Haji Sukiyat
■cerpen: Setia Naka Andrian
Ia sangat erat dengan tanah. Dari mulai pernah
menjadi mantan juragan tanah hingga sempat juga bertugas sebagai penggali
kubur, semasa ia masih miskin. Di mata warga, ia dikenal sebagai seorang yang
kalem, low profile. Ia
ramah, namun dibalik keramahannya dan setelah mendapatkan segalanya itu, ia
disebut-sebut sebagai seorang juragan tanah yang kejam. Kalau sudah berurusan
dengan tanah, maka siapa saja akan menjadi lawan perangnya. Ia merupakan
seorang yang sangat kaya. Hampir tujuh puluh persen tanah di kampung ini
bersangkut-paut dengan dirinya. Dari mulai makelar tanah kelas liang kubur
hingga tanah lapangan sepak bola.
Namun itu dulu, dan sekarang semua telah berubah.
Sukiyat, seorang lelaki setengah baya yang telah kehilangan segalanya. Ia
tertipu ketika berniat hendak menunaikan ibadah haji. Semua harta,
berhektar-hektar tanah dan rumah beserta isinya ludes tertipu oleh jaringan
tertentu yang mengatasnamakan ONHK (Ongkos Naik Haji Kilat). Ia memilih jalan
itu karena pada awalnya memang sangat kekurangan waktu, beberapa detik waktunya
akan terasa sia-sia ketika harus menghabiskan beberapa bulan untuk melingkari
Kabah. Beberapa detik waktunya sangat berarti, jika ditinggalkan maka ia akan
mengidap kerugian yang sangat besar. Maka ia tergiur untuk mengambil jalur
ONHK. Naik haji hanya satu hari.
Spekulasinya gagal. Awalnya ia beranggapan, dengan
modal sebanyak-banyaknya akan menghasilkan duit yang jauh lebih banyak lagi.
Semua yang direncanakan atas perhitungan yang sangat pelik kini terdengar
sia-sia. Sukiyat sangat terjatuh. Ia menjadi tidak karuan. Yang dulunya dikenal
sebagai seorang berkemampuan besar untuk mengatasi segala masalah, kini
tertimpa masalah yang begitu besarnya. Ia sendiri tak mampu mengatasi.
Benar-benar ia jatuh, tertimpa tangga, terinjak-injak dan sulit bangun. Semua
harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta seisinya ludes entah kemana.
Jaringan yang dipercayainya tersebut telah kabur entah kemana. Sulit dilacak,
polisi pun lepas tangan karena terlalu sulit mendeteksi kemungkinan-kemungkinan
yang digambarkan oleh Sukiyat. Nyaris seratus persen ia telah berubah.
Kesadarannya tak tahu lari kemana. Sepertinya memang ia benar-benar terjatuh
jiwanya. Jarak pandang matanya terlihat tak menentu. Tingkah lakunya semakin
aneh. Kemauannya yang bermacam-macam termuntahkan semua lewat bibirnya.
Berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan.
Entah itu masalah berhektar-hektar tanah yang hilang, tanah galian semasa ia
dulu menjadi penggali kubur ketika masih miskin, hingga tentang rumah yang
telah mengusir seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur
belasan.
Ia semakin menjadi-jadi. Kini ia memakai setelan
baju putih lengkap dengan peci putih yang akrab dikenakan oleh seseorang yang
telah menjalani ibadah haji. Masih tetap berjalan menyisir dan memutar kampung
dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Seorang istri dan kedua anak
perempuannya yang masih berumur belasan nampaknya tak lagi mengurus Sukiyat.
Bahkan mereka memilih untuk meninggalkannya, pulang ke rumah orangtuanya yang
ada di luar kota. Sukiyat pun tak menggubris dan memang tak tahu tentang hal
itu. Ia bergeleng-geleng menelusuri jalan kampung dengan berbagai omelan hingga
wiridnya yang aneh-aneh. Terkadang ia sempat kelelahan, terengah-engah semacam
perenang yang baru mencapai finish dalam kekalahan. Lalu Sukiyat memilih
untuk beristirahat di tempat-tempat tertentu yang menjadi milik umum, seperti
pos ronda, jembatan, atau mungkin di masjid. Karena semua warga telah tak
menggubris keberadaannya. Mengingat masa silam Sukiyat yang secara
terang-terangan telah menyengsarakan banyak warga, tentang bisnis tanahnya dan
beberapa tindakan mengais uang yang dinilai sangat merugikan warga kampung
tersebut.
“Ngapain ngurusi Sukiyat? Ia kan bukan orang yang
patut kita tolong!”
“Ya, benar sekali! Semua yang didapatkannya
sekarang adalah akibat dari perbuatannya terdahulu!”
“Benar, jangan hiraukan dia! Biarkan ia menikmati
dunianya! Semua yang terjadi padanya sekarang memang sudah setimpal dengan apa
yang digariskannya dulu kepada kita!”
“Memang benar gemblung! Dia lah Haji Gemblung!”
“Sesuai dengan amal dan ibadahnya!”
“Hahahahhaaahahahaa!”
Namun terkadang ada beberapa warga yang merasa
kasihan terhadapnya. Hingga beberapa warga ada yang memberi bungkusan makanan
dan seplastik minuman hangat kepada Sukiyat. Ia pun tersenyum. Kadang juga nyengir sebagai simbol pengucapan
terimakasih yang mendalam darinya. Lalu ia memakan dan meminumnya dengan lahap
hingga habis.
***
Berhari-hari, berbulan-bulan telah ia lalui
seorang diri dengan memutar sisa hidupnya. Setelah baju putih yang dulunya
bersih kini telah berubah mewarna tanah. Tidurnya gelesotan di jalan-jalan kampung. Bila hujan
ia memilih untuk hinggap di pos ronda. Peci putinya yang juga telah berubah
mewarna tanah pun selalu ia kenakan. Tak pernah sekalipun lepas dari lingkar
kepalanya. Tidur pun selalu ia kenakan. Bahkan pernah ada orang yang jahil
menggodanya, dan meminta peci putih lusuhnya, namun tak diperbolehkan dan
sangat dilawan olehnya. Ia berkata, “Jangan! Ini kepunyaan saya! Enak saja mau
diminta! Jauh-jauh ngambil dari Makah kok seenaknya mau diminta begitu saja!
Saya jauh-jauh kesana dengan ongkos yang sangat mahal tahu nggak?
Berhektar-hektar tanah, rumah dan seisinya telah kupertaruhkan untuk pakaian
dan peci putih suciku ini! Enak saja kamu mau meminta semua ini dariku! Ongkos
naik haji itu mahal! Apalagi naik haji yang melalui jalur ONHK! Ongkos Naik
Haji Kilat! Paham nggak?”
Tak ada yang berani memenggal atau sekadar menjeda
omelan-omelan yang keluar dari mulut Sukiyat. Semua orang tahu tentang dirinya,
juga perihal latar belakang yang sempat menyelinap dalam kehidupannya. Malah
terkadang Sukiyat sempat mengamuk jika ada seseorang yang meledeknya. Entah itu
mengusik keberadaannya ketika sedang asik melamun sendirian di jalan atau
bahkan sangat marah ketika ia dipanggil hanya dengan sebutan Sukiyat, Si
Sukiyat, atau Pak Sukiyat. Karena ia sangat menginginkan dan begitu
menganjurkan untuk dipanggil Pak Haji Sukiyat. Mutlak. Baginya tidak ada yang
boleh menawar, Pak Haji Sukiyat.
***
Hujan kali ini telah mengguyur begitu derasnya.
Sukiyat masih dengan langkah tenang memutar mengitari jalan kampung. Menyisir
langkah yang gontai, namun tetap bersikeras mencapai titik tertentu untuk
menemukan tempat yang dikehendakinya. Beberapa orang ada yang sempat menawarkan
kebaikan untuk meminjami payung, atau sekadar mengajaknya untuk menggunakan
payung bersamaan. Namun semua niat kebaikan tersebut ditolaknya mentah-mentah.
Malah kebanyakan dari mereka diomeli dengan begitu lantangnya. Bahkan ada yang
sempat disemprot nama-nama hewan berkaki empat. Begitulah. Setelah itu tak ada
yang berani mengusiknya. Kebanyakan memilih diam daripada ribut dengannya.
Warga memilih untuk tidak mengurusinya, walaupun sebenarnya beberapa di antara
mereka ada yang merasa sangat kasihan dengan keadaan yang menimpa Sukiyat.
Hujan ternyata terus mengguyur dengan semakin
derasnya. Sukiyat nampak menggigil. Angin yang disertai hujan lebat itu
perlahan telah membersihkan setelan baju putih dan peci putih yang dikenakan
olehnya. Warna-warna tanah yang menempel pada setelan baju dan peci putinya
telah luntur bersama guyurannya. Petir menyambar-nyambar, tak sedikitpun
membuat Sukiyat takut. Ia masih memutar menapaki jalan-jalan kampung. Dengan
berbagai omelan dan wiridnya yang entah tertuju untuk siapa. Entah untuk
tuhannya, untuk harta bendanya yang lenyap atau mungkin untuk
ketakutan-ketakutan yang melanda serta menggelisahkan jiwanya. Barangkali
itulah yang dikehendaki Sukiyat untuk mengulang penemuan dirinya. Kini ia
tengah memunguti kembali beberapa jiwanya yang tercecer dimana-mana. Menjarak
terhadap berbagai hal atas penemuan-penemuan yang ternyata belum berujung. Maka
ia terus memutar dan melingkar mencari penemuan itu.
***
Hujan telah reda. Sore berjingkrak dengan lambat
melambaikan nyalanya untuk meninggalkan terang yang telah malas karena terlalu
lama diguyur hujan. Sukiyat masih menggigil. Giginya menggigit-gigit berulang
kali dengan begitu disiplinnya tanpa jeda. Tubuhnya gemetar. Kakinya terjinjit
menapak di atas jalan berair dan tanah yang becek. Bibirnya nampak pucat.
Langkahnya perlahan semakin pelan. Semakin lambat, nampak ia menahan lapar yang
memnggedor-gedor perutnya. Kampung terasa sepi. Orang-orang sepertinya tidur
lelap dengan selimutnya masing-masing. Suami-suami tengah tenang memeluk
istrinya dengan sepenuh selimut. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah
nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Anak laki-laki dan
perempuan yang sudah lumayan remaja ternyata sedang asik menghitung helai
rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya.
Mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu
candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Siap untuk
mengganti peran.
Sukiyat masih terus memutar dan terus melingkar
menapaki jalan-jalan kampung. Semacam ia ingin penuh menapaki tanah kampung
dengan kakinya sendiri. Mencari penemuan dan menemukan pencarian. Ia masih
terus berjalan dengan gigilnya. Selagi kampung terasa sepi. Selagi orang-orang
sedang tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Selagi suami-suami tengah
tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Selagi anak-anak mereka yang
masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing.
Selagi anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja masih asik
menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk
kamar orangtuanya. Selagi mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang
diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari
kamar. Selagi mereka, anak-anak yang sudah lumayan remaja sedang berpacaran di
bawah dingin sisa hujan dan siap untuk mengganti peran jika hampir ketahuan
oleh orangtuanya.
Sukiyat terhenti. Menatap masjid yang ada di
hadapannya. Ia masuk menuju serambinya. Melihat-lihat dan merespon segala yang
ada di dekatnya. Termasuk memegangi dan mengelus lantai keramik yang mengkilap
bersih hingga menyentuh-nyentuh bedug yang ternyata menunggu dibunyikan untuk
menyambut salat ashar yang ternyata lupa dibunyikan. Karena orang-orang tengah
hangat dengan pelukannya masing-masing. Malas beranjak untuk sekadar mengelap
lantai masjid dengan telapak kakinya masing-masing. Seketika itu, selagi
kampung masih sepi, Sukiyat mengendap-endap dengan langkahnya yang cemas menuju
tempat wudhu. Ia berkumur, membasuh wajahnya. Lalu setelah itu nampak
mengingat-ingat lagi urutan wudhu lainnya yang harus dilakukan. Ia nampak
mengingat-ingat dengan sebegitunya, lalu ia menemukan, membasuh kedua
tangannya, kening yang menyapa beberapa helai rambutnya, kemudian berlanjut
membasuh kedua telinga dan kedua kakinya.
Sukiyat menunaikan salat. Nampak fasih dengan
komat-kamit yang meyakinkan dari gerak bibirnya. Sesampainya dalam sujud, ia
nampak terhenti lama. Sangat lama, melalui beberapa detik, menit, hingga beranjak
pada hitungan jam. Sukitat masih tetap terdiam dalam sujudnya. Tenang dan
benar-benar terhenti dalam segala geraknya. Entah bersujud dengan mengucap apa.
Belum ada yang tahu. Semoga setelah itu ada yang menuntun jalannya.
Sanggargema, 111111, 02.56 am.