Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 16 Mei 2020
Lelucon dan Migrasi Bahasa Stiker (Tribun Jateng, 16 Mei 2020)
Sumber: https://jateng.tribunnews.com/2020/05/16/opini-setia-naka-andrian-lelucon-dan-migrasi-bahasa-stiker
Senin, 10 Juni 2019
Bahasa dan Emotikon (Jawa Pos, 9 Juni 2019)
Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia
Naka Andrian
Seperti
apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum,
bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan
tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan
penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak
sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang
terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan
teknologi informasi.
Jika
sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun
lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati
masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu
dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat
dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar
hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat
dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan,
segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas
itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada
sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita
seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan
lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa
bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum
lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan,
karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu
mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala
kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali,
kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp.
Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang
akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah
alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan
suara (telepon).
Bahkan,
saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa,
yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa
disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya
ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman
kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata
yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua
karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas
bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan
melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik
saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul
bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru
kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak
fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan
dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan
yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari
ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp,
kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum
lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai
sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum
sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari
segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat
menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah
pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita.
Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar
ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun
jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula
dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet
pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini.
Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa
pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden
pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran
kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana,
menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu,
jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi
berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk
setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat,
murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang,
akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon
menjadi sandaran utama.
Emotikon
dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok
karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi,
biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon
seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat
zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik
kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas.
Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita
lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita.
Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa
lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan,
saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan
membanggakan.
Bisa
jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan
kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu
bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu
menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun
setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi
hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel
pintar kita.***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi
Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di
Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Minggu, 02 Juni 2019
Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)
Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia
Naka Andrian
Belakangan
ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun
pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan
pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski
dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di
dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas)
yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya
lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk
“L”.
Misalnya,
Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka,
Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca
Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum
Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya,
Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra
Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei
ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan
mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di
Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum
berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak”
yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka
tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu
beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa
teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat
menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah,
di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah
Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu
hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan,
yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004),
Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009),
Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi
Bumi Mandar (2013), Orang Mandar
Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah
proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi
hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu
terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya,
budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak
bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi
pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia
membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak
diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada
itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan
menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi
Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak,
khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit
didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta
meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga
didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan
menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung
pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka
anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.
Penuh Ketelatenan
Mereka
berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama
beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara
mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang
turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan
dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah
berkesudahan.
Pegiat
lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat
ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi
Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh
Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal
mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan
ketabahan.
Ridwan,
Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala
kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka
kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan
pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab
bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar
di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya,
mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di
dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara
mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan
tak membangun rumah di area itu. ***
—Setia Naka
Andrian,
lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis
puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi
Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.
Jumat, 17 November 2017
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia
Naka Andrian
Gerak
kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat
kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya
disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap
dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam
aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh
tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu
saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita.
Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar
dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan
atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi,
lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah
dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap
sangat bermanfaat itu.
Dengan
dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan
waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga
kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa
yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih
berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala
itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika
hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat
kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar
atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya,
seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon
genggam.
Ketika
itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar
informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan
yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan
begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di
berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.
Kembali ke Masa Silam
Tradisi
yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk
kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita
masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa
pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali
dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita
sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar
menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari
tanggung jawab!
Namun
bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita.
Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di
ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan
saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup,
selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak
murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk
selalu disentuh.
Sudah
sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku,
koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut
kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan
seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan
sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari
pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar
belanja bulanan.
Upaya
pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan
bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar
ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu
sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat
perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk
kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel
pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi
jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun
kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu
ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap
detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa
berkilah apa-apa.
Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih
saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di
ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja,
hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru.
Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi
dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya,
segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat,
menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan
selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam
ruang-ruang media sosial kita.
Disadari
atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar
bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan
mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin
bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar
grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan
kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu,
segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi
masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi
yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu
saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan
gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa,
mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa
diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar
generasi di bawah kita?***
Senin, 14 Agustus 2017
Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)
Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia
Naka Andrian
Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga
20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang
diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika
tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi
para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi.
Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia,
kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari
para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi
I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari
para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan
Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para
sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan
Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak
perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni
budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian
menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam
sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan
bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan
Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra
lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika
kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa
kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika
karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya
akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir
sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya
sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya,
melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk
pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada
anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan
karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya
sastra lokal.
Pada
Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah,
dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan
sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya
guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu
mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal
yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah
tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan
telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu
dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai
pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program
Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama
ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya.
Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan
sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam
sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi
dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin
tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM)
sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku
sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata.
Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah,
dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar
bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah
menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra
dalam mengajar di kelas.
Padahal
sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah
menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib
dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun
diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah
jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua
bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra
yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang
ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan
tegas?
Mustahil
kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek
kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup
ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa
yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula
kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang
lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan,
akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan
keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai
dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu
menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif
berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***
─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta
Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April,
2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun
ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm”
dan “Orang-Orang Kalang”.
Selasa, 08 Agustus 2017
Spirit Selepas Lebaran Rampung (Derap Guru, Agustus 2017)
Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia
Naka Andrian
Lebaran
telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga
pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani
ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu
keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal
bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang
bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi
kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam
sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan
halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya
sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal
menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai
ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh
tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai
pula dengan kegiatan reuni.
Bagi
masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi
penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari
meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung
sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut
masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan
yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin
digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk
berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang
tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka
berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal.
Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer
menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga
harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam
Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain
itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu
ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut
dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak.
Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan
bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam
tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi
menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai
generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan
tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat
menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan
didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas
rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan
mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih
semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi
substansi kebudayaan Indonesia.***
─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI
Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang
Kontemplasi (November 2016).
Senin, 07 Agustus 2017
Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Paguyuban dan Sambung Napas Institusi
Oleh Setia
Naka Andrian
Hari
Minggu, adalah hari yang saya setir untuk selalu bangun pagi. Bahkan lebih pagi
dari hari-hari lain. Jika hari Senin hingga Jumat (hari kerja), saya biasa
bangun pukul 5 hingga mepet-mepetnya pukul 6 atau melestnya pukul 6.30, maka tidak
untuk hari Minggu. Tubuh ini seakan telah merekam jejak gerak anggotanya, seolah
ada alarm kecil yang selalu menggedor diri ini untuk untuk bangun sangat pagi.
Hanya di hari Minggu saja. Tak lain karena sejak dulu kala, hari Minggu selalu saya
gunakan untuk memburu koran.
Mengingat
di Kendal, di tempat lahir dan tempat tinggal saya begitu susah untuk menemukan
warung penjual koran yang lengkap. Penjual koran yang mampu menyediakan
beraneka ragam pilihan koran, seperti halnya beragam menu masakan yang ditawarkan
di balik etalase warung masakan Tegal (Warteg). Kita akan dibuat manja untuk
menunjuk apa saja yang bakal diramu untuk dimasukkan ke dalam perut sebagai pemenuh
nutrisi tubuh dan penggugur godaan lapar mata.
Itu
tidak saya temukan. Rumah saya berada di tengah, di kecamatan Brangsong. Saya
dapat menemukan koran-koran yang saya pilih dengan harus menembus arah barat
dan timur. Barat di kecamatan Kota Kendal, dan timurnya berada di kecamatan Kaliwungu.
Itu pun, belum lagi jika dihadapkan dengan penjual koran di Kaliwungu yang
kerap tutup tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada saya. Jika penjual koran
tersebut boleh berpendapat dalam catatan ini, pasti ia akan teriak, “Lha memang
situ siapa?”
Kedua
belah arah berburu koran tersebut kian menjadi bagian kecil dari jagat hidup
saya yang entah. Seolah tak bisa dipisahkan dengan hari Minggu. Hari-hari yang
seharusnya saya atau siapa pun akan menganggap sebagai hari pancal selimut (hari bermalas-malasan,
hari kruntelan), namun segala itu
dapat dijalani dengan mulus karena kekuatan yang sulit diriwayatkan itu.
Belum
lagi jika dulu yang lebih silam, saat saya masih tinggal bersama kedua
orangtua. Tempat tinggal saya lebih jauh lagi, meskipun masih dalam satu
kecamatan dengan tempat persembunyian saya saat ini. Tentu pembaca yang sempat
menghinggapi ngunduh mantu pernikahan
saya akan cukup paham. Betapa pelosoknya kampung halaman saya. Betapa buruknya
jalan yang harus dilalui hingga menuju kampung tempat saya dilahirkan dan
dibesarkan hingga melampaui masa setengah matang, sebelum hengkang melanjutkan
kuliah di kota tetangga.
Segala
itu seakan dipandang sebagai beban yang enteng, karena semua dilakukan
berkali-kali. Dimulai dari keinginan dan keyakinan kuat untuk mendapatkan
sesuatu. Jika dalam sebuah proses penciptaan aktor teater, ada yang disebut
sebagai aktor bentukan mekanik, aktor yang dibentuk seorang sutradara (pelatih,
ahli) karena tempaan gerak latihan yang berkesinambungan dan pembiasaan.
Lalu
ada pula aktor bentukan alamiah, dengan tanpa dipacu atau tanpa tempaan apa
pun, daya keaktorannya tetap bercahaya dan memukau ke hadirat penonton di atas
panggung pertunjukan. Nah, yang saya lakukan ini hampir semacam aktor bentukan mekanik
tadi, karena tempaan berkali-kali dan kebiasaan yang didorong atas keinginan
keras serta kecintaan mendalam. Benar, mirip dengan dengungan penyemangat diri,
bisa karena biasa! Dalam hal apa pun,
kita tentu dapat berpengang dari itu. Entah aktivitas kerja, kegemaran,
berkomunitas, dan segala macam berguyub-guyub lainnya.
Seperti
halnya Minggu pagi ini, pada 6 Agustus 2017. Pertemuan Paguyuban Fakultas
Pendiidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas PGRI Semarang di Pemancingan
Baron Semarang menjadi salah satu bagian kecil yang sangat berdampak besar bagi
kehidupan saya pribadi. Maaf sedikit intermeso, jika kalimat tersebut membuat
saya ternobatkan menjadi sosok halu di
hadapan pembaca. Ah, lagi-lagi saya
harus bertemu dengan istilah semacam halu
itu, yang saya temukan dari ucapan istri saya. Katanya itu istilah gaul, yang
jika diperpanjang menjadi halusinasi. Kata istri saya, kaum halu. Saya kaum yang penuh khayal.
Waduh.
Namun
begitulah adanya, saya menemukan catatan kecil ini pun atas imbas dari
pertemuan paguyuban tersebut. Atas pertemuan, tegur-sapa, kisah dan
cerita-cerita dari teman kerja, guru, dosen. Di antaranya, Bu Sri Suciati, Bu
Siti Lestari, Bu Asrofah, Bu Ngatmini, Pak Suyitno, Pak Broto, Pak Harjito, dan
lainnya. Segenap canda, lomba anak-anak yang lucu-lucu, serta rangkaian acara dalam
paguyuban, begitu rupa membuat diri ini semakin tergugah. Semakin banyak yang
harus dipikirkan, dilakukan, dan tentu, diperjuangkan! Tentu, dalam gerak diri,
dan sambung napas institusi.
Saya
seakan digiring dalam banyak ruang yang masih kosong. Tiba-tiba saya kembali
ingat kampung halaman, ingat berburu koran, ingat segala hal yang awalnya tiada
terngiang di benak dan hati saya. Jika boleh saya tegaskan, semua itu karna
imbas pertemuan. Benar, karena paguyuban! Jika kita renungkan sejenak, kini kita
hidup di zaman yang serba mudah.
Kita
seakan dibuat manja atas segala godaan-godaan yang ditawarkan. Mau makan bisa
di antar sampai tujuan, hanya dengan menekan beberapa tombol ajaib dalam ponsel
pintar kita. Mau janjian, dipenuhi dengan tombol itu lagi. Bahkan, hingga mau
membatalkan janjian pun sama, kita diselamatkan dengan tombol itu lagi.
Sungguh, betapa semuanya bergantung, bermuara, dan berimbas dari tombol itu.
Kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan dan yang begitu menggoda itu, seakan semakin membunuh pertemuan
tubuh kita ke hadirat khalayak. Kita beranggapan, bahwa pertemuan-pertemuan telah
rampung di ruang-ruang grup-grup yang dilahirkan dari aplikasi ponsel pintar
kita. Lantas, kita beranggapan tiada perlu lagi menjalani pertemuan tubuh. Jika
tidak ya, pertemuan tubuh itu semakin berkurang, lalu hingga berakhir pada
hilang mutlak. Sama sekali tidak bertemu, sama sekali tiada lagi jabat sapa,
jabat cerita, dan jabat-jabat tralala lainnya.
Tentu,
sebuah pertemuan dalam paguyuban atau dalam wujud komunitas lainnya, tetap
perlu ditegakkan. Dengan jabat tubuh, kita akan semakin menjauh dari kecurigaan,
was-was, kegagalpahaman terhadap diri lain, atau setidaknya, dapat dikatakan pertemuan
tubuh telah menemukan nilai lain yang sangat tidak kita temukan melalui media
apa pun, secanggih apa pun. Sebab, di ragam media itu, kita tak mampu bertatap
mata. Sebab katanya, mulut bisa bohong, dan mata tidak. Di media sosial, mata
kita hanya dihadapkan dengan layar kaca. Mata tak bertemu dengan mata. Mata
yang hanya akan semakin menggiring kita dalam curiga-curiga.***
─Setia Naka
Andrian, tinggal di setianakaandrian.blogspot.co.id
yang sedang berupaya menjadi setianakaandrian.com
Sabtu, 05 Agustus 2017
Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif (Tribun Jateng, 5 Agustus 2017)
Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif
Oleh Setia
Naka Andrian
Salim
Said dalam bukunya Profil Dunia Film
Indonesia (1982) mengisahkan bahwasanya Usmar Ismail berusia 29 tahun
ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950. Usmar konon
berkata, “Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial.” Dengan bakat dan
kemauan ia bertekad menciptakan film nasional. Terbukti, film pertamanya Darah dan Doa (kisah Long March
Siliwangi) mengalami keterbatasan dana ketika sedang melakukan pemotretan
(pengambilan gambar) di Subang Jawa Barat.
Pengisahan
tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan generasi muda kita, khususnya bagi
sineas yang sedang berasyik-masyuk dalam gegap komunitas. Bahwa sebuah proses
kreatif harus tetap dilakukan, apa pun yang terjadi. Persoalan dana produksi
pun sejak masa Usmar hingga saat ini menjadi masalah klasik. Tiada alasan apa
pun yang dapat menghentikan roda berkesenian.
Seperti
di Kendal, Rumah Kreatif Film Kendal (RKFK) telah menggelar pemutaran perdana
filmnya beberapa waktu lalu pada 30 Juli 2017 di Pendopo Kabupaten Kendal. Malam
itu, di ruang pemutaran yang seadanya, ruang akustik yang entah, sound system ala kadarnya dan
pencahayaan yang semena-mena, tak membuat film berjudul Reksa dengan durasi 44 menit gagal menghampiri khalayak. Gedung
pendopo malam itu begitu penuh dengan kisaran 300 pengunjung, sebagian besar di
antara mereka adalah anak muda.
Hal
serupa itu sekiranya menjadi bukti nyata, bahwa masyarakat kita begitu
menggemari film. Ketimbang misalnya, jika dihadapkan dengan pertunjukan teater,
apalagi jika diminta untuk merampungkan sebuah kisah dalam novel. Maka
terbukti, akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang bersumber dari kisah
novel. Menjadi upaya lain untuk tetap menghadirkan kemuliaan kisah novel
melalui sebuah karya visual dan audio. Lengkap sudah, masyarakat kita hanya
diminta untuk duduk manis saja, bisa pula tiduran, atau dengan cara menonton
seperti apa pun. Mereka tetap bisa menikmati guyuran kisah dengan tenang.
Apalagi
film garapan Mustofa, sineas yang baru berusia 19 tahun tersebut mencoba
mengangkat persoalan yang begitu dekat dengan masyakarat Kendal. Benak penonton
diguyur bahasa, gerak, seni, budaya, dan segala hal yang begitu lekat dengan
kampung halaman mereka. Dari mulai barongan khas Kendal, tradisi mencari ikan
(gebyok), hingga persoalan pelik mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) begitu rupa
dihadirkan dalam jagat layar mereka.
Mengingat,
Kendal merupakan pengirim TKW terbanyak di Jawa Tengah selepas Cilacap. Ini tentu
menjadi persoalan lain, karena RKFK berencana untuk memutar keliling film ini
ke kampung-kampung. Akan beda ceritanya jika suatu ketika film tersebut diputar
dalam sebuah kampung yang ternyata didapati banyak keluarga TKW. Entah, segala
ini dapat melukai mereka atau justru membuat mereka sadar.
Meski
siapa pun berharap, melalui tangan Mustofa, sineas yang baru saja mendapatkan
beasiswa di Jogja
Film Academy tersebut, dapat membuat film ini
benar-benar menjadi ikhtiar untuk memantik kesadaran kolektif masyarakat kita. Dihadirkannya
sebuah keluarga petani miskin. Mereka adalah Reksa, seorang anak SD yang
diperankan oleh Wahyu Zulfahmi. Dilahirkan dari ayah bernama Sukri yang
diperankan Jatmiko dan ibu bernama Sum yang diperankan Siti Nur Azizah.
Awalnya
Reksa sangat tidak menginginkan jika ibunya berangkat kerja ke Malaysia. Begitu
pula ibunya, ia pun sama seperti Reksa. Apa pun yang terjadi, tetap ingin
menjalani segenap hidup di negeri sendiri. Namun segala itu tak bertahan lama.
Sukri, sang ayah tak kuasa menahan godaan dari tetangganya yang ternyata dapat
hidup lebih layak karena sang istri bekerja di luar negeri. Setiap kali
mengantarnya anaknya, Sukri menggunakan sepeda butut. Selalu berpapasan dan
bertemu dengan tetangganya yang mengenakan sepeda motor saat mengantar anaknya.
Sepeda motor hasil keringat sang istri yang bekerja di luar negeri.
Pada
akhirnya, Sukri nampak naik pitam. Terlihat memaksakan agar Sum mau bekerja di
Malaysia. Sum pun tak kuasa menolak, begitu pula Reksa. Meskipun, keseharian
Reksa nampak berantakan selepas ditinggal ibunya. Segala ketidakberesan pun
dijalani Reksa, sebagai anak yang begitu merindukan kehadiran sosok ibu, yang
baginya sangat tak tergantikan. Reksa mencuci pakaiannya sendiri, suatu ketika
baju seragamnya tak kering. Lantas ia tetap mengenakan seragam itu ke sekolah.
Akhirnya, ia diledek temannya. Reksa jadi korban.
Selain
beberapa hal tersebut, RKFK juga berupaya mengajak masyakarat untuk menumbuhkan
rasa kecintaan dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi serta dimiliki
daerahnya. Banyak kearifan suatu wilayah yang ternyata belum tergarap, belum
tercatat, dan bahkan semakin tak dikenali. Tentu segala ini sesunggunya menjadi
pekerjaan rumah bersama. Segenap masyarakat punya hak untuk menyelamatkannya. Sebelum
Kendal benar-benar lupa ingatan, karena tiada lagi yang sanggup atau terketuk
hati untuk menyelamatkan riwayat kampung halaman. Meskipun dalam peluncurannya,
film Reksa tak dihadiri oleh pejabat.
RKFK mengaku telah mengirim undangan kepada pemimpin dan segenap dinas terkait.***
─Setia Naka
Andrian, Dosen UPGRIS. Pencatat gerak seni budaya
Kendal.
Kamis, 27 Juli 2017
Pengajar di Luar Tempurung (Wawasan, 27 Juli 2017)
Pengajar
di Luar Tempurung
Oleh Setia Naka Andrian
Tentu setiap orang menyimpan banyak kenangan dari riwayat
pengajar/gurunya masing-masing. Barangtentu sudah sangat kita akrabi ungkapan William Arthur, bahwa guru biasa ‘mengatakan’,
guru baik ‘menjelaskan’, guru superior ‘mendemonstrasikan’, dan guru luar biasa
‘menginspirasi’. Pasti sepanjang hidup kita hanya akan mengingat
beberapa saja pengajar yang menginspirasi, dibandingkan dengan begitu banyak
pengajar yang ‘terlupakan’ riwayat kenangannya saat kita mengenyam bangku
sekolah.
Entah tentang guru fisika yang selalu tidak membawa
apa-apa ketika masuk kelas, namun begitu hafal dengan rumus-rumus dan segenap
materi yang disampaikan di kelas. Guru yang berprofesi sebagai pengusaha sukses
dengan mobil mewah yang selalu berganti-ganti. Atau guru bahasa Indonesia yang
mahir membaca puisi, berteater, menulis, dan langganan juara lomba. Guru penulis
buku-buku pelajaran yang diterbitkan penerbit major, dan seabrek kenangan
lainnya. Tentu segala itu akan mudah kita riwayatkan kembali sebagai inspirasi
hidup. Lebih-lebih, segala itu kita peroleh lebih banyak dari kenangan
pengisahan guru kita di kelas pada sela-sela pelajaran sebagai intermezzo, ketimbang pelajaran yang
disampaikannya.
Apa lagi di negeri kita ini, pembelajaran yang paling
mujarab tentu yang disampaikan melalui metode ceramah. Tentu tidak dapat kita
pungkiri, walaupun telah banyak ditemukan seabrek metode pembelajaran oleh
pakar pendidikan kita. Tetap saja, dari mulai pagi di sekolah formal, hingga sore
hari di sekolah diniah, misalnya. Guru kita akan lebih gemar berceramah.
Mengisahkan banyak hal, baik yang masih terkait dengan materi pelajaran, atau
bahkan yang sama sekali tidak ada kaitannya. Segala itu, tentu dilakukan atas dasar
ikhtiar pembentukan nilai lain. Agar sekolah tidak hanya terkesan mengemban tugas
untuk mengguyur ilmu pengetahuan semata.
Guru menginspirasi, tentu yang begitu terkenang di benak
siswanya. Guru yang mampu memberikan ‘spirit lain’ atau pandangan lain kepada
siswanya. Guru yang mampu menyeret imajinasi siswanya untuk mendalami sesuatu
yang memang patut untuk diperjuangkan demi kehidupan diri, yang lebih baik
tentunya. Guru yang tidak sekadar memberikan contoh semata, namun benar-benar
mengajak untuk bergelut pada bidang tertentu. Entah yang dapat dilakoni pada
saat masih menjalani proses pembelajaran di sekolah, atau kelak pada masa
selanjutnya.
Seperti halnya tadi, guru fisika yang melampaui guru
fisika lainnya, guru bahasa Indonesia pula. Tentu guru-guru tersebut merupakan
pengajar yang berani mengambil keputusan lain. Guru yang beraktivitas tidak
sekadar menyuntuki tugas-tugas administratif di sekolah tempatnya mengajar
saja. Namun, telah mampu mengembangkan segenap potensi diri. Entah dengan memperbanyak persinggungannya dengan
komunitas atau forum-forum tertentu yang memicu semangat untuk menjadi ‘diri
lain’ selain sebatas sebagai guru semata.
Guru yang tidak melulu percaya bahwa kehidupannya hanya
sebatas menyuntuki segala yang sudah diterimanya saat ini. Artinya, tidak ada
niatan untuk lebih memompa potensi dalam diri, keluar dan berpetualang lepas
melampaui capaian orang lain di sekitarnya. Seperti halnya yang dikisahkan Benedict
Anderson (2016), bahwasanya peneliti (seseorang) yang merasa betah dengan
posisi mereka di suatu disiplin, jurusan, atau universitas tidak akan mencoba
berlayar keluar dari pelabuhan atau mencoba-coba cari angin. Menurutnya, yang
perlu dipegang teguh adalah kesiapan untuk mencari angin itu dan keberanian
untuk mengikutinya, manakala ia menembus ke arahmu.
Pastilah setiap orang memiliki potensi lain, baik yang
sudah kelihatan, yang masih samar-samar, atau bahkan yang belum nampak
sekalipun. Hal ini tentu yang perlu dipicu adalah niatan untuk menemukan
sesuatu yang baru, jika barangkali beberapa hal yang sudah ditemukan belum
sepenuhnya klik di hati atau belum mampu menggapai capaian tertentu. Maka tidak
heran, jika banyak pula masyarakat kita, selepas lulus sekolah/kuliah pada
bidang tertentu, setelah itu bekerja pada bidang lain yang sangat
berseberangan. Bisa jadi, itu semua akibat diri yang gegabah dan belum
sepenuhnya mengamini bahwa hidup di dunia ini sejatinya adalah sebuah proses,
sebuah perjalanan panjang untuk menjadi.
Lalu bagaimana dengan nasib pengajar kita saat ini? Dalam
segenap aktivitas mereka seolah-olah begitu terbebani dengan kesibukan
aktivitas administratif yang bertumpuk-tumpuk. Kegiatan di luar akademik yang
membabi-buta, serta seabrek perjumpaan kerja yang seakan semakin menceraikan
mereka dari buku, perlombaan bagi guru, atau bahkan pergulatan komunitas dan
forum-forum mulia yang seharusnya diperlukan untuk menyambuki diri menjadi
pengajar-pengajar yang bergerak di luar tempurung.
Mengingat, pada kenaikan pangkat jenjang tertentu
misalnya. Guru Utama dengan pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e diwajibkan
untuk melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Di
antaranya tuntutan pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau
pengembangan karya inovatif. Misalnya pada bagian publikasi ilmiah, guru
dituntut untuk publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan pedoman guru. Jika
segala ini dituntut pemerintah, tentu mereka akan mau melakukan. Namun akankah
masih mampu mengejar karya yang fenomenal, jika guru masih bernalar di dalam
tempurung? Jika guru masih selalu disuntuki kerja-kerja administratif yang
bertubi-tubi?***
─Setia Naka Andrian, Lahir
dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang
telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April, 2016) dan bunga
rampai “Remang-Remang
Kontemplasi” (November, 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm” dan “Orang-Orang Kalang”.
Selasa, 23 Mei 2017
Sabtu, 29 April 2017
Jalan Tol dan Kematian Kota (Tribun Jateng, 29 April 2017)
Jalan Tol dan Kematian Kota
Oleh Setia
Naka Andrian
Selepas
peristiwa pembebasan lahan usai, yang didahului dengan tarik-ulur harga tanah,
tragedi kecil dengan pemerintahan desa/kelurahan, atau bahkan hingga berdemo
menuju pemerintahan tinggi di atasnya. Kita tak jarang akan melihat di
warganet, orang-orang mengunggah foto riwayat rumahnya. Dari mulai potret awal
ketika rumah didirikan, diperjuangkan dengan bertaruh keringat dari tahun ke
tahun, hingga saat terjadi penggusuran akibat proyek pembangunan jalan tol.
Mereka
seakan begitu tak rela melepas tanahnya. Berdalih, segala itu warisan leluhur
yang tak terkira nilainya, dan patut dipertahankan sampai kapan pun! Namun akhir
kata dalam unggahan foto-fotonya, “Biarlah segala ini berakhir. Biar
bagaimanapun, semua ini demi suksesnya gerak pembangunan bangsa dan negara!”
Segala
itu belum berakhir begitu saja. Tentu akan menyisakan berbagai persoalan baru
bagi masyarakat kita. Awal mulanya, harga bangunan dan tanah yang diganti oleh
pemerintah terkesan berduit-duit, melimpah-ruah. Ternyata setelah dibelikan
lahan baru, kemudian membangun rumah lagi, uang tersebut tidak cukup. Lalu
akhirnya, masyarakat lagi yang kelimpungan. Mengadu lagi, mengumpat lagi!
Menyalahkan pemerintah lagi!
Belum
lagi persoalan baru yang menimpa kota. Tentu ini bukan lagi hal sepele dan
dapat dibiarkan begitu saja. Bergelimang pekerjaan rumah yang tidak hanya
menyangkut harkat diri perorangan. Namun sudah berdampak pada kelangsungan
hidup khalayak dan masa depan kota. Bayangkan saja, misalnya di kota kecil
semacam Kendal. Selepas jalan tol Semarang-Batang dibangun, kemudian selanjutnya
beroperasi. Apa yang akan terjadi dengan wilayah yang awalnya sebatas kota
singgah ini?
Kota
yang sebelumnya dimanfaatkan oleh pengguna Jalan Pantura hanya sebatas untuk
merebah selepas mengisi bahan bakar di pom bensin, melucuti lelah sejenak di
hotel-hotel melati, atau sekadar mencari warung-warung pinggir jalan untuk mengobati
perut yang lapar. Segala itu sebatas mampir, tidak lebih! Kota singgah ini pun,
sebelumnya seakan tak kuasa memberikan kemanjaan apa-apa. Baik itu untuk
memanjakan mata atau bahkan lidah mereka!
Mata
para pengendara, pelancong yang lewat tadi seakan semakin tak menemukan sesuatu
yang berkesan. Seakan tiada lagi yang terkenang, membuat mereka kelak akan
mampir lagi ketika melewati kota ini. Bahkan untuk urusan lidah, yang kita pahami
dapat menjadi keutamaan bagi orang-orang bepergian. Siapa pun pasti ingin
menjalani wisata kuliner! Sudahkah itu digarap di kota singgah semacam Kendal
ini?
Seharusnya
segala ini menjadi kegelisahan bersama. Kita harus sadar, kota ini bukan kota
tujuan. Selepas jalan tol Semarang-Batang beroperasi, kita akan kejatuhan dampak
yang bertubi-tubi. Bisa jadi, kota singgah yang dahulunya hendak bercita-cita
menjadi kota tujuan pun akan pupus seketika. Bahkan untuk mempertahankan
menjadi kota singgah (lagi) pun harus melalui jalan lebih panjang dan lengang.
Jika
tidak segera mengambil tindakan berarti, cepat atau lambat kota ini akan
berangsur-angsur mati. Para pengendara, pelancong, turis lokal maupun manca,
akan lebih memilih berselancar di jalan tol yang lepas dan bebas hambatan itu. Menuju
kota-kota tujuan semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar (Bali). Kota
singgah ini tidak akan kebagian apa-apa. Masyarakat kita yang (katanya) telah mendapat
berduit-duit dari hasil pembebasan tanah pun seakan mereda. Menikmati kehidupan
baru di tempat tinggal baru, dan ‘seolah-olah’ merajut kebahagiaan baru.
Lagi-lagi
pemerintah kabupaten/kota (Bupati Kendal) harus segera lepas tindakan.
Masyarakat pun wajib membantu. Persoalan ini akan mulus dilalui hanya dengan
kerja kolektif. Sudah tentu, sangat perlu mendengar pertimbangan dari tokoh/sesepuh
masyarakat, sejarawan, budayawan dan seniman dalam gerak pembangunan yang
benar-benar meriwayatkan kearifan kota.
Mau
diapakan kota ini, hendak dibawa ke mana, mau disulap menjadi apa, dan lain
sebagainya. Sudah seharusnya, tatanan kota pun harus dikemas ulang sedemikian
rupa. Merujuk yang sudah disinggung sebelumnya, secara sederhana, kota ini
wajib memanjakan mata dan lidah para pelancong! Kedua itu tentu dapat kita
jadikan sebagai awal pijakan.
Setelah
keduanya selesai, maka kemanjaan hati pun akan dilampaui. Para pelancong akan
berkesan, mereka akan terkenang atas kemanjaan-kemanjaan yang dihidangkan di
hadapan mata, lidah, dan tentunya di hati. Maka mau tidak mau, kelak mereka
akan mengulangi persinggahannya lagi. Akan datang kembali, mengajak orang-orang
baru, mengabarkan kepada handai-taulan dan sanak-saudara. Otomatis, pundi-pundi
pedagang akan semakin penuh, perekonomian masyarakat kota bergerak melambung
tinggi.
Sudah
seyogianya perlu dipetakan lagi, mana saja tempat-tempat wisata di Kendal ini
yang berpotensi digarap lagi. Terutama wisata alam di kota ini yang sekiranya
masih bertenaga untuk memanjakan mata khalayak. Tentu hal ini sebetulnya bukan
lagi menjadi sesuatu yang sulit. Tidak sedikit wisata alam di kota ini yang
memiliki daya pukau. Ada Curug Sewu, Goa Kiskendo, Pulau Tiban, Pantai Sikucing,
dan lainnya. Tentu salah satu tugas saat ini, hanya bagaimana mengelolanya
lebih baik lagi. Lihat saja beberapa waktu dekat ini, Sungai Bladon yang
terletak di Dusun Krayapan-Brangsong telah membuktikan.
Sungai
yang tidak disangka-sangka itu tiba-tiba meledak dibanjiri banyak pengunjung.
Masyarakat hilir-mudik, tidak hanya dari dalam kota saja yang berdatangan,
namun menyedot ratusan warga dari kota-kota tetangga. Sungai yang terkesan
masih asri, bersih, dan cocok untuk digunakan berfoto di balon pelampung yang
bisa disewa pelancong. Itu menjadi salah satu bukti atas aset alam yang
dimiliki kota ini. Sudah saatnya kota berbenah. Proyek pembangunan tol sudah
berjalan. Sebentar lagi akan beroperasi. Seluruh lapisan masyarakat wajib urun rembug, turut andil dalam
menciptakan masa depan kota yang lebih baik!***
─Setia Naka
Andrian,
Dosen UPGRIS, Menulis buku Perayaan Laut dan Remang-Remang Kontemplasi.
Langganan:
Postingan (Atom)