Siapa
yang akan mengira, suatu saat kita akan dijatuhkan pada sebuah titik tertentu?
Siapa yang dapat meramalkan dengan begitu presisi bagaimana takdir sebuah
tubuh? Ya, tentu tak ada yang sanggup. Semua kehendak Tuhan.
Begitu
pula, saat saya dan istri dijatuhkan dalam sebuah keluarga yang begitu menerima
kami. Sedalam-dalam menyambut begitu baik kehadiran kami. Bahkan telah yakin
terhadap kami, sebelum kami hinggap di rumahnya.
Keluarga
itu adalah Keluarga Coelen. Jika boleh menyebut, mereka tinggal di Value
Island (Pulau Nilai). Nama itu saya ajukan sebagai nama pulau kecil yang
begitu tenang dan damai sebagai sebuah daerah hunian. Sebuah pulau kecil yang
dikelilingi kanal, dan hanya ada satu jembatan untuk menuju pulau tersebut.
Nama
itu saya ajukan saat suatu malam, saya terlibat perbincangan dengan Kang Robert
Coelen. Ia mengisahkan tentang sebuah laman yang berisi segala informasi
terkait perkembangan dan perencanaan teknologi di sebuah perkampungan kecil di
kota tua Leiden itu. Saya diajak untuk melihat laman tersebut, akhirnya saya
buka alamatnya melalui laptop saya. Dan, terbukalah dengan otomatis
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Maka nampaklah sebuah nama tampilan laman
tersebut, "Pulau Nilai".
Ah,
sungguh nama yang menarik. Kami pun berkali-kali menyuarakan nama itu dengan
begitu takjub. Lebih-lebih, nama itu merupakan sebuah forum khusus dalam sebuah
laman yang hanya bisa diakses oleh warga di kampung itu. Begitu seriusnya
sebuah perkampungan kecil itu, bukan? Bahkan suatu malam, Kang Robert sempat
berpamitan. Katanya, ia hendak hadir di sebuah forum warga tersebut untuk
membahas mengenai teknologi tepat guna yang dapat mengatasi segala wujud
alternatif produksi energi. Berat sekali forum warga itu bukan? Entahlah,
padahal itu hanya forum warga setempat. Bukan forum yang diselenggarakan oleh
sebuah perguruan tinggi atau forum-forum ilmiah lainnya. Bayangkan!
Di
Keluarga Coelen tersebut, sejak awal sebelum kami jumpa, segalanya seakan
tumbuh dalam segala keyakinan yang begitu mekar. Di antara kami saling yakin.
Berkait-paut. Bahkan saya sendiri seperti tak habis pikir, masih ada keluarga
yang seperti itu. Menyambut dengan baik, menganggap kami, saya dan istri saya
sebagai keluarga. Penuh, serupa anak sendiri.
Ya,
kami beruntung bisa dikenalkan dengan Keluarga Coelen tersebut. Tak lain berkat
kebaikan Mas Sigit Susanto mengenalkan saya dengan Mas Syahril Siddik,
selanjutnya Mas Syahril Siddik mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen.
Akhirnya kami tinggal di rumah Keluarga Coelen. Lebur menjadi satu. Terciptalah
keutuhan yang saling berpadu. Meski barangkali, kami yang lebih banyak menyerap
pelajaran-pelajaran dari keluarga itu. Meski dalam segala hal, bahkan dalam
keyakinan, kami sangat beda.
Namun
bukankah segala perbedaan itu jika bertemu, akan semakin menjadi menguatkan
segala yang kita miliki dan kita yakini bukan? Dari segala perbedaan itu, kami
saling belajar. Dan tentu bukan semakin memudarkan, justru kian menguatkan
segala yang kita miliki dan yang kita yakini.
Kiranya
dua bulan kami bersama, sejak 16 Oktober 2019 itu. Tinggal dalam satu atap
rumah yang begitu hangat. Rumah yang tidak hanya menghalau segala dingin musim
yang menampari dari luar saja. Namun, rumah dan seisinya yang utuh menjaga kami
dari segala hal yang tak patut kami terima. Dari mulai Teh Tuti dan Kang
Robert, serta kedua anaknya begitu baik menyambut serta memelihara benak dan
batin kami. Meski sesungguhnya tidak ada ikatan apa pun di antara kami.
Sungguh, hampir segalanya kami beda. Barangkali persamaannya hanya satu: kami
adalah sama-sama manusia!
Setiap
kali makan, kami memasak bersama. Meski sesungguhnya yang kita makan pun akan
selalu beda. Ada yang mereka makan, ternyata kami tidak memakannya. Akhirnya,
mereka menghormati kami. Bahkan kerap kali sangat menjaga dan lebih
mengutamakan makanan kami.
Mereka
telah banyak mengenalkan tentang nilai-nilai hidup yang sebelumnya tak pernah
kami tahu. Bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi dewasa, menjadi
keluarga, mengelola waktu, mencipta mimpi-mimpi, dan tak sedikit
tawaran-tawaran dalam menghadapi segala hidup yang kian tak karuan ini.
Sungguh,
kami terkadang merasa aneh dan bingung sendiri. Betapa baiknya orang-orang
asing ini. Betapa pedulinya mereka kepada kami yang sesungguhnya entah dan tak
jelas ini. Kadang saya berpikir, apakah ini semua hanya mimpi? Ternyata tidak,
ini sungguh nyata. Dan saya merasa ini anugerah yang begitu besar bagi kami.
Ya,
seperti yang saya sampaikan tadi. Kami begitu rupa dianggap sebagai keluarga
sendiri. Persis, kami seperti anak-anak mereka. Hampir setiap hari istri saya
memasak, menyiapkan makanan berasama, belanja bersama, dan hingga tak jarang
selalu makan bersama. Baik makan pagi, siang, atau malam. Bahkan saat ulang
tahun Kang Robert, kami diajak makan malam bersama dengan kedua anaknya.
Tentu,
tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih sangat. Begitu besar terima
kasih kami, dan begitu pula kami mengucapkan maaf yang sama besarnya dengan
terima kasih itu. Sebab kami yakin, sebagai "anak", kami pasti selalu
diberi banyak kebaikan. Begitu pula, kami pasti selalu berbuat kesalahan.
Ya,
selama dua bulan, kami merasa hidup dalam sebuah keluarga sendiri. Mendapat
kasih dan sayang serupa keluarga sendiri. Perhatian yang diberikan pun serupa
perhatian mereka kepada anak-anaknya. Kami seakan hanyut dalam sebuah ruang dan
waktu yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. Sebab yang kami pikirkan
sebelumnya tak seperti itu. Kami kerap was-was, takut dan segala macam perasaan
yang entah. Bagaimana lagi, kami akan tinggal selama dua bulan di sebuah
tempat yang sangat jauh. Dan itu kali pertama. Jika boleh bilang, kami tak
punya modal apa-apa.
Namun
saya seakan lenyap, hanyut dalam keluarga yang begitu hangat itu. Hingga suatu
saat, perpisahan pun tiba. Ya, hari itu datang saat saya mencoba menuliskan
catatan ini. Hari ini, Sabtu, 14 Desember 2019. Siang hari waktu Belanda, kami
harus bergegas pulang ke Tanah Air. Burung besi bernama lengkap Qatar Airways
akan mengantarkan kami kembali kepada kenyataan, ke kampung halaman.
Penerbangan terjadwal sore hari. Akhirnya kami pun di antar ke Schiphol
International Airport bersama Teh Tuti dan Kang Robert.
Sebelum
berangkat menginjakkan kaki keluar rumah, kami pun menyempatkan diri untuk
mengucapkan kata pamit. Meski sungguh, terasa berat saya memulai untuk
mengucapkannya.
Saya
sempat bingung, harus memulai dari mana. Kata-kata pun seakan menutup dirinya
rapat-rapat dalam tubuh ini. Mereka seakan enggan keluar. Begitu rapat,
sembunyi, dan malas mengucapkan bait-bait perpisahan itu.
Seusai
kami sarapan, dan setelah berulang kali saya coba, akhirnya kata-kata itu
keluar dengan begitu terbata-bata. Dengan sangat lambat, tak seperti biasanya.
Tak selancar kata-kata yang saya tuliskan kali ini, dalam catatan kecil ini.
Kami
berucap pamit. Terima kasih sangat atas segala yang diberikan kepada kami, dan
mohon maaf atas segala salah atau khilaf yang tentu kerap keluar dari diri
kami. Dan, keluarga itu pun menyambut sama seperti kami. Sama-sama terima kasih
dan minta maaf. Teh Tuti berucap, "Bawa yang baik-baik dan tinggalkan
segala yang buruk."
Kami
pun akhirnya saling melepas. Kami diantar menuju Schiphol. Peluk hangat
perpisahan, perasaan tak karuan, mata berkaca-kaca seakan hendak tumpah dengan
sendirinya. Namun kami pendam dengan pelan pada diri kami masing-masing.
Berusaha tabah, namun kami tak bisa. Meski sungguh, kami saling melihat dan
merasakan segala itu di antara kami. Dan kami saling berucap serta meyakinkan
dalam hati. Bahwa suatu saat, pasti akan jumpa kembali. Kami berucap dan sangat
yakin, "Kita adalah keluarga baru. Suatu saat kita pasti akan jumpa
kembali. Pasti. Entah di Indonesia, atau di Belanda, atau di belahan dunia
sebelah mana pun." Yang pasti, kami tak akan pernah bisa melupakan segala
kebaikan-kebaikan yang begitu bernilai di Pulau Nilai itu.
Teh
Tuti dan Kang Robert serta seluruh Keluarga Coelen di Pulau Nilai, kami tunggu
di Kendal. Kami ajak singgah pula ke Tayu Pati. Menikmati aneka ikan laut dan
tentu kopyor yang begitu menggoda itu. Dan, Ustaz Syahril Siddik pun mengamini,
saat sama-sama melepas kami di Schiphol yang bertepatan sedang ada aksi Green
Peace yang begitu riuh itu. Beliau juga kami tunggu di kampung halaman kami.
Suatu saat. Insya Allah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar