Yang Selalu
Ada dalam Ingatan dan Keabadian
Oleh Setia
Naka Andrian
Perjumpaan
awal dengan Sapardi Djoko Damono adalah pada obrolan buku puisinya Kolam (Editum, 2009) di Semarang, Juni
2010. Dari buku itu, saya jatuh hati dan menjatuhkan diri berkali-kali pada
puisi berjudul Bayangkan Seandainya. Berikut
puisinya, /Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu
tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit berawan, yang
menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang
kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung
itu menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari
bulu-bulunya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan
wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk
hinggap di lengannya;/ bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini
wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas
dengan ganas selembar demi selembar setiap hari./
Pada
Februari 2019, sepuluh tahun kemudian, saya dapat bersua dengannya di Institut
Kesenian Jakarta yang berada di Jalan Cikini Raya itu. Dua kali perjumpaan pada
hari-hari yang tak berjauhan di bulan Februari itu. Ya, tujuan awal menemuinya
dikarenakan kepentingan untuk meminta rekomendasi melanjutkan studi. Kala itu
saya berencana berkuliah di salah satu universitas di Depok. Saya mendapatkan
nomor ponsel Sapardi Djoko Damono dari seorang teman sejak masa kuliah yang jago
baca puisi dan bermain teater, yang saat ini bekerja sebagai wartawan dan ia menetap
di Jakarta.
Saya
menyimpan nomor ponselnya, selepas beberapa detik saya simpan, muncul akun
WhatsApp dari nomor tersebut. Nampaklah gambar diri yang khas dengan topi pet
dan berkaca mata. Sudah pasti ini benar nomornya, tak salah lagi. Dengan segera
saya mengetik pesan singkat dengan begitu cermat dan hati-hati. Pesan yang
berisi perkenalan dan menyampaikan maksud saya menghubunginya. Pesan singkat
yang tak panjang tetapi tak pendek juga menghampirinya. Sekitar beberapa menit
kemudian, dibalaslah pesan singkat saya tersebut.
Saya deg-degan,
berdebar tak karuan selepas mendapati balasan pesan singkat darinya. Bagaimana
tidak, tokoh besar bernama Sapardi Djoko Damono yang begitu moncer dalam kerja
akademik dan kerja proses kreatif itu telah membalas pesan singkat saya yang
bukan siapa-siapa. Bagaimana tidak, ia profesor sastra di sebuah universitas
terbaik di negeri ini, pun profesor dalam penulisan karya kreatif. Sosok muda
mana yang tak mengaguminya dan tak ingin bercita-cita menjadi seperti dirinya?
Terutama bagi siapa saja yang berkuliah di program studi bernapas sastra.
Saya ingat,
kala itu ia tak hanya membalas seadanya, tetapi telah disambutnya dengan sangat
baik pula pesan saya. Tentunya, ia juga berkenan untuk lekas saya temui. Ia
meminta saya menemui di IKJ. Tak menunggu lama, saya langsung bergegas mencari
tiket kereta api untuk mengatur jadwal keberangkatan menuju Jakarta esok
harinya.
Saat tiba di
IKJ yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, saya langsung menuju ruang
dosen pascasarjana IKJ di mana Sapardi Djoko Damono berada, selepas ditunjukkan
arah ruangnya oleh seorang satpam. Saya duduk di kursi antrian. Saya beruntung,
sebab saya hanya menunggu urutan dari seorang mahasiswa saja yang sedang
bimbingan, saya yakin sedang bimbingan tugas akhir (tesis). Nyaris hampir satu
jam saya menanti di ruang tunggu, tepat di hadapan ruang tempat Sapardi Djoko
Damono sedang memberikan bimbingan dengan begitu sabar dan santun. Penuh
balutan tawa lepas pula saat ia membimbing mahasiswa tersebut. Saya melihat dan
mendengar langsung, bagaimana gerak tubuh dan raut mukanya kala itu.
Selepas usai
membimbing, ia keluar dari ruang dan langsung paham jika saya menunggunya. Kami
berbincang di kursi tunggu di depan bilik-bilik ruang dosen, tempat saya
menunggu hampir satu jam. Namun waktu tunggu saya rasa begitu cepat, bahkan
saya seakan tak cukup waktu untuk menyiapkan dengan matang mengenai apa saja
yang hendak saya sampaikan kepadanya. Saya pun kembali berdebar tak karuan,
seperti halnya seorang pencari kerja yang sedang mau diwawancarai oleh pimpinan
di sebuah tempat kerja.
Namun
ternyata, ia menyambut saya dengan baik dan santun. Berbalut tawa lepas pula
seperti yang saya lihat sebelumnya saat membimbing mahasiswanya. Ia menanyakan
kabar dan dari mana asal (rumah tinggal) saya, serta beberapa perkenalan kecil
lain. Kemudian, saya pun kembali menyampaikan maksud seperti yang sudah saya
sampaikan di pesan melalui WhatsApp.
Sapardi
Djoko Damono menyambut baik maksud saya. Ia pun bersedia memberikan rekomendasi
kepada saya, sambil ia nampak melihat berkas-berkas yang saya bawa serta
beberapa buku puisi yang saya terbitkan. Dengan penuh deg-degan dan perasaan
tak karuan pun saya beranikan untuk memberikan beberapa buku puisi tersebut
kepada Sapardi Djoko Damono. Ia membaca dan membuka beberapa bagian. Itu
perjumpaan kali pertama, kemudian berlanjut pada perjumpaan kedua selang
beberapa hari sembari ia melihat berkas-berkas yang saya berikan untuk mengisi
rekomendasi.
Tak ada yang
kurang dari perjumpaan kedua, bahkan saya merasa ia kian akrab menyambut
kehadiran saya, seperti telah saling kenal lama. Beberapa wejangan pun meluncur
dan saya terima dengan sebaik-baiknya. Batin saya kala itu, kapan lagi saya
mendapati momentum empat mata dalam waktu nyaris satu jam setiap pertemuannya.
Seperti hitungan waktu yang saya lihat saat ia membimbing mahasiswanya. Selepas
kembali berbincang dan ia memberikan rekomendasi kepada saya, tak lama kemudian
saya pamit. Ia berpesan, terus semangat beproses dan semoga selalu mendapat
jalan terbaik.
Namun kini,
Sapardi Djoko Damono telah berpulang. Nomor WhatsApp terakhir dilihat pada
Jumat, 15.26 WIB. Tepat dua hari yang lalu. Saya ingat, terakhir kali saya
menghubunginya adalah ketika mengucapkan ulang tahun yang ke-80 pada tahun ini.
Tak kusangka, ternyata itu ucapan terakhir yang saya kirim langsung kepada
penyair besar Sapardi Djoko Damono.
Padahal
sempat suatu ketika saya berniat untuk meminta alamat surat elektroniknya dan
mengirimkan puisi-puisi saya untuk diberi komentar. Sebab sempat saya tahu, ada
salah seorang penyair muda yang mengirim puisi-puisinya melalui surat
elektronik. Ia membalas dan memberikan komentar sangat panjang. Penyair muda
itu sontak sangat kaget dan tentu sangat bersyukur mendapatkan komentar panjang
atas puisi-puisi yang ditulisnya.
Namun pasti,
akan saya kirim puisi-puisi menuju surga keabadianmu di sana. Semoga kau
membalas kembali dan memberi komentar atas puisi-puisi yang tak kunjung bagus-bagus
juga yang telah saya kirimkan itu. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono,
karya-karyamu akan selalu abadi di benak dan batin kami. Saya yakin, kau tak
akan tersesat dalam menziarahi keabadianmu di sana. Seperti dalam penggalan puisimu
dalam buku puisi Babat Batu berjudul Ziarah Batu berikut. /Kami memutuskan
untuk memulai ziarah/ menjenguk perigi dekat gua/ meski air di sana tidak lagi/
memantulkan wajah kami// kami sudah menguasai peta hari ini/ tak akan tersesat
ke kanan atau ke kiri/[]