Agama Air
■cerpen Setia Naka Andrian
Sebelum cahaya hari ini napasnya tersendat-sendat
hingga sepenuhnya lenyap di sisi barat kepala jagat, dan sebelum ada
pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut para pelayat, “Ia meninggal karena apa?
Apakah ia bisa hidup tanpa minum? Ada berapa sungai yang akan diwariskan kepada
kita?”
Sebelum semua itu bergulir. Bolehlah aku bercerita
tentang kisah yang sempat menyangkut dalam hari-hari masa kecilku.
Sore hari. Hampir serupa dengan waktu kali ini.
Pun sama di Sungai Blorong ini. Aku ingat betul, sore itu kakek tiba-tiba
menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk sendirian, selepas mandi di sungai
bersama tiga orang teman sekampung. Salah seorang perempuan, dua sisanya
laki-laki yang tak lebih tampan dariku (masa kecil). Tentu pembaca bisa sedikit
punya bayangan. Meski tak sepenuhnya gamblang.
Aku melamun, menatapi sungai jernih, tepinya
berpasir. Persis seperti bibir pantai. Bahkan semasa kecil itu, aku sering
bilang kepada ibuku, saat hendak izin main ke sungai, aku selalu bilang, “Ibu, aku
ke pantai dulu.” Kali pertama ibuku kaget dan bertanya, “Hah, pantai mana? Sama
siapa? Pantai itu jauh. Kau tidak boleh ke sana sendirian. Tidak boleh pula ke
sana hanya dengan ketiga temanmu itu yang masih kecil-kecil. Kau bisa hilang.
Kau bisa dimakan ikan raksasa.”
Begitulah ibuku. Termakan kisah-kisah miring
tentang Sungai Blorong. Sungguh menyakitkan jika diresapi kala itu, saat masih
masa awal di bangku SD itu. Meski jika sekarang, aku sadar. Itu semua karena
kasih sayang tak terhingga sepanjang masa. Seperti yang tertanam dalam lagu yang
moncer di telinga kita sebagai anak sejati seorang ibu itu.
Mari kita kembali ke bibir pantai (imajinasi) masa
kecilku itu. Di pasir-pasir yang tak putih itu, aku melamun jauh. Melihat
sumur-sumur kecil yang kekal ke dalam. Jika aku ingat-ingat, diameternya
kisaran tujuh jengkal jari tanganku kala itu. Sumur yang berdinding anyaman
bambu-bambu. Air di dalamnya sangat jernih. Melampaui jernihnya air sungai.
Sejernih air mineral yang kita temukan saat ini. Sungguh. Dulu, siapa saja
sering minum langsung air itu, meski hanya disaring dengan sarung atau kain apa
saja.
Sekarang kita kembali pada bagian saat kakek hadir
mengagetkanku. Ia menepuk pundak kecilku. Sontak aku kaget. Lamunanku kala itu
terpecah-belah. Meski jika diminta untuk mengingatnya sekarang, dan diminta
untuk mengisahkannya, sungguh aku sangat kesulitan. Seperti apa lamunanku kala
itu.
Yang pasti, aku hanya ingat, kakek bilang
kepadaku, “Kau jangan berlama-lama di sungai ini sendirian. Apa lagi
teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak
beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat,
sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.”
“Memang teman-temanku sudah pulang, Kek. Namun
lihat perempuan-perempuan itu. Mereka masih mandi. Masih mencuci pakaian. Masih
menimba air. Memasukkan air-air sungai ke sumur, menggunakan tengadah
tangan-tangannya.”
Dengan sambil menjelajah pandangan menyisir semua
sumur-sumur di tepi sungai itu, kakek dengan keras menyeretku, “Ayo lekas
pulang! Sudah tidak ada siapa-siapa di sini!”
Sampai sekarang, aku masih berupaya keras untuk
menangkap maksud beberapa perkataan kakekku kala itu. Namun bagaimana lagi,
saat aku hendak berjuang keras menangkap maksud kata-kata itu, saat aku
tersadar betapa pentingnya mengungkap, sungguh sangat disayang, kakek sudah
tiada. Akhirnya, aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, kepada segala sisa
debu dalam jarum-jarum jam di rumahku.
Namun izinkan aku melanjutkan apa adanya cerita
ini, hingga sepenuhnya usai.
Selepas sampai di rumah, kakek masih memarahiku
dengan perkataan-perkataan yang masih senada seperti saat di sungai tadi. Hanya
dengan rupa improvisasi secukupnya. “Kau jangan berlama-lama di sungai itu
sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit
sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga
sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang,
disembunyikan gelap. Kenapa kau tak lekas pulang? Sudah tidak ada siapa-siapa
di sungai itu!”
Aku tak menjawab apa-apa. Karena saat itu, aku
menganggap kakek sedang tidak wajar. Tidak seperti kakek biasanya. Ia sangat
aneh. Matanya sedang tak beres. Kakek tak melihat apa yang aku lihat di sungai.
Ya, melihat perempuan-perempuan di sungai itu. Yang hadir sesaat selepas ketiga
temanku pergi pulang duluan. Pasti selalu begitu. Hari itu saat kakek menjemputku
pun begitu. Aku selalu asyik, tenang, dan sangat damai saat memandangi mereka saat
mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu
menggunakan tengadah tangannya. Lebih-lebih mereka melakukan segala itu tanpa
bercakap-cakap. Suasana begitu sunyi, hanya gemericik air yang tebentur
batu-batu, pohon-pohon atau tumbuhan-tumbuhan menjalar yang melambai di sungai.
Perempuan-perempuan itu hanya saling bertatap mata dengan nyala yang sangat
teduh, dan bertatap senyum sangat lembut dengan perempuan lainnya. Pun saat aku
di situ, mereka sangat menyambutku, dengan tatapan matanya yang sangat teduh,
dengan tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Sesaat setelah kakek meredakan kata-katanya, dan
seperti sangat menunggu ada beberapa kata terucap dari mulutku, aku pun
menghempaskan tangannya yang memegangi tanganku. Aku lari ke kamar. Kakek pun
membiarkanku. Lalu aku melompat dari jendela. Lari sekencang-kencangnya.
Melewati kebun-kebun di sebelah rumah. Menerobos tanah-tanah kosong yang hanya
dipenuhi alang-alang dan rerumputan liar yang tingginya melampaui tubuhku.
Aku nampak kelelahan. Keringat mengucur sekujur
tubuhku. Tidak seperti biasanya. Meski memang, biasanya aku menuju ke sungai
tak pernah lari seperti sekarang ini. Biasanya pun tidak ada tragedi jemput
paksa dari kakek.
Dan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat.
Ini tidak seperti biasanya pula. Sungguh. Atau jangan-jangan, ada benarnya apa
yang dikatakan kakek. Bahwa katanya, langit sudah nampak tak beres. Sebentar
lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari
akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.
Ah, aku tak boleh takut. Aku ingat, kata kakek di
lain kesempatan, “Anak laki-laki tak boleh penakut! Harus siap menghadapi
berbagai kemungkinan. Bahkan terhadap segala kemungkinan yang sangat tidak kita
inginkan sekalipun, yang sangat menyakitkan sekalipun!”
Itu kata kakek. Sangat membantuku kala itu. Sangat
memompa energi tersendiri bagi keberanianku sebagai seorang anak kecil yang
masih ingusan. Akhirnya aku pun terus lari sekencang-kencangnya. Sungai menjadi
tujuan utama yang harus kutunaikan hari itu. Karena bagaimanapun, aku
laki-laki. Dan aku tak mau meninggalkan segala sesuatu yang belum tuntas. Aku
tak mau pergi dari sungai sebelum semua orang pergi. Seperti biasanya. Aku tak
mau seorangpun menjemputku paksa untuk mengakhiri perjumpaanku dengan sungai,
dengan sumur-sumur itu, dengan perempuan-perempuan itu. Termasuk oleh kakekku
sendiri. Aku tak mau. Semuanya harus tuntas. Tanpa sisa. Harus selesai. Harus
kuakhiri saat semua orang pergi meninggalkan sungai. Aku akan pulang selepas
perempuan-perempuan itu meninggalkan sungai!
Begitu kiranya yang aku rasakan saat itu. Sungguh
sok heroik. Namun, apa adanya begitu yang aku rasakan saat itu.
Mari kita lanjutkan ceritanya saat itu. Aku
berharap, pembaca jangan marah-marah, jangan sinis, dan mohon menahan segala
umpatan, jangan ditumpahkan sembarangan. Sekadar saran, alangkah baiknya,
seduhlah kopi terlebih dahulu. Lalu lanjutkan kembali membaca cerita ini.
Tibalah aku di sungai. Aku harus bersusah payah
menjemputnya kembali, atas ulah jemputan paksa dari kakekku. Aku melangkah
turun ke sungai. Sekitar tiga puluh langkah kaki anak-anak untuk tiba di dasar
sungai, di pasir-pasir tepi aliran sungai, yang didapati perempuan-perempuan
mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu
menggunakan tengadah tangannya.
Langkah kaki kecilku kala itu cukup kesusahan,
menapaki satu persatu anak tangga dari tanah, menuju ke dasar sungai. Hujan
masih lebat. Langit hampir gelap. Napas cahayanya sudah sangat terengah-engah,
sebentar lagi akan meninggalkanku, tak lagi menerangiku di sungai.
Namun segala itu kulupakan begitu saja, saat aku
masih melihat perempuan-perempuan itu masih dalam aktivitas yang sama. Aku
sungguh bahagia. Aku bisa menunaikan perjumpaanku dengan mereka, hingga mereka
benar-benar usai dan meninggalkan sungai. Sungguh, bahagianya aku saat itu. Mereka
masih dalam posisi yang sama. Tiada yang berkurang sedikitpun. Tidak bergerak
dari posisi semula saat aku masih di sungai, saat aku belum dijemput paksa oleh
kakekku. Meski hari telah hujan lebat. Langit sudah semakin gelap. Namun mereka
tetap mandi, tetap mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam
sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Hujan masih mengguyur lebat. Aku pelan-pelan
mendekati mereka. Menggerakkan langkah pelan untuk mendekat. Semakin dekat, dan
dekat. Sesampai pada jarak lima langkah kaki kepada mereka, aku berhenti. Aku
menatap mereka dari belakang. Hujan semakin lebat. Mereka tiba-tiba bersamaan
menoleh kepadaku. Dengan tatapan tajam yang aneh. Tidak seperti biasanya.
Semakin tajam tatapannya. Mulutnya nampak bengis mengutukku. Sungguh. Ini tak
seperti yang kudapatkan pada hari-hari biasanya. Sambutan mereka kepadaku tak
seperti biasanya. Tiada lagi tatapan matanya yang sangat teduh. Tiada lagi
tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Berangsur-angsur mereka semua pergi meninggalkan
sungai. Dengan langkah kepergian yang tak seperti biasanya. Mereka melangkahkan
kaki menjauh dariku. Tubuhnya bergerak ke depan, namun kepalanya tak sedikit
pun memutar sesuai gerak tubuhnya. Kepala mereka semua masih terus menghadapku.
Matanya menatapku dengan sangat tajam dan aneh. Mulutnya pun nampak sangat
bengis. Tubuhku gemetar tak karuan. Mereka terus melangkah jauh meninggalkanku.
Berjalan jauh dari tepi sungai, naik ke atas, melawan arus sungai. Hingga
sepenuhnya mereka lenyap di tikungan sungai. Aku merasa sangat kacau. Tubuh
terguncang. Aku semakin tak sanggup mengendalikan diri.
***
Ada yang menepuk pundakku. Dan bangunlah tubuhku,
bangunlah jiwaku. Aku berdiri pelan, sambil menata tubuh dan jiwaku sendiri.
Pelan-pelan mata kuarahkan kepada siapa yang telah menepuk pundakku, saat
tertidur. Ternyata bukan kakekku. Ia nampak seperti seorang pemungut sampah. Selepas
mataku membuka penuh, sungguh aku kaget. Aku berdiri di tempat yang aneh. Namun
aku sangat mengenali. Ini sungai. Ya, benar. Ini sungai yang setiap hari aku
kunjungi. Aku berjumpa dengan perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba
air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Aku sangat ingat, dan sangat hafal. Namun ini ada
yang berubah, semuanya sangat beda. Sungai tak lagi berair lagi, tak lagi
berpasir lagi. Sumur-sumur itu telah penuh dengan sampah-sampah.
Perempuan-perempuan itu telah tiada. Orang-orang kampung berdiri di atas bantaran
sungai. Di tangan kanan mereka, digenggam ember dengan erat-erat. Mata mereka
menatapku dengan sangat lemah.***
Kendal-Pati, Juni 2019
Catatan:
Sungai Blorong merupakan sebuah sungai yang ada di Kabupaten Kendal, Jawa
Tengah. Sungai yang diyakini warga setempat sebagai sungai yang dihuni Nyi Blorong.
Sungai yang berkelok, seperti kelokan jalan ular raksasa yang dilewati oleh Nyi
Blorong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar