Pagebluk dan Telur Naga Merah
■cerpen Setia Naka Andrian
Kampung tiba-tiba digegerkan kabar tentang telur
yang bisa menangkal pagebluk. Desas-desus itu beredar luas. Selepas hampir tiga
bulan ini virus mematikan menebar di seluruh dunia, hingga sampai di sebuah kampung
terpencil yang cukup jauh dari kota.
"Kamu tahu tentang kabar telur yang manjur itu,
Sul?" Tanya penasaran Sutanto Aji kepada Samsul Maarif di sebuah
angkringan.
"Sepenuhnya tahu sih, tidak. Hanya
kabar-kabar yang berseliweran saja. Itu pun hanya sepenggal-penggal saja.
Sepertinya kabar-kabar itu kerap disampaikan dengan tidak lengkap. Tidak saya
terima gamblang. Malah semakin membingungkan saja." Jawab Samsul sambil
sesekali menyeruput kopi panas dari tangan kirinya. Lalu mengisap dalam-dalam
keretek yang dijepit dari dua jari tangan kanannya.
"Namun saya sebenarnya heran, Sul. Kenapa
seluruh warga percaya begitu saja." Ucap Aji dengan begitu entengnya,
sambil ia menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.
"Kenapa bisa begitu, Ji?" Samsul jadi
penasaran. Ditatapnya lekat mata Aji.
"Mau bagaimana, Sul. Coba kita yang sudah
hidup di tahun 2020 ini agak logis. Bagaimana bisa pagebluk ini akan berakhir
begitu saja, hanya dengan sebutir telur itu? Kita tahu kan, Sul. Italia, Sul.
Italia saja kesusahan menghadapi pagebluk ini.” Kian serius menyampaikan
pendapatnya. Meski dengan penuh tekanan, namun suara kian diperlambat. Takut
jika sampai didengar orang. “Negara-negara di Eropa yang sudah sangat maju juga
susah mengusir virus mematikan ini. Seluruh dunia pusing."
Udara dingin menyergap sekujur gerobak angkringan itu.
Samsul diam. Namun tetap tak berhenti menyeruput kopi pahitnya yang kian
dingin. Asap dihembuskan dari mulut dan hidungnya dengan penuh kelegaan. Meski
matanya seakan menerawang jauh. Entah ke mana. Aji dan Samsul duduk
bersebelahan. Di sebuah kursi kayu panjang, tepat di depan gerobak angkringan.
"Mas Aji, Mas Samsul. Maaf ya, saya tadi tak
sengaja mendengar pembicaraan kalian. Diam-diam saat saya mengurus gorengan,
kisah yang kalian bicarakan turut mengusik saya. Namun saya diam saja. Sebab takut
juga kalau ikut berkomentar." Tutur Pak Ahyar, pemilik angkringan yang
begitu lugu dan dikenal baik hati itu.
"Lho, takut kenapa, Pak?" Aji penasaran.
"Ya, kenapa bisa takut, Pak?" Samsul
turut tanya.
“Sebentar, ya. Saya sambil mengemasi dagangan
dulu. Hari sudah larut. Sebentar lagi hujan sepertinya juga akan turun.”
Aji dan Samsul kian penasaran. Mereka nampak tak
sabar ingin mendengar penjelasan Pak Ahyar yang sedang berkemas memberesi
dagangannya. Meski usianya sudah setengah abad lebih, namun ia masih nampak
segar menjalani hari-harinya dengan berjualan hingga larut malam. Hampir setiap
malam ia membuka angkringannya. Meski telah ada edaran dari pemerintah agar warung-warung
ditutup. Termasuk terkait pembatasan kerumunan. Namun kampung ini cukup jauh
dari pusat kota. Orang-orang keras kepala sesekali masih keluyuran. Meski sekadar
untuk cari angin dan minum kopi di angkringan. Termasuk anak muda semacam Aji
dan Samsul.
Angin dingin menyambar kian kencang. Langit nampak
mendung, kian gelap. Aji menarik risleting jaketnya hingga leher. Samsul membetulkan
dan mengencangkan gulungan sarungnya mengitari leher. Gemuruh guntur sesekali
memecah suara angin yang menampari daun-daun pepohonan. Sudut perempatan jalan
tempat gerobak angkringan itu memangkal pun tak ditemui orang lain selain
mereka.
“Begini, Mas Aji, Mas Samsul.” Pak Ahyar mendekati
kedua anak muda itu. Sontak Aji dan Samsul memberinya tempat untuk duduk
bersebelahan. Keduanya antusias pasang telinga untuk lekas menadah apa saja
yang akan keluar dari mulut Pak Ahyar. “Waktu itu, tengah malam hampir serupa
ini. Hanya saja saat itu langit cerah. Tidak sedang hampir hujan seperti
sekarang. Pak Lurah dan Ki Mahmud mampir di angkringan ini. Mereka pesan kopi
panas.”
“Wah, Pak Lurah dan Ki Mahmud mau apa tengah malam
mampir ke sini, Pak?” Samsul makin penasaran, hingga ia menunda niat untuk
menyalakan kembali kereteknya yang baru saja mati. Aji mengangguk, memberi
penguatan. Kedua mata mereka metatap ketat ke arah Pak Ahyar.
“Ada pembicaraan yang tak sengaja saya dengar
malam itu. Sama persis seperti malam ini yang saya dengar dari kalian. Saya ingat,
saat saya mendengar itu, tentu sebelum kabar telur itu gempar di kampung ini.
Kalau tidak salah, baru satu minggu kemudian desas-desus tentang telur ini
merebak ke mana-mana.” Aji dan Samsul kian khidmat. Seakan tidak ingin sepatah
kata pun yang meluncur dari mulut Pak Ahyar tak tertangkap telinga mereka.
“Pak Lurah bicara sangat pelan kepada Ki Mahmud. Nampak
sangat berhati-hati sekali. Seakan takut jika saya mendengar. Pak Lurah meminta
tolong kepada Ki Mahmud, agar ia mau memberi petunjuk untuk menangkal pagebluk
yang sedang merebak ini. Awalnya Ki Mahmud bernada menolak halus.”
“Wah, kenapa sampai menolak, Pak? Bukankah Ki
Mahmud itu orang pintar yang terkenal sangat suka membantu siapa saja?” Dengan
masih penuh penasaran, cerocos Samsul memutus pembicaraan Pak Ahyar begitu
saja.
“Sebentar, sabar. Pasti saya lanjutkan.” Pak Ahyar
sambil melihat sisi kanan dan kiri, meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun yang
mengintai pembicaraan mereka. Aji dan Samsul pun turut serta memantau. “Namun
Pak Lurah memohon dengan sangat, bahwa semua demi kemaslahatan. Lalu akhirnya
Ki Mahmud menyampaikan sesuatu kepada Pak Lurah. Ia menyampaikan mengenai telur
naga merah itu.”
Aji menyergah, “Lantas bagaimana dengan telur itu,
Pak?” Samsul mengangguk, memberi penguatan.
“Ki Mahmud bilang, kalau telur naga merah diyakini
bisa menangkal pagebluk yang sudah tiga bulanan ini meresahkan warga dunia.
Termasuk di kampung kita ini.”
Samsul menyerobot, “Telur itu bisa didapat di
mana, Pak? Sebab yang beredar selama ini, semua simpang siur.”
Aji turut bicara, “Ya, benar, Pak. Ada yang bilang
telur itu bisa didapat di bawah rumah Ki Mahmud. Setelah menggali lima meter
tepat di bawah pintu rumahnya.”
“Ada lagi yang bilang jika telur itu bisa
ditemukan di dasar Sungai Waru. Terus ada juga yang bilang jika telur itu akan
keluar dari perut seorang perempuan yang mengandung lima bulan dan ditinggal
mati suaminya.” Samsul penuh meyakinkan.
“Kemarin malam, Pak Sarmuni saat ngopi di sini
juga bilang, kalau telur itu akan datang dengan sendirinya di atap rumah
perawan tua yang selalu gagal menikah akibat calon suaminya meninggal tanpa
sebab sesaat sebelum pernikahan itu dijalani.” Pak Ahyar menambahkan.
“Nah. Itu masalahnya, Pak. Semua kabar tentang
telur itu tidak ada titik temunya.” Aji menegaskan.
“Dan semua itu membuat seluruh warga di kampung
ini bertanya-tanya. Selain kecemasan dan ketakutan yang kian hari kian tak
karuan, kita semua juga dibuat bertanya-tanya tentang kepastian telur itu, Pak.
Sesungguhnya kedua itu sama-sama meresahkan.” Samsul menambahkan.
Aji mendesak, “Malam itu Ki Mahmud tidak
menyampaikan di mana telur itu bisa ditemukan, Pak?”
“Saya tak mendengar jelas dan pastinya di mana
telur itu bisa didapat. Namun saat itu Ki Mahmud beberapa kali menyebut Bukit
Limanan.” Jawab Pak Ahyar masih dengan nada was-was, takut jika ada yang
mendengar. “Namun selanjutnya saya tak tahu. Mereka pulang, sesaat kemudian
selepas Bukit Limanan disebut-sebut itu.”
Aji dan Samsul terdiam. Seakan mereka berjumpa
dalam titik lamun yang sama. Seakan sama-sama menerawang Bukit Limanan yang tak
jauh dengan kampung mereka. Bukit itu menjadi pembatas kampung ini dengan
kampung sebelah.
Sesekali gemuruh guntur kembali memecah suasana.
Dingin angin kian menampari siapa saja. Tak terkecuali Pak Ahyar, Aji, dan
Samsul yang sedang serius dalam pembicaraan.
Pak Ahyar kembali melanjutkan pembicaraan yang
terputus. Aji dan Samsul kembali menaruh telinga juga matanya ke arah Pak
Ahyar, “Memang, selama ini kita dibuat bertanya-tanya. Berita-berita di televisi
juga semakin membuat kita semua ketakutan. Setiap saat selalu saja dibakarkan
kematian orang-orang terinfeksi berjatuhan. Selama tiga bulan ini saja ribuan orang
di seluruh dunia telah direnggut virus mematikan itu. Meski memang warga di
sini belum ada yang terinfeksi. Dan kita semua tentu tak ada yang berharap
terinfeksi, kan?”
“Ya, semoga saja virus itu tidak akan sampai di
sini.” Ucap Samsul sepenuh doa.
“Semoga misteri telur naga merah itu lekas
terungkap.” Aji turut menaruh doa.
Petir menyambar. Pak Ahyar kaget, begitu pula Aji
dan Samsul. Langit sudah nampak hampir menumpahkan seluruh airnya. Pak Ahyar mendongak
ke atas, kemudian mengajak pulang, “Mas Aji, Mas Samsul, sebentar lagi hujan
akan turun. Kita sudahi pembicaraan kita malam ini ya...”
Sesaat kemudian hujan turun cukup lebat. Mereka
pulang ke rumahnya masing-masing. Meski Aji dan Samsul masih memendam rasa
penasaran. Telur naga merah di Bukit Limanan. Saat berjalan pulang, Aji dan
Samsul berencana esok hari akan pergi ke Bukit Limanan.
***
Aji dan Samsul menepati rencananya untuk pergi ke
Bukit Limanan. Pagi hari mereka berangkat bersama. Ditempuh dengan jalan kaki.
Sebab untuk menuju ke bukit itu, mereka harus melewati tepi sungai, sawah, dan
hutan. Namun saat belum jauh berjalan meninggalkan rumah mereka yang memang
berdekatan, Aji menepuk pundak Samsul dan berkata, “Sul, berhenti sebentar.
Lihatlah ke Balai Desa.” Bisik Aji kepada Samsul, saat melihat Pak Lurah dan Ki
Mahmud sedang serius berbincang.
Akhirnya mereka berdua penasaran dan cari cara
agar bisa menguping pembicaraan Pak Lurah dan Ki Mahmud. Mereka mengendap-endap
melewati sebelah pagar luar Balai Desa untuk mendekat menuju tempat Pak Lurah
dan Ki Mahmud duduk di depan Balai Desa.
“Saya tak habis pikir, kenapa putra Pak Romdon
yang bekerja di Wuhan itu nekat pulang juga. Padahal tahu kalau bapaknya setiap
malam mengajar mengaji anak-anak sekampung. Pulang diam-diam juga. Sudah
seminggu ini di rumah. Sedangkan Pak Romdon juga nekat, masih mengajak
anak-anak mengaji.” Pak Lurah nampak kesal, namun ia juga bimbang. “Kalau sudah
begini bagaimana Ki Mahmud? Jika telur naga merah itu bisa jadi penangkal, yang
akan menghalangi. Kalau ini virus sudah dibawa dan pasti menyebar ke anak-anak,
juga tentu kepada orangtua mereka, apa yang akan kita harapkan dari penangkal
itu? Ini sudah seharusnya tidak ditangkal lagi. Namun diobati.”
“Maaf Pak
Lurah, selama beberapa bulan ini, sejak kita di angkringan Pak Ahyar itu,
sungguh saya selalu berupaya untuk melakukan berbagai cara agar bisa
mendapatkan telur naga merah di Bukit Limanan. Sesuai petunjuk dari mimpi yang saya
dapatkan. Namun apa daya, ternyata telur naga merah itu tak kunjung saya
dapatkan.”
Sejurus kemudian, salah seorang perangkat desa
datang menemui Pak Lurah, “Pak, izin menyampaikan laporan. Beberapa warga demam,
batuk kering, dan kesulitan bernapas. Saat ini mereka dirawat di Puskesmas.
Sebentar lagi akan dibawa ke rumah sakit kota. Dari sesak napas dan gejala yang
diderita, mereka dinyatakan terinfeksi.”
Pak Lurah tak mengeluarkan sepatah kata pun,
begitu pula dengan Ki Mahmud. Mata Pak Lurah menerawang jauh. Sepertinya ia
merasa gagal, tak dapat berbuat banyak untuk warga desanya. Aji dan Samsul
melongo, saling bertatapan.[]
Kendal, Maret 2020
Sumber: https://www.cendananews.com/2020/04/pagebluk-dan-telur-naga-merah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar