sekitar 120 km/jam. Atau bahkan lebih. Namun dalam kendaraan terasa tenang saja. Entah, barangkali karena jenis mobilnya beda dengan yang kerap saya kendarai di Indonesia. Meski saya cukup dikenal sebagai offroder (amatiran), namun kecepatam maksimal di jalanan lapang seringnya maksimal 100 km/jam. Itupun sudah terasa kendaraan bergetar jika melebihi kecepatan itu. Selain jika lebih dari batas kecepatan itu, pasti akan ada navigator yang cubit-cubit perut saya sebelah kiri pula.
Pada hari ini,
ada hal yang cukup menengangkan sebenarnya. Ini terkait tempat mukim riset saya.
Yakni di Perpustakaan Universitas Leiden (dalam bahasa Belanda: Universiteitsbibliotheek
Leiden). Ya, di balik kemanjaan yang ditawarkan UB (sebutan yang akrab di
kalangan mahasiswa Universitas Leiden), ternyata ada sesuatu yang membuat
begitu deg-degan, sangat khawatir. Bagaimana tidak, tepat pada Selasa kemarin,
saya telah meminjam beberapa edisi majalah. Setiap arsip berisi setu tahun
terbitan. Lalu saya baca dengan pembacaan cepat, dan saya abadikan bagian yang
saya inginkan menggunakan kamera ponsel. Sudah, bertumpuk majalah itu sudah
usai saya pinjam. Langsung saya kembalikan.
Dan ternyata,
laporan pengembalian buku itu hanya beberapa saja yang tersampaikan. Ada sekitar
tujuh laporan pengembalian yang belum tersampaikan. Lalu akhirnya, sudahlah,
sambil mencoba melegakan diri, semoga besok sudah beres semua. Sebab saya tahu
juga, hari sudah sore. Petugasnya sudah harus istirahat, harus lekas pulang.
Saya pun beranjak dari perpustakaan. Bergerak pulang menuju tempat tinggal. Meski sungguh, belum bisa juga menghilangkan rasa takut. Bagaimana tidak, itu majalah lawas. Berbandel-bandel pula! Bayangan saya: bagaimana jika saya harusengganti berbundel-bundel majalah lawas itu. Berapa ratus euro dendanya? Waduh!
Namun ternyata
hari berikutnya (Rabu ini), laporan pengembalian peminjaman dalam akun saya
masih tetap utuh. Belum bergerak. Padahal ada enam buku yang saya kembalikan pagi hari ini, dalam hitungan beberapa menit saja daftar pinjaman itu
telah lenyap. Alias enam buku itu selamat, terkembalikan, hilang dalam daftar
peminjaman.
Saya tak habis
pikir, kenapa yang saya kembalikan kemarin sore itu belum juga tersampaikan.
Dalam akun perpustakaan yang terus saya amati. Saya intai baik melalui ponsel
maupun melalui laptop. Namun tetap saja, tak kunjung bergerak.
Ya, apa boleh
buat. Akhirnya saya melaporkan segala itu kepada admin perpustakaan. Saya
mengirim pesan melalui surat elektronik (e-mail), menuju alamat yang biasanya
mengabarkan mengenai beberapa pinjaman pustaka yang siap diambil. Jadi selain ada pemberitahuan dalam laman perpus, juga selalu ada pemberitahuan dalam surat elektronik.
Dan tentu,
saya menunggu jawaban itu sambil berdiam diri di perpustakaan, tepatnya di ruang Asian Library. Ruang yang begitu sunyi, meski tak pernah sepi dipenuhi tubuh-tubuh yang fokus dengan kepalanya masing-masing. Khusuk dengan penyelesaian kerjanya
masing-masing. Tak ada suara dari mulut. Jika ada, paling hanya bisik-bisik yang begitu lembut.
Dan,
alhamdulillah. Tak lama kemudian, ada balasan dalam surat elektronik saya. Begitu cepat responnya.
Ini yang awalnya begitu mengagetkan saya. Sungguh, sudah saya rasakan sejak awal mula berhubungan dengan lembaga ini. Benar, tak ada batasan dalam melayani
siapa pun. Perlu dicatat: siapa pun! Tidak pandang siapa yang menghubungi.
Sungguh tak terbayangkan. Saya sempat berpikir: siapa saya, sudah mengenal saya? Tentu belum dan sama sekali tidak kenal. Namun bagaimana, responnya sungguh sangat cepat. Tidak dalam hitungan hari. Apalagi berbulan-bulan. Yang tentu segala itu pernah saya (kita) alami saat menghadapi birokrasi yang begitu kompleks di
Indonesia tercinta.
Meski tidak
semua, namun hampir yang saya hadapi begitu. Bahkan sama-sama lembaga pendidikan yang
saya hubungi menjelang residensi ini. Yang dari lembaga ini, hanya hitungan
jam. Maksimal tiga jam, surat sudah terbalas. Sedangkan bagaimana dengan lembaga pendidikan yang
tak akan saya sebutkan namanya itu, yang tak lain adalah sebuah lembaga
pendidikan di Indonesia tercinta. Butuh waktu berbulan-bulan. Bahkan saat itu
hampir setiap minggu saya menghampiri, menanyakan. Namun apa, sampai detik ini,
sampai tulisan ini saya tulis pun, belum ada kabar balasan surat saya.
Bayangkan!
Padahal tubuh
saya sudah bergerak, sudah menghampiri. Sudah berjumpa tubuh. Saya sowan dengan
baik-baik. Akting sedemikian rupa agar tampak lebih sopan dan lain sebagainya.
Namun bagaimana, tak ada hasil sama sekali. Saya berpikir: lantas bagaimana jika surat itu hanya
dilayangkan melalui surat elekstronik semata? Bagaimana jika pesan itu hanya
disampaikan melalui udara atau melalui cahaya (internet)? Yang begitu nyata sudah merelakan
diri, tubuh digerakkan dengan begitu disiplinnya setiap minggu saja tak ada
hasil, tak ada jawaban. Meski saya sudah turuti untuk berkunjung ke sana, berkunjung lebih ke sana lagi. Sudah ikut untuk naik tangga, turun tangga, lalu naik lagi.
Namun entahlah.
Ini sekadar pengisahan kecil, yang tentu saya lalui dengan kaki sendiri. Dengan luapan pikiran dan perasaan yang tidak pinjam. Paling tidak, catatan kecil ini menjadi salah satu 'olahraga kata' di sela-sela menjalani riset selama dua bulan di tanah residensi ini (yang sudah tiga minggu berjalan).
Tentu segala ini akan menjadi penyeimbang saya saat bergerak di antara tumpukan-tumpukan
masa lalu yang tersimpan rapi di Belanda, di Negeri Kincir ini. Ya, sebab tak sedikit manuskrip dan
segala hal tentang Indonesia ada di sini. Meski, saya sendiri merasa lebih deg-degan
daripada persoalan peminjaman pustaka di perpustakaan tadi.
Tentunya segala itu menghantui saya
saat berhadapan dengan berderet manuskrip yang telah berusia ratusan tahun. Dengan aksara
jawa, dengan berbahasa Jawa kuno, dan belum lagi dengan goresan yang tipis.
Bahkan ada pula tulisan bersambung, yang pembacaannya sangat lebih sulit melampaui goresan tangan dokter. Sungguh, sangat
butuh kesabaran, kesadaran, serta ketabahan untuk sepenuh lahir dan batin dalam
menyelami lembar demi lembar dokumen agung itu.[]
1 komentar:
Saya meninggalkan komentar Pak :D hihi
Posting Komentar