Oleh Setia Naka Andrian
Dalam ingatan yang terus memanjang, saya mulai gemar meraba seberapa
penting guru mengikat tubuhku. Karena saya yakin guru dan murid memiliki
keseimbangan yang berimbang antara keduanya. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi membibirkan
bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara
berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya
sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status
spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja.
Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat
spiritualnya dari seorang gubernur.
Semacam dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi
muridnya. Sehingga kita tak heran jika banyak menjumpai seorang ayah yang lebih
tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Saya
kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut.
Karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang
dari rumah. Melihat dari masa kecil hingga sekarang telah membuktikan bahwa
hari-hari saya habis termakan jam pelajaran sekolah dan tugas-tugas yang
menggenangi pikiran setiap malam. Hingga terkadang susah tidur, lalu menggiring
saya untuk keluar menuju tempat nongkrong bersama teman-teman senasib.
Saya pun ingat, sejak umur empat tahun sudah dilempar orangtua saya
untuk nangring di bangku TK ketika pagi hari. Lalu dilanjut siangnya di TPQ/
Madrasah. Kemudian malamnya harus mengaji kepada kiai di masjid. Hingga waktu
sisa dalam sela-sela kerangkeng sekolah itulah yang saya gunakan semaksimal mungkin
untuk bermain bersama teman-teman. Entah itu main kelereng, petak umpet, hingga
sesekali membolos sekolah untuk pergi ke hutan untuk bermain sambil berburu
mangga atau buah-buah musiman lainnya.
Beberapa Guru
Berpengaruh (dari Beribu Guru yang Mencuri Perhatian)
Pertama, adalah kedua orangtuaku tersurga. Karena bagamanapun banyak
pertunjukan yang kami rayakan bersama-sama. Walaupun sesungguhnya saya sangat
kekurangan waktu untuk sekadar berjabat bibir dengan mereka. Karena kedua
orangtuaku termasuk para pekerja keras, saya harus sulit bertemu mereka ketika
nyala mahari masih berdendang di bumi. Hingga saya sering menangis ketika sore
hari sepulang dari Madrasah, banyak teman-teman yang disambut oleh kedua
orangtunya. Namun saya sendiri harus tanpa mereka, hanya nenek saja yang
menyambutku dengan mata yang cukup berkaca pula. Ah, biarlah. Walau
bagaimanapun, kedua orangtua saya merupakan pahlawan tersendiri atas tanggung
jawabnya.
Sesuai dengan syair lagu berikut ini, yang sering dibisikkan oleh
ibu ke telinga saya. Dondong opo salak/ duku
cilik-cilik/ gendhong apa mbecak/ mlaku thimik-thimik/ adik nderek ibu/ tindak menyang pasar/ ora pareng rewel/ ora pareng nakal/ mengko ibu mesti mundhut oleh-oleh/ kacang karo roti/ adik diparingi/. Terlihat jelas, bahwa orangtua saya
memberi banyak pilihan tentang hidup, tentang kemandirian, juga tentang kasih
sayang mereka ketika semua yang dilakukan memang untuk anaknya, pasti akan
membawa buah tangan untuk saya saat itu dan masa depan. Tentang banyak pilihan
yang mereka berikan kepada saya dalam menjalani putaran roda usia dan tanggung
jawab hidup yang semakin memanjang seiring dengan angka yang terus berlari
menggerus kontrak hidup ini.
Kedua, adalah guru TK. Waktu itu adalah awal mula saya dikenalkan
huruf-huruf hingga terangkai kata dan kalimat yang semakin memjanjikan saya
untuk sedikit berprosa membaca nasib. Dan saya rasa guru (awal) inilah yang
paling berpengaruh, sejak awalnya saya tidak mengetahui apa-apa hingga mampu
mengeja dan merangkai kalimat serta membibirkan dialog-dialog dalam buku-buku
yang kesepian. Juga yang mengajariku bagaimana lipatan kertas menjadi bermacam
binatang dan kapal terbang. Walaupun sekarang saya sudah lupa bagaimana cara
membuatnya.
Saya ingat betul, dulu ada dua guru TK yang membimbing. Yakni bu
Paijem dan bu Sur. Waktu itu pun saya sering merepotkan kedua orang tersebut.
Setiap pulang sekolah, saya diantar oleh salah satu dari guru saya itu. Karena
waktu itu saya berangkat bersama dengan bapak yang sejalan dengan tempat
kerjanya. Namun ketika pulang saya sering tidak ada yang menjemput. Hingga saya
diantar oleh bu Sur atau bu Paijem menuju ke rumah, atau seringnya ke tempat
kerja paman saya yang kebetulan berdekatan dengan sekolah.
Waktu itu pun ternyata saya sudah punya mata yang cukup nakal, saya
lebih memilih untuk diantar bu Sur. Walaupun ia hanya mengenakan sepeda,
sedangkan bu Paijem mengendarai motor. Karena secara usia ia lebih muda, dan
terlihat cantik ketimbang bu Paijem yang sudah setengah baya. Namun terkadang
saya dengan terpaksa harus diantar bu Paijem, ketika bu Sur berhalangan atau
ada urusan lain.
Ketika TK pun saya memiliki kenangan yang cukup cantik. Waktu itu
selain saya mengagumi sosok guru (bu Sur), saya juga dipertemukan dengan seorang
perempuan yang saya rasa sangat baik kepada saya. Namanya Nana, ia berusia satu
tahun lebih tua ketimbang saya. Saya ingat betul, karena saya sempat
dipertemukan kembali ketika kita sama-sama sudah duduk di bangku SD, namun kita
berbeda sekolah. Waktu itu saya kelas lima dan ia kelas enam. Dipertemukan pada
sebuah andong, ketika saya sedang bepergian dengan ibu. Juga ia sama, dengan
ibu tercintanya. Namun saya cukup menyesal waktu pertemuan itu. Saya malu-malu,
begitu pula ia. Sehingga tak sempat saya berucap terimakasih, bertegur sapa
atau sekadar menanyakan kabar. Namun saya masih ingat betul bagaimana nyala
matanya yang mengitari mataku. Dan saya masih tetap tak mampu berbuat apa-apa
hingga sekarang jejaknya hilang.
Saya menganggap ia juga salah seorang guru. Perempuan kecil yang
sering menolong saya ketika terjatuh dari ayunan, ia pun sering mengantrikan
saya untuk bergiliran bermain pada suatu permainan yang ada di TK saya
tersebut. Waktu itu saya cukup terkagum dengan perempuan yang dalam ingatan
saya cukup menawan. Dan sepertinya itulah kali pertama saya menemukan miniatur cinta
dari seorang lawan jenis. Hehe.
Ketiga, adalah guru SMA. Ada pahlawan khusus yang sempat
menyelamatkan saya ketika SMA. Dua guru yang setelah saya telusuri ternyata telah sering
menyelamatkanku dari bahaya-bahaya ketika kenaikan kelas. Karena ketika itu
saya sering membolos dan sempat cuti cukup lama saat hinggap beberapa waktu
tanpa sebab ke Jakarta. Kedua guru itu pun yang telah secara diam-diam mengirim
tulisan saya ke beberapa media sastra, dan ternyata termuat berkali-kali.
Padahal waktu itu saya sangat tidak paham tentang email dan sekawan-kawannya
itu. Salah satu guru pun sering membela saya habis-habisan di hadapan guru-guru
yang lain ketika rapat akhir tahun. Namun pada akhirnya tetap saja saya
terselamatkan, hingga kelas dua saya masuk ke kelas favorit yakni kelas IPA.
Begitu juga ketika kelas tiga. Walaupun saya sering mendapat rangking satu,
namun dari bawah. Hehe.
Saya pun hingga kini tak paham, betapa jaman telah menjerumuskan
saya ke jalan yang benar (bagi saya). Karena begitu baik alam dan manusia
memihak saya. Seperti halnya ketika saya harus tersesat di kampus pendidikan
yang entah ini hingga benar-benar khatam. Saya juga sempat khawatir di awal
pertemuan dengan orang-orang yang cukup sangat gila dalam menangani hidup,
dalam beberapa komunitas yang bangsat, namun saya yakin, saya begitu berguru
kepadanya. Dalam ending-ending pada adegan-adegan tertentu saya sering
menemukan kebahagiaan yang megah.
Maka bagaimanapun beberapa guru berpengaruh (dari beribu guru yang
mencuri perhatian) saya tersebut hingga kini menjadi musim tersendiri untuk
saya kenang. Semacam doa yang selalu muncul dari ingatan yang berbunga-bunga
dan terus menunggu-nunggu.***
Rumah Diksi, Juli 2012
Tulisan ini dimuat dalam buku kumpulan esai "Mengingat
Guru" UKM Kias, April 2012.