Kepada
yang Bernapas Panjang
Sabtu, 23
November 2019 baru saja hinggap di layar laptop. Saya duduk di sebuah kursi
yang berhadapan dengan meja kerja. Di depannya persis, ada jendela kaca yang
sangat jarang dibuka. Saya biasa memandangi apa saja ke luar sana. Daun mapel
berguguran. Orang-orang berlalu-lalang namun dengan langkah yang begitu sepi.
Anak-anak kecil mengayuh sepeda dengan riang. Mereka berkejaran namun sama
sekali tak berlomba kecepatan.
Terus saya
pandangi luar sana. Semakin jauh. Bahkan sempat nyaris tenggelam dalam lamunan.
Saya masih duduk. Namun seperti baru saja terbangun dari sebuah tidur pendek
yang panjang. Meski sungguh, raga ini masih terjaga. Belum sampai memejamkan
apa-apa.
Sedari tadi saya
seperti merasakan ada yang aneh. Seakan ada yang tidak lengkap. Bahkan saya
merasa janggal memposisikan tubuh saya sendiri. Ya, terus-terusan begitu. Entah
kenapa, kamar menginap saya seperti dikunjungi orang-orang. Sejak berjam-jam
yang lewat. Mereka nyaris mengitari saya, di samping dan belakang tubuh saya.
Awalnya saya biarkan saja. Namun pelan-pelan saya penasaran, dan akhirnya saya
beranikan untuk memandangi mereka satu-satu. Mereka menyambut hangat. Hangat
sekali, tak sedingin 2° C di luar kaca jendela kamar. Udara nyaris beku,
menjatuhkan daun-daun mapel yang menguning itu ke tanah basah.
Ini petang yang
cukup aneh. Tak seperti biasanya. Sebab yang telah lalu, hanya satu-satu yang
datang. Paling ya hanya mengintip dari jendela. Atau paling banter ya menempel
di plafon kamar. Itu pun hadir saat saya sudah rebahan dan tersisa beberapa
watt saja. Namun kali ini mereka hinggap bersamaan untuk hadir ke kamar lantai
dua ini. Seperti sudah janjian saja dalam sebuah grup WhatsApp dengan diberi
nama “Hinggapi Kamar Naka!”.
Bayangkan, kali
ini mereka berkerumunan hadir di kamar saya. Petang-petang tengah malam pula. Ya,
di kamar dalam sebuah rumah di perkampungan Waardeiland
Leiden yang dipenuhi dengan rumah-rumah berdesain hampir serupa. Dinding-dinding
bata terbuka yang khas rumah Belanda. Namun ingat, meskipun wujud
rumah-rumahnya nyaris sama, ini bukanlah perumahan bersubsidi seperti yang saya
tinggali di Kendal itu. Ya, rumah tipe 36 itu. Artinya berkamar tiga: dua kamar
tidur dan satu kamar mandi. Dan, berventilasi enam. Kalau di sini, berlantai
tiga, berkamar lima, dan tidak berventilasi. Udara di luar keras dan beku!
Setelah
memberanikan diri untuk memandangi tipis-tipis, pelan-pelan saya menyapa
mereka. Meski hanya dengan mata saja. Belum bersapa suara. Takut jika nanti mengganggu
penghuni lain di rumah ini. Sebab Leiden ini, saya rasakan seperti kota tua
yang sunyi. Di jalanan, di pusat-pusat perbelanjaan, ruang perjumpaan manusia,
semua terkesan jauh dari keriuhan suara. Apalagi saat di rumah. Belum lagi saat
di jalanan kampung, seperti berjalan sendirian. Orang-orang tiada yang nongkrong
membunuh waktu di luar. Entah sambil ngopi atau membakar rokok. Semua orang
memilih di dalam rumah. Apalagi saat musim gugur mendekati musim dingin begini.
Juara deh kalau ada yang berani berlamaan di luar. Apalagi kalau sampai dengan
pakai kaos oblong!
Saya pandangi
mereka satu-satu. Begitu pula kedua mata mereka dijatuhkan ke sekujur tubuh
saya. Ya, saya seakan mengenal baik mereka. Banyak di antaranya begitu saya
hafal, waktu-waktu lalu sering datang ke kamar ini. Meski datang sendirian,
mengintip dari jendela, mengintai dari plafon, atau nyangkut di debu-debu yang
nempel di layar monitor. Namun, sepertinya ada seorang yang lebih saya kenal.
Ya, ia seolah juga mengenal saya. Bahkan lebih dari saya mengenalinya. Saya
berpikir keras. Sesekali memejamkan mata. Kemudian membukanya lagi. Memejamkan
mata lagi, dan membukanya lagi. Siapa ia sebenarnya? Mereka semua masih berdiri.
Menatapku dengan hangat. Begitu pula seseorang yang saya rasa telah kenal lebih
tadi. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Ya, benar. Ia mendekat. Saya tidak
takut. Hanya sedikit deg-degan dan berdebar saja. Atau entah seperti apa, susah
sekali menerjemahkan rasanya.
Ia kian
mendekat. Sepertinya sudah sangat tua. Wajahnya seperti tak asing. Saya seakan kian
akrab saja dengan wajah itu. Namun siapa ya? Sepertinya mirip dengan wajah kakek
saya dari garis ibu. Ya, sepertinya tidak salah lagi. Saya begitu akrab dengan
tipe wajah itu. Meski kakek saya pun telah meninggal jauh sebelum saya lahir.
Saya hanya mampu melihat lukisan wajahnya di dinding kamar nenek. Itu pun sudah
lama. Saat saya masih kecil. Namun entah kenapa lukisan itu saat ini sudah tak
ada. Sudah hilang, dicuri orang, atau entah nenek menyimpannya rapat-rapat di
tempat paling sembunyi.
Siapa ya? Aduh,
kamar menginap saya ini juga tak begitu terang. Hanya nyala lampu baca saja
yang bersinar. Fokus ke bawah. Sama sekali tak punya kekuatan lebih untuk
menyinari sekitar. Hanya sisa-sisa cahaya saja yang menebar halus. Saya
berpikir keras. Dalam hati berkecamuk. Apakah benar itu kakek buyut saya?
Lalu pelan-pelan
kakek itu mendekati saya. Kian dekat saja. Sangat dekat. Namun saya tak kuasa memandanginya.
Pandangan saya tujukan di layar monitor laptop. Ya, memukul-mukul huruf.
Menulis catatan kecil yang sedang Anda baca ini. Kakek itu kian mendekat. Semakin
dekat. Sangat dekat. Sungguh, kini berada tepat di samping kiri saya. Aduh, mau
apa ini? Saya masih diam saja, membatu. Pandangan kaku di layar monitor. Namun
jari-jari saya masih terus melanjutkan menulis. Ya, menulis catatan kecil ini.
“Nak, kenapa
kamu di sini?”
“Maaf, maaf,
Kek. Kakek bertanya kepada saya?”
“Ya, tanya kepadamu.
Siapa lagi kalau bukan kepadamu?”
“Oh ya maaf,
Kek. Saya kira melempar pertanyaan sembarangan saja.”
“Ya, tidaklah.
Saya ini datang jauh-jauh ke sini ini serius. Sidak!”
“Ya, Kek. Sekali
lagi maaf ya, Kek...”
“Ya, tak apa.
Saya maafkan jauh-jauh tadi sebelum kamu minta maaf. Pertanyaan saya, kenapa
kamu di sini?”
“Ya ini, Kek.
Saya kan sedang residensi. Bukankah seluruh dunia tahu program residensi ini,
Kek? Kok sampai kakek belum tahu?”
“Kakek kan ya
sudah nggak sempat buka-buka koran atau medsos. Di akhirat sibuk. Banyak
keindahan yang sayang untuk dilewatkan!”
“Oh ya, Kek. Ini
saya sedang menjalani program Residensi Penulis Indonesia 2019 dari Komite Buku
Nasional Kemendikbud, Kek. Selama dua bulan tinggal di Leiden ini. Menjalani
riset untuk menulis sastra. Begitu, Kek.”
“Coba kamu
kisahkan dengan sungguh-sungguh, seperti apa saja yang kamu lalui. Namun ingat,
tetap dengan pengisahan yang segar!”
“Lantas
bagaimana dengan orang-orang itu, Kek?”
“Sama saja
dengan Kakek, mereka menantimu untuk berkisah.”
“Oh ya, Kek.
Begini, saat berangkat residensi ini, saya sudah mengantongi kisah kecil.
Lengkap dengan patahan-patahan kisah dan bercak-bercak mitos yang
melingkupinya. Namun tetap saja, saya masih membawa rasa penasaran mendalam.
Dan, apa boleh buat. Saya harus mengunjungi negeri penjajah ini, untuk singgah
di Leiden ini dan beberapa kota lain. Berharap agar bisa membantu diri saya ini
untuk menyibak lebih dalam tentang pijakan tema yang hendak saya garap. Begitu,
Kek.”
“Kau memburu
naik apa?”
“Sepeda, Kek.
Mau naik apa lagi. Biasanya juga naik bus, kereta, atau trem. Namun mahal, Kek.
Lebih sering naik sepedanya. Ya, meski sesekali naik bus, kereta, atau trem
itu. Buat icip-iciplah, Kek. Kakek pasti belum pernah naik kereta dan trem,
bukan? Apalagi bus, pernah? Ah, Kakek generasi lampau sih.”
“Eh, kamu tak
boleh begitu. Coba saja, kamu sampai di sini naik apa?”
“Naik pesawat
dari Indonesia, Kek. Kenapa memang?”
“Salah. Kamu ke
sini naik sebuah kendaraan, yang bernama masa lalu. Jangan sepelekan dengan
yang dinamakan masa lalu. Jangan sepelekan sesuatu yang lampau. Kamu pasti tahu
apa yang dikerjakan oleh Iksaka Banu itu, bukan?”
“Wah, Kakek
kenal Iksaka Banu?”
“Lha iya dong.
Sesekali di akhirat ya Kakek buka youtube. Salah satu penulis idola Kakek itu
ya Iksaka Banu, yang melambung dengan karya-karyanya berkait-paut dengan
sejarah kolonial itu. Langganan mendapatkan penghargaan pula. Pasti dong, Kakek
mengidolakan.”
“Emang Kakek
sudah baca buku cerpennya terbaru, Teh dan Pengkhianat itu?”
“Ya, belum.”
“Belum kok
mengaku mengidolakan?”
“Ya bagaimana
lagi, di akhirat sepertinya belum dipasok. Kalau youtube kan emang gampang,
tinggal ketik nama saja langsung bisa dapat kabarnya. Apalagi zaman sekarang
sudah banyak acara vlog itu.”
“Oh ya tak
apalah, Kek. Mending mengikuti, daripada tidak sama sekali.”
“Ya, benar. Nah,
itu Iksaka Banu sempat bilang dalam sebuah acara di youtube. Intinya, saat-saat
ini menarik penulisan sastra yang berpijak pada sejarah. Yah, paling tidak bisa
melengkapi sejarah yang ada. Dan, sebisanya menjadi tawaran lain melalui
penulisan teks sastra itu.”
“Ya, Kek. Memang
benar. Semoga saja nanti bisa menemukan karya segar dari residensi ini ya, Kek.
Mohon doa dan restunya selalu ya, Kek...”
“Itu pasti. Nah,
yang terpenting kamu harus mematangkan pijakan datamu untuk menyokong teks
sastra yang hendak kamu tulis itu. Meskipun nantinya itu karya fiksi, namun
dengan kematangan fakta sejarah, pasti setidaknya akan lebih bertenaga nantinya
karyamu.”
“Ya, Kek. Saat
berangkat saya sudah diberi saku oleh Pak Muslichin, guru sejarah saya semasa
SMA itu, Kek. Yang dulu sering bela saya saat sering bandel dan bolos
sekolah..”
“Oh baik banget
gurumu. Namun kelewatan juga, anak bandel dan bolosan kok dibela ya...”
“Ya, tapi kan
membelanya pilih-pilih, Kek. Bandel, bolosan, namun tetap yang baik hati.... Hehe...”
“Lantas bagimana
lagi kelanjutannya?”
“Oh ya, Kek.
Dari guru sejarah saya itu, saya juga di beri saku oleh Soelardjo
Pontjosoetirto. Ia sempat meneliti tema yang saya selami ini pada 1971. Menarik
banget, Kek.”
“Bagaimana
dengan Soelardjo Pontjosoetirto? Dia suka naik sepeda juga?”
“Bukan perihal
suka naik sepeda, Kek. Ini kata Soelardjo Pontjosoetirto, bahwasanya pada tahun
tiga puluhan, tak lain pada masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang
sering mendengar cerita mengenai golongan orang yang sedang saya cari, Kek. Dalam
cerita tersebut dikemukakan tentang yang menarik mengenai golongan orang-orang
itu. Terutama terkait dengan asal-usul golongan orang-orang itu. Meski
segalanya terkait dengan cerita miring, tidak wajar, dan sekitarnya. Tentunya
bagi Soelardjo Pontjosoetirto, cerita semacam itu, secara kebetulan niscaya
dapat membantu pemerintahan Hindia Belanda dalam memperteguh penjajahannya.”
“Kenapa begitu?”
“Ya begitulah,
Kek. Pemerintahan Hindia Belanda tentunya paham, kala itu penduduk kita begitu
bermacam-macam. Dari berbagai suku dan golongan yang memiliki dan memegang
teguh etnosentrisme mereka masing-masing. Suku bangsa atau golongan satu dengan
lainnya saling menghina, saling merendahkan. Segala itu yang dimanfaatkan.”
“Semacam mengadu
domba begitu?”
“Ya, begitulah,
Kek.”
“Lantas apa
lagi, Nak?”
“Ya, sebenranya
saya lebih menghindar dari segala persoalan semacam itu. Sebab saya rasa akan
kurang nyaman juga. Saya akan lebih menelusur pada jejak-jejak di luar itu,
Kek.”
“Apa itu? Kakek
penasaran!”
“Namun maaf,
Kek. Saya tak bisa sepenuhnya menjelaskan sekarang.”
“Kenapa bisa
begitu? Kakek kan malah jadi tambah penasaran!”
“Biar saja Kakek
penasaran. Bukankah itu malah akan lebih baik. Jadi Kakek akan menunggu-nunggu.
Hehe.”
“Ah, kamu bisa
saja. Kalau begitu, Kakek pergi dulu ya...”
“Wah, kenapa
tergesa, Kek?”
“Kakek banyak
urusan yang harus lekas diselesaikan di akhirat.”
"Kek, di
akhirat, apa Tuhan suka minjemin sepeda?"
Kakek diam saja.
Tak menjawab apa-apa. Hanya melempar senyum kecil. Itu pun hanya sebentar.
Kakek membalikkan tubuhnya. Berjalan pelan menjauh dari saya. Orang-orang
lainnya membuntuti. Mereka seakan lenyap begitu saja dalam dinding kamar menginap
saya.
Alarm ponsel
tiba-tiba berteriak keras. Saya terbangun. Tak seperti saat masa kecil di kampung
halaman, saya kerap terbangun dengan bunyi kokok ayam yang ramai sekali. Bukan
dibangunkan alarm dari ponsel.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar