Bunga yang Tumbuh dari Perahu
:fa
Bunga, kau mawar yang
tumbuh
dari perahu-perahu.
Seratus abad
lamanya aku menunggumu.
Di tepi
mimpi yang mekar dari
ujung telunjuk
yang pernah kau arahkan
mengaliri
sepanjang garis telapak
tanganmu.
Mengalir, mengalir, dan
menganakpanah,
hingga sekarang, ketika
kau tumbuh
dewasa.
Lihatlah bunga, jarimu
telah menemukan
putaran roda dalam doa
yang mengatasnamakan
mataku kepadamu. Sungguh,
kau melampaui
kebaikan-kebaikan yang mengabadikan
peristiwa.
Bunga, tahukah kau, kini
kau semacam
tanah airku. Sungguh, kau
tiba-tiba menjadi
ruang angkasa. Apa lagi
semenjak orang-orang
telah yakin jika tubuhmu
terbuat dari pahala.
Setiap pagi, kau semakin
tumbuh dari doa-doa
yang ramah mengatasnamakan
manusia.
Sebagai umat yang memburu
garis tangan,
yang belum tentu disepakati
bersama-sama.
Sanggar Gema, Juli 2014
Takdir yang Mempertemukan Kita
:fa
Begitulah takdir,
mempertemukan kita
dari perjalanan dan
penghianatan-penghianatan.
Ia yang membawa kita menelusuri
jejak dan
luka-luka. Ia yang
mengajak kita berjabat cerita
dengan nasib dan
kemanusiaan. Ia yang mengajari,
bagaimana kita menjadi
hujan, angin, laut dan
berakhir menjadi malapetaka
yang paling bijaksana.
Hingga kita tak sempat berburuk
sangka.
Begitulah takdir, yang
kelak akan menanyakan
kepada kita. Takdir
menanyakan banyak hal
kepada kita. Di depan
dada kita, dan kita tak
menjawab apa-apa, kecuali
saling mencium kening
di antara kita. Lalu kita
meletakkannya pelan-pelan,
tepat di bawah kaki ibu-ibu
pejalan kaki yang selalu
menyebut-nyebut nama kita
dalam setiap doa dan
ramalan buruk yang paling
bijaksana.
Sanggar Gema, Juli 2014
Seberapa Perempuan Kau Mempercayaiku
:fa
Sayang, seberapa
perempuan kau mempercayaiku.
Apakah kau sadar, jika
saat ini telah tercipta jalan
layang di antara perasaan
kita. Bahkan kita masih
begitu kuat untuk
mengingat bagaimana cara lilin
menyalakan rindunya yang
begitu panjang dalam
dada kita. Waktu itu,
ketika kau dan aku masih
sempat mengumpat air mata
tetangga kita. Ketika
kebahagiaan sedang malas bersuara
kepada
kebencian yang masih
selalu berpaling muka
dengan kerelaan.
Bayangkan saja, kaki dan
tangan mereka
telah malas membaca
matematika dan segala
teka-teki yang muncul
setelah pesta kepergian.
Dan aku cukup heran,
sedang kemarin, kita cukup
meragukan bagaimana
panjang jabat tangan dan
suara yang sempat menyimpan
pesan sepanjang
rumah. Lalu dada kita
malas mendewasakan
barang sepenggal ciuman.
Tentunya kau masih
ingat, bukankah kita juga
ada karena berpuluh jam
menunggu saat rumah kita
diselamatkan berkepung
doa yang tak tahu dari
mana asal luapannya?
Bilik Kunang-kunang, Juli 2014
Perasaan yang Menjadi Dinding Rumah
:fa
Sayang, percayalah, kelak
perasaan kita
akan menjadi dinding
rumah yang paling
mekar setiap harinya.
Lihatlah, dada kita
sudah mahir berjabat
cerita. Udara yang
dikeluarkannya telah
menjadi cahaya paling
ramah. Mengawali setiap
ucapannya dari
persoalan-persoalan kecil
yang sering
dilupakan orang-orang.
Bahkan, kita selalu
berusaha menyelesaikannya
dengan hanya
mengingat bagaimana
kesedihan telah mahir
menipu kita.
Bayangkan saja, dada kita
selalu berusaha
menahan bagaimana
kecemasan yang selalu
mengawali keyakinan kita.
Dada kita telah mahir
bagaimana membacakan doa
dan bagaimana
mengutuk dosa. Dan sepertinya,
mereka telah
menemukan jawaban dari
beragam pertanyaan
yang dulu sempat kita
perdebatkan. Saat itu, kau
tak begitu pandai menyembunyikan
rahasia
seperti sekarang. Kau
melakukan semuanya
kepadaku, termasuk
kesedihanmu yang selalu
kau luapkan dengan rindu.
Bilik Kunang-kunang, Juli 2014
Jika Benar Kau Turun
Jika benar kau turun
sebagai pedang,
maka doakan aku sebagai
penjara.
Lalu bebaskan aku dengan
pura-pura.
Namun jika kau turun
sebagai kota,
berilah aku risalah mengenai
sebuah
desa yang pernah kita
telusuri bersama.
Ketika kita masih
sama-sama mencari
tahu bagaimana perasaan
orang-orang
yang membenci kenangan
dan bagaimana
kebencian mengatasnamakan
dirinya.
Kepada air mata
orang-orang itu, dan
seberapa jauh kita menaruh
penyesalan.
Sebagai kata terakhir
yang pernah kita
ibaratkan bersama-sama
pada sebuah
rumah yang saat itu
sedang dipertaruhkan
dengan nama tuhannya masing-masing.
Sanggar Gema, Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar