Kaceb!
■cerpen Setia Naka Andrian
Apa yang mengendus dari otak Kaceb jika harus mengayuh becak pada hari
yang begitu panas? Ditambah lagi sedang musim bulan puasa. Matahari benar-benar
terasa di atas kepalanya. Rasa panas seketika memanggang tubuhnya yang hitam pekat
itu. Karena bagaimanapun semua orang tahu, jika kalor pasti akan meluncur
menuju benda-benda yang hitam atau yang gelap-gelap semacam kulitnya si Kaceb.
Begitulah orang-orang memanggilnya. Walaupun sesungguhnya Kaceb sudah tidak
tepat lagi jika dipanggil dengan tambahan gelar “si”. Kaceb sudah hampir purna
sebagai lelaki setengah baya. Usianya pun kini sudah genap enam puluh lima
tahun.
Kaceb hidup sebatangkara tanpa istri, apalagi anak. Ia benar-benar
mandiri. Menurut kabar yang beredar di warung-warung kampung ini pun sungguh
mengharukan. Bahwa si Kaceb merupakan seorang anak tunggal dari seorang ayah
yang juga bekerja sebagai tukang becak. Itu mungkin masih sebagai kabar biasa
dan ringan-ringan saja, jika ada seorang tukang becak yang berasal dari anak
seorang tukang becak pula. Namun, ada yang membuat warga kampung tak jadi
terharu dengan kisah si Kaceb, malah dianggap lucu. Katanya dulu ayahnya si
Kaceb itu bernama Tukang Becak. Karena ternyata ayah dari ayahnya si Kaceb,
atau bisa disebut kakeknya si Kaceb, juga merupakan seorang tukang becak pula.
Maka dari itu ayahnya si Kaceb diberi nama Tukang Becak oleh kakeknya.
Konon menurut kabar yang juga beredar di warung-warung kampung ini,
kakek si Kaceb yang bernama Abdul Kasur, merupakan seseorang yang memprakarsai
alat transportasi yang bernama becak di kota ini. Terlampau dulu sekali katanya,
ketika masa itu kakek si Kaceb masih menggunakan tenaga kaki untuk menjalankan
roda-roda becaknya. Hingga pada masa itu becak baru menggunakan roda dua yang
berjajar dan di atasnya ada semacam tempat duduk layaknya becak-becak yang ada
di jaman sekarang. Lalu kakek si Kaceb menariknya dari depan melalui dua batang
kayu yang agak melengkung.
Kakek si Kaceb terkenal sebagai sosok pekerja keras. Ia dulunya
bekerja sebagai juru angkat di rumah megah pedagang Tionghoa. Juru angkat itu
bahasa kerennya masa itu, kalau sekarang orang-orang menyebutnya sebagai kuli.
Becak itu pun ia kenali ketika bekerja di situ. Becak yang dikenal orang-orang
setempat berasal dari bahasa Hokkien, yakni be
chia yang berarti kereta kuda itu digunakan oleh kakek si Kaceb sebagai alat
untuk mengangkut barang dagangan orang Tionghoa majikannya tersebut.
Lalu lambat laun dan tidak terasa telah bertahun-tahun kakeknya si
Kaceb mengabdikan diri sebagai juru angkat kepada orang Tionghoa itu. Akhirnya
muncul masalah klise yang sering orang-orang ketahui dari keluhan para
pedagang, yakni bangkrut. Kakek si Kaceb pun akhirnya mau tidak mau harus hengkang
dari jabatan juru angkat itu setelah roda perdagangan orang Tionghoa tersebut
dinyatakan resmi gulung tikar. Kakeknya merasa sangat sedih saat itu. Karena
itulah pekerjaan satu-satunya yang sanggup dilakukan untuk menghidupi seorang
istri tercinta dan seorang anaknya, yakni ayahnya si Kaceb yang bernama Tukang
Becak.
Ternyata kakeknya tidak mau angkat kaki juga dari rumah orang
Tionghoa itu. Berhari-hari ia tetap ndongkrok
di rumah megah juragannya. Walaupun kemegahan rumah juragannya pun semakin
purna pula, karena barang-barang seisi rumah terkuras habis untuk menebus
kebangkrutan bisnis perdagangannya. Yang katanya, kebangkrutan itu terlahir
akibat dari ulah istrinya yang tertipu oleh lelaki muda tampan yang kebetulan
orang Tionghoa juga. Istrinya main cinta belakang dengan pemuda itu. Maka
akhirnya istrinya menuruti segala yang diinginkan oleh pemuda itu, asalkan
servis yang diberikan pemuda itu mampu memuaskannya.
Itu semua pun terjadi karena ternyata istrinya telah bertahun-tahun tidak
dijatah oleh suaminya, lelaki setengah baya Tionghoa itu. Yang katanya sudah
tidak kuat lagi. Lalu akhirnya bertahun-tahun pula istrinya main cinta belakang
dengan pemuda tampan itu. Segala harta benda yang diacungi oleh pemuda itu
pasti akan diberikan. Pemuda itu pun tetap senang dan bangga-bangga saja
menjadi laki-laki simpanan. Walaupun bertahun-tahun meladeni perempuan tua yang
sudah lumutan namun masih kegatelan itu.
Lalu istrinya pun kemudian diceraikan. Meninggalkan dua orang anak yang
hanya tinggal nama. Keduanya sudah lama mati berboncengan naik sepeda. Mati
berjamaah karena kecelakaan tertabrak kereta api ketika hendak berangkat
sekolah tingkat awal dulu, setaraf Sekolah Dasar.
Lelaki Tionghoa yang sudah senja itu pun kini hanya dapat mengenang ending yang serba salah. Ia sebenarnya
juga sangat merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Karena ia merasa akar
permasalahan dari kebangkrutan usahanya itu akibat dirinya yang tak mampu
memenuhi kebutuhan istrinya. Jadi ia mencoba lapang dada saja. Walaupun semua
telah pergi dari pelukannya. Istrinya pergi, hartanya juga lari. Hanya
hutang-hutang saja yang masih terus menunggunya untuk segera dilunasi satu
persatu.
***
Ternyata kakek si Kaceb belum mau juga angkat kaki dari rumah orang
Tionghoa itu. Berhari-hari yang hampir seminggu ia tetap ndongkrok di rumah megah juragannya yang kini kosong tidak berisi
apa-apa. Berhari-hari itu mereka berdua saling bercerita tentang keluarganya
masing-masing, dari mulai masalah menghidupi anak dan istri hingga bagaimana
cara membahagiakan istri. Termasuk juga masalah nafkah malam hari yang sering
ditunggu-tunggu oleh setiap istri.
Orang Tionghoa itu pun semakin sedih yang menjadi-jadi. Bayangkan
saja, apa rasanya seorang lelaki yang ditinggal dan dihianati oleh istrinya
karena ia telah tak lagi mampu memberi nafkah malam hari. Sungguh sangat
kasihan bila ada laki-laki semacam itu. Mungkin sebab itu juga yang menjadikan
kakeknya si Kaceb tak kuasa pergi meninggalkan juragannya sendirian menikam
kesedihan. Karena semua orang yang dulu di dekatnya telah tiada. Termasuk
seluruh pekerjanya, penjaga pintu gerbang, penjaga toko, tukang kebun, juga
para juru dapurnya. Semuanya pergi jauh-jauh meninggalkan juragan yang tinggal
sebatang rokok itu. Dulu orang-orang menyebutnya begitu. Lelaki Tionghoa tua
yang tinggal sebatang rokok. Karena ia perokok berat. Lebih-lebih ketika masa kebangkrutan
itu. Selalu hampir setiap waktu ia menghisap rokok. Ibaratnya yang ada dalam
puisi-puisi pemuda jaman sekarang, lelaki setengah baya itu adalah kereta yang
asapnya terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya.
“Kenapa kau tidak mau pergi dari rumah ini? Aku sudah tidak lagi
memiliki apa-apa. Aku sudah tidak kuat membayarmu,” ucap juragan setengah baya
yang telah benar-benar hampir tak menjadi juragan itu. Wajahnya yang keriput nampak
menunggu jawaban dari kakeknya si Kaceb yang tak kunjung juga menyambut dengan
kata-kata. Wajahnya mencoba berakraban dengan matanya yang kian melulu
bertanya-tanya juga. Raut mukanya nampak murung campur gelisah dan kesedihan
yang entah. Kepalanya seringkali menunduk resah dengan kopyah hitam yang menutupi
beberapa gelintir rambutnya yang hampir genap memutih. Sambil matanya
berkaca-kaca mengenang dan sangat menyesal ketika telah bertahun-tahun tak
sanggup memberi nafkah malam hari kepada istri tercintanya. Nyaris air matanya mengucur,
namun selalu tertahan akibat ingat kelaki-lakiannya ketika mulutnya tiap
beberapa detik mengasap yang terus memanjang dan tak pernah ada henti-hentinya
itu.
***
Setelah genap satu minggu, kakek si Kaceb akhirnya terpaksa harus
angkat kaki dari rumah juragan yang telah bertahun-tahun menjadi tumpuan
hidupnya. Dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkannya jauh-jauh karena
malam itu tiba-tiba rumah megah yang kosong itu menjadi gempar dan dikepung
orang-orang. Ketika juragannya diketahui telah bunuh diri dengan memotong
kemaluannya sendiri. Darah mengucur dari pangkal kemaluannya hingga merahnya
merambah ke hampir seluruh tubuhnya. Entahlah kenapa, mungkin karena ia begitu
menyesal dengan diri dan tubuhnya yang memiliki kemaluan semacam itu. Hingga ia
membanting-banting dan memukul-mukulkan batang kemaluannya ke seluruh tubuhnya
hingga darah berhamburan kemana-mana dan ia benar-benar kehilangan nyawa.
Kakek si Kaceb benar-benar angkat kaki. Selamanya, juragan Tionghoa
itu tinggal kenangan. Mayatnya diurus oleh sebuah asuransi yang ternyata sudah
dipersiapkan oleh mendiang sejak dulu semasa hidupnya jaya. Sehingga rumah
serta tanahnya itu pun diurus asuransi tersebut. Namun dari kekosongan rumah
itu masih menyisakan sebuah becak yang ternyata dulu dipakai kerja oleh kakek
si Kaceb. Becak itu tidak sengaja terdampar di belakang rumah dan tertumpuk
sampah-sampah, yang membuat penagih hutang tidak tahu keberadaan benda itu.
Akhirnya becak itu pun dibawa pulang oleh kakek si Kaceb, setelah ditanyakan
kepada pihak asuransi mengenai becak itu menjadi hak siapa. Ternyata pihak
asuransi mengatakan bahwa becak tidak termasuk hak mereka, hanya rumah tanpa
seisinya dan tanahnya saja yang diasuransikan untuk mengurus kematian juragan
Tionghoa itu.
***
Kakek si Kaceb pulang ke rumah. Menemui seorang istri tercinta dan
seorang anak, si Tukang Becak—ayahnya si Kaceb. Selanjutnya mereka hidup cukup
bahagia. Kakek si Kaceb menjadi tukang becak. Mengemudikan untuk mencari nafkah
guna menghidupi anak dan istrinya.
Namun konon setelah berjalannya waktu, pemerintahan Belanda pada
masa itu melarang keberadaan becak. Karena jumlahnya yang semakin bertambah, yang
katanya membahayakan keselamatan penumpang dan menimbulkan kemacetan. Entah
kemacetan yang seperti apa, dalam cerita-cerita yang beredar di warung-warung semacam
itu.
***
Lambat laun hingga negeri ini merdeka dan setelah meninggalnya kakek
si Kaceb, becak masih tetap eksis juga pada masa ayahnya si Kaceb. Walaupun pada
masa itu sempat ada aturan dari Gubernur, mengenai larangan terhadap angkutan
yang memakai tenaga manusia, membatasi beroperasinya becak, hingga meletus
razia mendadak di daerah bebas becak. Karena becak dianggap sebagai biang
kemacetan, simbol ketertinggalan kota, dan dikatakan sebagai alat angkut yang
tidak manusiawi. Walaupun pada sisi lain becak juga mulai tergerus persaingan
dengan kehadiran ojek motor, mikrolet dan metromini.
Masa itu pemerintah juga mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak,
minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Pemerintah memprogramkan para tukang
becak untuk beralih profesi menjadi pengemudi kendaraan bermotor itu. Dengan
semena-mena pemerintah menggaruk becak dan membuangnya jauh-jauh dari ingatan
para tukang becak. Namun si Tukang Becak, ayah si Kaceb tetap bertahan dengan
becaknya. Hingga akhirnya ia meninggal, kemudian profesinya berlanjut diwariskan
kepada keturunan selanjutnya, yakni si Kaceb. Sosok yang kini dikenal dan akrab
di mata orang-orang, yang memiliki nama lengkap Kaceb Gnakut. Nama yang
merupakan kebalikan dari nama ayahnya, Tukang Becak. Dibaca dari belakang.
Begitulah kisahnya yang terus berlanjut hingga masa ini. Si Kaceb
yang sudah hampir purna sebagai lelaki setengah baya. Usianya sudah genap enam
puluh lima tahun. Ia tetap mengayuh becak. Walaupun hari begitu panas pada
musim bulan puasa semacam ini. Ia tetap hidup sebatangkara tanpa istri dan
anak. Karena menurut kabar yang beredar di warung-warung, ia tetap setia dengan
becak yang memiliki sejarah tersendiri bagi keluarganya. Keluarga becak.
Namun hingga kini ia berani memutuskan dengan serius untuk tidak
ingin menikah. Bukan karena takut tak sanggup menafkahi atau mencukupi
kebutuhan hidup anak dan istri, melainkan ia takut memiliki anak. Ia punya
ketakutan tersendiri jika kelak anaknya menjadi tukang becak lagi. Tekadnya, ia
ingin memutus keturunan keluarga sampai dirinya. Keluarga becak.***
Kendal, Juli 2016 - Leiden, November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar