Oleh
Setia Naka Andrian
Puisi
adalah makhluk
penyair yang paling berbudi. Tindakan serta segala
hal mengenai tingkah lakunya
menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas
kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk (puisi) ciptaan penyair lain. Sanggup menemukan
pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana.
Namun ada kalanya puisi belum sanggup menyelesaikan kecemburuan di
antara sesamanya. Seringkali egonya
meninggalkan prasangka buruk bagi estetika
puisi
lainnya. Tingkah laku dalam pemenuhan kesehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk
memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di media.
Idealisme
Penyair sebagai
Jurus Tersembunyi
Budi
murni seseorang
tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena pengetahuan budi itu
selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).
Hal itu
memberi sepetak penerangan bahwa penyair akan
selalu dihadapkan pelbagai tindakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Penyair mengakui keberadaan puisinya, puisi ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai
pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan
merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh
sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh
persoalan dan memecahkannya—menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan
mengobatinya.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa
menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang
disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis,
antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/
istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk
penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai
penyair
seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan
yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang
disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib
ditempuh penyair.
Konservasi
Puisi
dalam Jagad Penyair
Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah
lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir
untuk menemukan kontrol sebagai “aku”
(penyair) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun puisi yang dilepas oleh penyair dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk
mengubah agar lebih
baik.
Individu bukan berarti manusia sebagai suatu
keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas.
Yakni sebagai manusia perseorangan. Sebagai diri sendiri untuk melakukan
kesehariannya masing-masing agar
menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967).
Dapat kita lihat penyair di sekitar penyair lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama. Namun sesungguhnya berbeda. Penyair dibilang sejenis, tapi tidak sama. Karena para penyair berupaya untuk membeda-bedakan
diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada penyair lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas
kerja cerdas yang dilakukannya. Sehingga penyair lain akan merasa bahwa ia
mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis penyair yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut.
Para
penyair
pada puncaknya
masing-masing dapat dilihat dari rumahnya
(kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang
lebih tinggi dibandingkan rumah lain.
Sedangkan penyair yang “primitif” adalah penyair yang masih sedikit diferensiasinya. Maka para penyair/ rumah yang lebih maju tersebut
menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan
beraneka rupa
pekerjaan dapur estetika yang
dijalankan dalam perkembangan arus perpuisian
modern.
Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Penyair yang “primitif” tidak
dapat berkembang dalam berdikari
semata.
Ia tidak
mungkin mampu mencapai
peradaban estetika yang
lebih baik jika hanya mengandalkan pembawaan alam sahaja yang
telah dimiliki sejak lahir.
Karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh penyair, perkembangan tidak akan
begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***
RumahDiksi, Agustus 2012