Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan
Kamis, 23 Januari 2020
JURASIK #42 (Sidang Para Menthok)
Ketika seseorang menyimak dongeng maka ia bisa membayangkan tokoh pahlawan sebagaimana imajinasinya masing-masing. Setiap orang mungkin beda membayangkan sosok pahlawannya, justru itu kelebihannya. Ruang imajinasi itu sangat luas dan tidak terbatas.
•
•
•
JURASIK (Jumat • Sore • Asik) #42
•
24 Januari 2020
•
19.00 sampai pedih
•
di Sarang Lilin
Perumahan Griya Pantura Regency Blok A. No. 4, Desa Tosari, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.
•
•
Menyuguhkan:
"Sidang Para Menthok"
Sebuah dongeng Muhajir Arrosyid (Asal Demak, Penulis Buku Menggelar Tikar dan Menggambar Bulan dalam Gendongan)
•
•
Penampilan spesial:
Ashabul Syimal
•
•
Kami memulai dari hal kecil, dan dilakukan di kota kecil. Namun impian kami besar, Kawan!
Selasa, 07 Januari 2020
Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Tiga puluh tiga puisi di buku ini setidaknya menunjukkan pribadi Setia Naka Andrian yang tak kunjung lelah berurusan dengan puisi. Ada puisi yang ia tulis pada 2008 dan ada pula yang 2019. Masing-masing puisi itu mewakili satu tahap kreatif dalam hidupnya. Dan sebab membentang nyaris sebelas tahun, bisa dipahami jika perhatian Naka sangatlah beragam.
Sesekali ia begitu personal berkisah tentang kisah asmaranya. Di lain waktu ia menulis puisi untuk orang-orang yang ia hormati. Pada satu kesempatan Naka agak mengeluh tentang kondisi kota yang kelewat membuatnya hampir frustasi, dan pada kesempatan lain ia bisa begitu ingin berbincang dengan Tuhan lewat puisi-puisinya. Bamun satu yang terlihat jelas, keinginannya menulis riwayat orang-orang Kalang juga kentara di beberapa puisinya—objek yang memang tengah ia pelajari dua tahun belakangan.
Buku ini tentu saja bukan capaian puncak Naka, tetapi pantas disebut paling lengkap mencatat perjalanan puitik hingga hidupnya. Sejak Naka masih tampak semrawut semasa mahasiswa, hingga bertahun-tahun kemudian ia berubah menjadi sosok penyair sekaligus pengajar yang rajin dan beroleh kesempatan melangkahkan kaki ke Polewali Mandar dan bahkan hingga Leiden, Belanda, semata-mata demi urusan puisi.
Tentu saja perjalanannya itu semata-mata demi agar ia beroleh semacam “capaian” dalam menulis puisi. Masih jauh memang, tetapi Naka tampak sekali tak tengah bermalas-malasan untuk sampai di posisi yang hendak ia tuju itu.
Judul: Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Penulis: Setia Naka Andrian
Tebal: 109 halaman
Penerbit Beruang, Semarang.
Pesan awal: 07 -17 Januari 2019
Harga: Rp60.000 → Rp50.000
*Khusus 100 pembeli pertama beroleh poster eksklusif bertandatangan penulis.
Pemesanan: 085292375768
Sesekali ia begitu personal berkisah tentang kisah asmaranya. Di lain waktu ia menulis puisi untuk orang-orang yang ia hormati. Pada satu kesempatan Naka agak mengeluh tentang kondisi kota yang kelewat membuatnya hampir frustasi, dan pada kesempatan lain ia bisa begitu ingin berbincang dengan Tuhan lewat puisi-puisinya. Bamun satu yang terlihat jelas, keinginannya menulis riwayat orang-orang Kalang juga kentara di beberapa puisinya—objek yang memang tengah ia pelajari dua tahun belakangan.
Buku ini tentu saja bukan capaian puncak Naka, tetapi pantas disebut paling lengkap mencatat perjalanan puitik hingga hidupnya. Sejak Naka masih tampak semrawut semasa mahasiswa, hingga bertahun-tahun kemudian ia berubah menjadi sosok penyair sekaligus pengajar yang rajin dan beroleh kesempatan melangkahkan kaki ke Polewali Mandar dan bahkan hingga Leiden, Belanda, semata-mata demi urusan puisi.
Tentu saja perjalanannya itu semata-mata demi agar ia beroleh semacam “capaian” dalam menulis puisi. Masih jauh memang, tetapi Naka tampak sekali tak tengah bermalas-malasan untuk sampai di posisi yang hendak ia tuju itu.
Judul: Waktu Indonesia Bagian Bercerita
Penulis: Setia Naka Andrian
Tebal: 109 halaman
Penerbit Beruang, Semarang.
Pesan awal: 07 -17 Januari 2019
Harga: Rp60.000 → Rp50.000
*Khusus 100 pembeli pertama beroleh poster eksklusif bertandatangan penulis.
Pemesanan: 085292375768
Senin, 06 Januari 2020
Rabu, 01 Januari 2020
Waktu Indonesia Bagian Bercerita (Penerbit Beruang, Januari 2019)
Dulu, dulu sekali. Kau sudah mahir membaca. Sedangkan aku masih belajar mengeja. Lalu selanjutnya, kau telah mahir bicara apa saja. Sedangkan aku hanya mendengarkan segala yang keluar dari mulutmu yang begitu tralala.
•
•
•
Selamat datang, Waktu Indonesia Bagian Bercerita. Semoga semua bahagia menyambut semesta dalam angka genap 2020 ini...
•
•
•
Selamat datang, Waktu Indonesia Bagian Bercerita. Semoga semua bahagia menyambut semesta dalam angka genap 2020 ini...
Minggu, 15 Desember 2019
Catatan Kecil; Kepada Keluarga Coelen
Siapa
yang akan mengira, suatu saat kita akan dijatuhkan pada sebuah titik tertentu?
Siapa yang dapat meramalkan dengan begitu presisi bagaimana takdir sebuah
tubuh? Ya, tentu tak ada yang sanggup. Semua kehendak Tuhan.
Begitu
pula, saat saya dan istri dijatuhkan dalam sebuah keluarga yang begitu menerima
kami. Sedalam-dalam menyambut begitu baik kehadiran kami. Bahkan telah yakin
terhadap kami, sebelum kami hinggap di rumahnya.
Keluarga
itu adalah Keluarga Coelen. Jika boleh menyebut, mereka tinggal di Value
Island (Pulau Nilai). Nama itu saya ajukan sebagai nama pulau kecil yang
begitu tenang dan damai sebagai sebuah daerah hunian. Sebuah pulau kecil yang
dikelilingi kanal, dan hanya ada satu jembatan untuk menuju pulau tersebut.
Nama
itu saya ajukan saat suatu malam, saya terlibat perbincangan dengan Kang Robert
Coelen. Ia mengisahkan tentang sebuah laman yang berisi segala informasi
terkait perkembangan dan perencanaan teknologi di sebuah perkampungan kecil di
kota tua Leiden itu. Saya diajak untuk melihat laman tersebut, akhirnya saya
buka alamatnya melalui laptop saya. Dan, terbukalah dengan otomatis
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Maka nampaklah sebuah nama tampilan laman
tersebut, "Pulau Nilai".
Ah,
sungguh nama yang menarik. Kami pun berkali-kali menyuarakan nama itu dengan
begitu takjub. Lebih-lebih, nama itu merupakan sebuah forum khusus dalam sebuah
laman yang hanya bisa diakses oleh warga di kampung itu. Begitu seriusnya
sebuah perkampungan kecil itu, bukan? Bahkan suatu malam, Kang Robert sempat
berpamitan. Katanya, ia hendak hadir di sebuah forum warga tersebut untuk
membahas mengenai teknologi tepat guna yang dapat mengatasi segala wujud
alternatif produksi energi. Berat sekali forum warga itu bukan? Entahlah,
padahal itu hanya forum warga setempat. Bukan forum yang diselenggarakan oleh
sebuah perguruan tinggi atau forum-forum ilmiah lainnya. Bayangkan!
Di
Keluarga Coelen tersebut, sejak awal sebelum kami jumpa, segalanya seakan
tumbuh dalam segala keyakinan yang begitu mekar. Di antara kami saling yakin.
Berkait-paut. Bahkan saya sendiri seperti tak habis pikir, masih ada keluarga
yang seperti itu. Menyambut dengan baik, menganggap kami, saya dan istri saya
sebagai keluarga. Penuh, serupa anak sendiri.
Ya,
kami beruntung bisa dikenalkan dengan Keluarga Coelen tersebut. Tak lain berkat
kebaikan Mas Sigit Susanto mengenalkan saya dengan Mas Syahril Siddik,
selanjutnya Mas Syahril Siddik mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen.
Akhirnya kami tinggal di rumah Keluarga Coelen. Lebur menjadi satu. Terciptalah
keutuhan yang saling berpadu. Meski barangkali, kami yang lebih banyak menyerap
pelajaran-pelajaran dari keluarga itu. Meski dalam segala hal, bahkan dalam
keyakinan, kami sangat beda.
Namun
bukankah segala perbedaan itu jika bertemu, akan semakin menjadi menguatkan
segala yang kita miliki dan kita yakini bukan? Dari segala perbedaan itu, kami
saling belajar. Dan tentu bukan semakin memudarkan, justru kian menguatkan
segala yang kita miliki dan yang kita yakini.
Kiranya
dua bulan kami bersama, sejak 16 Oktober 2019 itu. Tinggal dalam satu atap
rumah yang begitu hangat. Rumah yang tidak hanya menghalau segala dingin musim
yang menampari dari luar saja. Namun, rumah dan seisinya yang utuh menjaga kami
dari segala hal yang tak patut kami terima. Dari mulai Teh Tuti dan Kang
Robert, serta kedua anaknya begitu baik menyambut serta memelihara benak dan
batin kami. Meski sesungguhnya tidak ada ikatan apa pun di antara kami.
Sungguh, hampir segalanya kami beda. Barangkali persamaannya hanya satu: kami
adalah sama-sama manusia!
Setiap
kali makan, kami memasak bersama. Meski sesungguhnya yang kita makan pun akan
selalu beda. Ada yang mereka makan, ternyata kami tidak memakannya. Akhirnya,
mereka menghormati kami. Bahkan kerap kali sangat menjaga dan lebih
mengutamakan makanan kami.
Mereka
telah banyak mengenalkan tentang nilai-nilai hidup yang sebelumnya tak pernah
kami tahu. Bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi dewasa, menjadi
keluarga, mengelola waktu, mencipta mimpi-mimpi, dan tak sedikit
tawaran-tawaran dalam menghadapi segala hidup yang kian tak karuan ini.
Sungguh,
kami terkadang merasa aneh dan bingung sendiri. Betapa baiknya orang-orang
asing ini. Betapa pedulinya mereka kepada kami yang sesungguhnya entah dan tak
jelas ini. Kadang saya berpikir, apakah ini semua hanya mimpi? Ternyata tidak,
ini sungguh nyata. Dan saya merasa ini anugerah yang begitu besar bagi kami.
Ya,
seperti yang saya sampaikan tadi. Kami begitu rupa dianggap sebagai keluarga
sendiri. Persis, kami seperti anak-anak mereka. Hampir setiap hari istri saya
memasak, menyiapkan makanan berasama, belanja bersama, dan hingga tak jarang
selalu makan bersama. Baik makan pagi, siang, atau malam. Bahkan saat ulang
tahun Kang Robert, kami diajak makan malam bersama dengan kedua anaknya.
Tentu,
tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih sangat. Begitu besar terima
kasih kami, dan begitu pula kami mengucapkan maaf yang sama besarnya dengan
terima kasih itu. Sebab kami yakin, sebagai "anak", kami pasti selalu
diberi banyak kebaikan. Begitu pula, kami pasti selalu berbuat kesalahan.
Ya,
selama dua bulan, kami merasa hidup dalam sebuah keluarga sendiri. Mendapat
kasih dan sayang serupa keluarga sendiri. Perhatian yang diberikan pun serupa
perhatian mereka kepada anak-anaknya. Kami seakan hanyut dalam sebuah ruang dan
waktu yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. Sebab yang kami pikirkan
sebelumnya tak seperti itu. Kami kerap was-was, takut dan segala macam perasaan
yang entah. Bagaimana lagi, kami akan tinggal selama dua bulan di sebuah
tempat yang sangat jauh. Dan itu kali pertama. Jika boleh bilang, kami tak
punya modal apa-apa.
Namun
saya seakan lenyap, hanyut dalam keluarga yang begitu hangat itu. Hingga suatu
saat, perpisahan pun tiba. Ya, hari itu datang saat saya mencoba menuliskan
catatan ini. Hari ini, Sabtu, 14 Desember 2019. Siang hari waktu Belanda, kami
harus bergegas pulang ke Tanah Air. Burung besi bernama lengkap Qatar Airways
akan mengantarkan kami kembali kepada kenyataan, ke kampung halaman.
Penerbangan terjadwal sore hari. Akhirnya kami pun di antar ke Schiphol
International Airport bersama Teh Tuti dan Kang Robert.
Sebelum
berangkat menginjakkan kaki keluar rumah, kami pun menyempatkan diri untuk
mengucapkan kata pamit. Meski sungguh, terasa berat saya memulai untuk
mengucapkannya.
Saya
sempat bingung, harus memulai dari mana. Kata-kata pun seakan menutup dirinya
rapat-rapat dalam tubuh ini. Mereka seakan enggan keluar. Begitu rapat,
sembunyi, dan malas mengucapkan bait-bait perpisahan itu.
Seusai
kami sarapan, dan setelah berulang kali saya coba, akhirnya kata-kata itu
keluar dengan begitu terbata-bata. Dengan sangat lambat, tak seperti biasanya.
Tak selancar kata-kata yang saya tuliskan kali ini, dalam catatan kecil ini.
Kami
berucap pamit. Terima kasih sangat atas segala yang diberikan kepada kami, dan
mohon maaf atas segala salah atau khilaf yang tentu kerap keluar dari diri
kami. Dan, keluarga itu pun menyambut sama seperti kami. Sama-sama terima kasih
dan minta maaf. Teh Tuti berucap, "Bawa yang baik-baik dan tinggalkan
segala yang buruk."
Kami
pun akhirnya saling melepas. Kami diantar menuju Schiphol. Peluk hangat
perpisahan, perasaan tak karuan, mata berkaca-kaca seakan hendak tumpah dengan
sendirinya. Namun kami pendam dengan pelan pada diri kami masing-masing.
Berusaha tabah, namun kami tak bisa. Meski sungguh, kami saling melihat dan
merasakan segala itu di antara kami. Dan kami saling berucap serta meyakinkan
dalam hati. Bahwa suatu saat, pasti akan jumpa kembali. Kami berucap dan sangat
yakin, "Kita adalah keluarga baru. Suatu saat kita pasti akan jumpa
kembali. Pasti. Entah di Indonesia, atau di Belanda, atau di belahan dunia
sebelah mana pun." Yang pasti, kami tak akan pernah bisa melupakan segala
kebaikan-kebaikan yang begitu bernilai di Pulau Nilai itu.
Teh
Tuti dan Kang Robert serta seluruh Keluarga Coelen di Pulau Nilai, kami tunggu
di Kendal. Kami ajak singgah pula ke Tayu Pati. Menikmati aneka ikan laut dan
tentu kopyor yang begitu menggoda itu. Dan, Ustaz Syahril Siddik pun mengamini,
saat sama-sama melepas kami di Schiphol yang bertepatan sedang ada aksi Green
Peace yang begitu riuh itu. Beliau juga kami tunggu di kampung halaman kami.
Suatu saat. Insya Allah.[]
Sabtu, 14 Desember 2019
Pembatas Buku Itu Cendera Kata
Barangkali memang sudah menjadi kebiasaan bagi siapa
saja, selepas bepergian akan selalu ditagih oleh-oleh. Diminta cendera mata
oleh siapa saja. Sudah, itu pasti. Entah bagi yang serius meminta, menanti,
atau yang hanya iseng semata. Atau entah.
Nah, sama halnya dengan lawatan saya ke Negeri
Penjajah kali ini, sejak 16 Oktober hingga 14 Desember 2019. Tidak sedikit
teman, saudara, kenalan, mantan, atau siapa pun, yang meminta cendera mata itu.
Terus terang, dan bukan berlagak sombong atau
bagaimana. Maaf, jika teman saya, kenalan saya, atau saudara saya sedikit dan
bisa dihitung dengan jari, pasti sudah saya bawakan apa pun yang diminta. Entah
baju, celana, kaos, topi, sepatu, sandal, kaca mata, meja, kursi, almari, atau
bahkan calon pasangan pun akan saya bawakan bagi teman-teman yang masih
mengidap jomblo akut. Hehe.
Selain itu, lawatan saya ini sangat terbatas.
Barangkali tak sesederhana yang terbayangkan. Bahkan terbatas tidak hanya
ukuran nominal uang saja, namun waktu dan banyak hal lain. Dan memang, sejak
dulu kala, saya paling malas membawakan apa pun. Diminta atau dititipi apa pun
yang tentunya segala itu di luar kerja lawatan saya. Jika itu masih terkait
dalam lingkaran kerja kreatif, bisa jadi saya masih akan membantu. Itu pun jika
kerja lawatan saya sudah aman.
Sering saya diumpat, dicibir, atau apa pun di sekitar
itu, sebab tak bisa memenuhi. Dan barangkali saya akan dianggap egois, tidak
tahu diri, tidak mau membantu, dan lainnya di sekitar itu. Tolong dan maaf,
barangkali Anda tak tahu kondisi yang sesungguhnya dihadapi. Bagaimana
kaki-kaki dan tangan-tangan saya, mata saya, telinga saya, mulut dan hidung
saya bergerak dalam kerja lawatan ini. Bagaimana tubuh yang selalu berperang
dengan musim yang durjana dan lainnya. Ya, barangkali dikira semua enak,
nyaman, melenggangkan tubuh di tanah residensi sebagai turis bergelimang
kemewahan. Tidak, sungguh, tidak sesederhana itu, Kawan! Suatu saat akan saya
kisahkan satu-satu.
Ini lawatan saya kali ketiga, jika diukur sebagai
sebuah kerja kreatif yang cukup lama dan jauh. Kali pertama saat hinggapi
Kelantan Malaysia, lalu sebulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, dan kali
ketiga ini selama dua bulan di Leiden Belanda. Bahkan saat menjalani itu semua,
istri saya pun tidak saya beri oleh-oleh apa pun. Duh!
Tentu saya juga ingin belajar adil, satu tidak, ya
yang lain tidak. Satu sama, ya yang lain sama. Maka sudah, saat ini saya
menciptakan sebuah Cindera Kata. Itu berwujud pembatas buku, memuat sebuah
puisi saya dan foto atas lukisan yang saya ambil dari Rijksmuseum Amsterdam.
Ya, puisi itu berjudul "Amsterdam Kemarin".
Salah satu puisi yang saya tulis saat menjalani residensi, kerja lawatan di
Negeri Penjajah ini. Dan, puisi itu tak lain merupakan salah satu puisi yang
bakal masuk dalam buku terbaru saya. Judul buku dan penerbitnya, masih
dirahasiakan. Nanti saat yang tepat, pasti akan saya kabarkan.
Ya, begitu sederhananya. Maaf, dan sungguh maaf bagi
siapa pun yang kerap mengharap serta memohon segala itu. Sungguh, bukan maksud
apa-apa. Jika Anda termasuk yang mau memperoleh Cindera Kata itu, boleh mampir
atau temui saya. Selama persediaan masih ada, pasti saya berikan.
Memang, awalnya saya berniat mencipta Cindera Kata
berupa buku. Namun segala itu urung, selepas ada tawaran dari sebuah penerbit
yang hendak mengapresiasi karya saya. Tentu selepas saya pulang dari residensi
ini. Selepas berembuk dan melewati pertimbangan cukup panjang dengan penerbit,
maka terputuskanlah jalan baik itu. Cindera Kata tidak lagi sebuah buku, namun
sebuah pembatas buku.
Ya, begitulah. Terkadang segala sesuatu tak semulus
yang kita rencanakan. Semua bisa berubah. Yang pasti, segala oleh-oleh itu tak
jauh-jauh dari kata. Mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa saya berikan.
Tidak bisa lebih. Jika hendak minta lebih, mohon maaf, jangan minta kepada
saya. Minta saja kepada Pak Jokowi, biar dikasih bonus sepeda sekalian deh!
Dan, jika hendak minta lebih dari itu, bolehlah Anda
mengapresiasi buku terbaru saya itu. Bagaimana mau minta gratis pula? Ah,
sepertinya maaf juga. Dan sudah cukup sering pula kiranya saya merelakan
buku-buku saya untuk digratiskan kepada tidak sedikit orang. Bahkan jika
dibanding dengan yang saya jual, tidak akan pernah menutup dengan yang saya
gratiskan. Bolehlah bagi Anda yang sempat saya beri salah satu atau dua buku
saya secara cuma-cuma, acungkan jari dalam hati saja. Dan bolehlah pula jika
ada relawan yang hendak menghitung berapa jumlah orang dan buku yang diterima
itu.
Masak sih mau terus-terusan begitu? Bolehlah disimak
sejenak bagaimana kerja penerbitan itu. Ada proses panjang di balik terciptanya
sebuah buku. Dari mulai proses penulisnya, penyuntingannya, perwajahan dan tata
letak isi bukunya, proses cetaknya, dan lain-lain. Ada kerja panjang dan tentu
sangat lengang. Akan mulai kapan dan dari mana kita menghargai sebuah kerja
kreatif?[]
Selasa, 22 Mei 2018
Kamis, 30 November 2017
Senin, 07 Agustus 2017
Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia
Naka Andrian
Hari
Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi
dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa
bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak
untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah
ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi.
Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya
gunakan untuk memburu koran.
Mengingat
di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan
warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan
beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan
di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk
menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh
nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu
tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya
dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat
dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu.
Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang
kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran
tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang
situ siapa?”
Kedua
belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup
saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang
seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan,
hari kruntelan), namun segala itu
dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum
lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua
orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu
kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat
menghinggapi ngunduh mantu pernikahan
saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya
jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan
dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan
kuliah di kota tetangga.
Segala
itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan
berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan
sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut
sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih,
ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu
ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa
pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas
panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik
tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan
keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri,
bisa karena biasa! Dalam hal apa pun,
kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran,
berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti
halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas
Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan
Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi
kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat
saya ternobatkan menjadi sosok halu di
hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya
harus bertemu dengan istilah semacam halu
itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang
jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal.
Waduh.
Namun
begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari
pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan
cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu
Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan
lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam
paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang
harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri,
dan sambung napas institusi.
Saya
seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali
ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada
terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna
imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita
hidup di zaman yang serba mudah.
Kita
seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa
di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel
pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau
membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi.
Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan
tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah
rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar
kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika
tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada
hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa,
jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu,
sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap
perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan,
was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan
tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media
apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap
mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata
kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata
yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***
─Setia Naka
Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id
yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com
Rabu, 01 Maret 2017
Rabu, 22 Februari 2017
Senin, 13 Februari 2017
Selasa, 24 Januari 2017
Resensi Remang-Remang Kontemplasi oleh Usman Roin (Tribun Jateng, 22 Januari 2017)
Belajar
Budaya Lewat Esai
Judul
Buku : Remang-Remang
Kontemplasi: Bunga Rampai 2009-2016
Penulis : Setia Naka Andrian
Penerbit : Rumah Diksi Pustaka, Kendal
Cetakan : November 2016
Tebal : x + 248 halaman
ISBN : 978-602-6250-25-4
MEMBACA-esai
satrawan kadang membingungkan karena begitu dalamnya kata yang digunakan untuk
mewakili ungkapan rasa, ide dan gaya pemikirannya. Hingga, orang awam kadang
tidak bisa langsung memahami apa yang disampaikan. Namun siapa sangka melalui
buku ”Remang-Remang Kontemplasi” karya Setia Naka Andrian ini, pembaca akan dibawa
pada gaya bahasa yang renyah dalam menyikapi persoalan dunia bila ditinjau dari
aspek budaya dan sastra. Terlebih, penulis juga fasih soal sastra dan
budaya.
Buku
ini hadir sebagai pergulatan ide yang ’mahal’, karena dihimpun dari
gagasan-gagasan kecil yang muncul untuk kemudian diteruskan melalui sebuah
kontemplasi yang alhasil kemudian disajikan
menjadi utuh. Maka saat membaca buku ini pembaca akan mendapati esai dari tiga hal,
mulai dari seni budaya, satra, dan pendidikan. Semua esai tersebut punya nafas
budaya dan sastra yang begitu kental namun bukan yang membingungkan melainkan lugas,
nyata, dan mampu menguliti sebuah ide persoalan yang terjadi tanpa tirai
selembarpun.
Buku
setebal 248 halaman ini sebenarnya karya yang telah disajikan sudah terlebih
dahulu tayang di beberapa media masa. Tentu ini menjadi nilai plus karena
secara konseptual pemikiran sudah dilemparkan ke publik untuk kemudian coba
dihimpun dalam bunga rampai secara utuh.
Akhirnya,
betapa mahalnya nilai buku ini karena gagasan ’yang tercecer’ kemudian coba disatukan
menjadi buku dan dihadirkan ke pembaca. Pesannya tidak lain agar saat punya ide
segera olah, jangan didiamkan melainkan dilanjutkan dalam kontemplasi yang
mendalam. So, buku ini layak dibaca karena mengajak kepada pembaca membangun
potensi kreatif diri yang terpendam agar bisa dibaca orang lain.
Peresensi : Usman
Roin
Mahasiswa S2 PAI UIN Walisongo Semarang
dan Penulis Buku ’Langkah Itu Kehidupan’.
Kamis, 19 Januari 2017
Selasa, 03 Januari 2017
Remang-Remang Kontemplasi
Ada
salah seorang teman bertanya kepada saya, "Kenapa kamu menulis?" Saya
jawab, "Karena saya bodoh." Lalu ia bertanya lagi, "Kenapa
bodoh, buktinya kau bisa menulis banyak hingga terkumpul menjadi buku?"
Saya jawab lagi, "Karena bibir saya terbatas, ingatan saya terbatas,
tenaga saya pula, usia saya tentu juga terbatas. Dengan tulisan, dengan karya,
segala itu setidaknya akan lebih memanjang."
Pembicaraan
kami pun terhenti. Kami sama-sama menyeruput kopi. Saya menghela napas, dalam
batin, "Paling tidak, selain kebodohan-kebodohan dan dosa-dosa, ada
karya-karya yang ditinggalkan di dunia ini."
Ini
kabar kecil, dalam waktu dekat ini, jika tidak akhir bulan Januari ya awal
bulan Februari. Saat-saat kalau tidak salah mendekati momen-momen hari
kelahiran saya. Maka, buku "Remang-Remang Kontemplasi" ini, kali
pertama akan diobrolkan di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir Sabranglor
Kaliwungu Kendal yang akan diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu.
Terkait waktu penyelenggaraan yang pasti, dan siapa saja yang akan didapuk
menjadi pemantik obrolan, nanti segera akan diunggah.
Monggo,
bagi siapa saja yang berminat hadir, bisa meluangkan sejenak waktunya untuk
berjabat sapa dengan kami. Jika berminat dengan buku setebal 250 halaman,
berisi tiga bagian: seni budaya, sastra, dan pendidikan, yang hendak diobrolkan
ini, silakan bisa inbox, atau sms/wa 085641010277. Harga buku 35 ribu. Terima
kasih. Salam.
Selasa, 26 Juli 2016
Jumat, 12 Februari 2016
”Serat” Bikin Gairah (Suara Merdeka, 11 Februari 2016)
”Serat” Bikin Gairah
”Saya bisa menulis
puisi di mana pun dan dalam situasi apa pun. Ketika mendapat inspirasi saya
langsung mencatatnya di telepon genggam lalu mengembangkannya di rumah,” kata
Setia Naka Andrian (27).
Puisi-puisi alumnus
S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPGRIS dan S-2 Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini kerap menghiasi halaman
”Serat” Harian Suara Merdeka (SM) yang terbit di hari Minggu.
Bagi pria kelahiran
Kendal ini, puisi yang diterbitkan harian yang berulang tanggal kelahiran ke-66
pada 11 Februari ini jadi pembuktian kepada kedua orang tuanya di rumah.
Maklum, kegiatannya yang padat baik di kampus maupun berbagai komunitas sastra
membuat dia jarang pulang. Penerbitan karya puisinya jelas membuat dia bangga.
”Orang tua tahu
karena setiap hari membaca SM. Dengan pemuatan puisi saya, mereka tahu bahwa di
kampus saya melakukan hal positif,” katanya. Selain puisi, ia juga menulis
cerpen dan esai. Cerpennya dua kali dimuat di halaman yang sama.
Lingkup Nasional
Kebanggaan lain Naka
juga muncul lantaran persaingan ketat bagi karya seseorang untuk bisa dimuat.
Lebih-lebih lagi meski SMitu koran lokal, tetapi ”Serat” yang berisi cerpen,
puisi, dan esai telah memiliki lingkup nasional. ”SMbersanding dengan
korankoran nasional yang juga menerbitkan karya sastra.
Para pengarang yang
berebut mengisi kolom itu pun tidak hanya dari Jateng, tetapi dari berbagai
daerah di Indonesia,” ujar penyair yang bakal menerbitkan buku puisi Perayaan
Laut dan Manusia Alarm ini.
Bagi Naka, halaman
sastra ini sangat bermanfaat bagi para pengarang. Apalagi buat dirinya yang
merupakan pengajar sastra, kolom sastra di hari Minggu menjadi salah satu
referensi ketika mengajar.
”Dari kolom tersebut
para pengarang pemula belajar dan saling mengenal. Dan, kolom inilah yang
menggairahkan kami untuk terus berkarya….” (Dhoni Z-62)
”Serat” Bikin Gairah
”Saya bisa menulis
puisi di mana pun dan dalam situasi apa pun. Ketika mendapat inspirasi saya
langsung mencatatnya di telepon genggam lalu mengembangkannya di rumah,” kata
Setia Naka Andrian (27).
Puisi-puisi alumnus
S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPGRIS dan S-2 Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini kerap menghiasi halaman
”Serat” Harian Suara Merdeka (SM) yang terbit di hari Minggu.
Bagi pria kelahiran
Kendal ini, puisi yang diterbitkan harian yang berulang tanggal kelahiran ke-66
pada 11 Februari ini jadi pembuktian kepada kedua orang tuanya di rumah.
Maklum, kegiatannya yang padat baik di kampus maupun berbagai komunitas sastra
membuat dia jarang pulang. Penerbitan karya puisinya jelas membuat dia bangga.
”Orang tua tahu
karena setiap hari membaca SM. Dengan pemuatan puisi saya, mereka tahu bahwa di
kampus saya melakukan hal positif,” katanya. Selain puisi, ia juga menulis
cerpen dan esai. Cerpennya dua kali dimuat di halaman yang sama.
Lingkup Nasional
Kebanggaan lain Naka
juga muncul lantaran persaingan ketat bagi karya seseorang untuk bisa dimuat.
Lebih-lebih lagi meski SMitu koran lokal, tetapi ”Serat” yang berisi cerpen,
puisi, dan esai telah memiliki lingkup nasional. ”SMbersanding dengan
korankoran nasional yang juga menerbitkan karya sastra.
Para pengarang yang
berebut mengisi kolom itu pun tidak hanya dari Jateng, tetapi dari berbagai
daerah di Indonesia,” ujar penyair yang bakal menerbitkan buku puisi Perayaan
Laut dan Manusia Alarm ini.
Bagi Naka, halaman
sastra ini sangat bermanfaat bagi para pengarang. Apalagi buat dirinya yang
merupakan pengajar sastra, kolom sastra di hari Minggu menjadi salah satu
referensi ketika mengajar.
”Dari kolom tersebut
para pengarang pemula belajar dan saling mengenal. Dan, kolom inilah yang
menggairahkan kami untuk terus berkarya….” (Dhoni Z-62)
Senin, 21 Desember 2015
Sabtu, 05 Desember 2015
Langganan:
Postingan (Atom)