Ketika
Doa-doa Semakin Pucat Saja
■cerpen Setia Naka Andrian
Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa
ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh
pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun
berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian
kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat.
Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada
proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran
memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum
menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar
senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang di sekitar kita
tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan
dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang
terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum
sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.
Aku takut jika kelak kita akan pulang dalam
keberangkatan yang beda. Disibukkan untuk menyusun kembali gerbong-gerbong
kereta yang masih penuh penumpang, belum lagi banyak yang masih menunggu di
stasiun-stasiun dan pemberhentian-pemberhentian ilegal. Dan kita masih saja
pada garis tangan yang belum sama tapi memaksa rel-rel serta batu-batu kecil
disekitarnya agar tidak lari dan lepas untuk melanjutkan
perselingkuhan-perselingkuhan serupa. Lalu kau akan menunjuk banyak hal tentang
beberapa rel yang rusak dan jalan kita akan terhenti cukup lama sebelum
kesadaran untuk perbaikannya. Dan para penumpang dalam gerbong kereta semakin
kesakitan, belum lagi yang semakin kelaparan menunggu pada
pemberhentian-pemberhentian yang ilegal tadi. Dan kita terpaksa belum lunas
mati, hanya mengulur kesakitan-kesakitan yang lelah dalam rumah masing-masing.
Tanpa doa ataupun pengantar-pengantar yang suci sebelum kita benar-benar
berhenti.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana,
tentukanlah sebenar-benarnya kebenaran yang harus kubenarkan dalam pembenaran
serta pembenahan hidupku ini. Aku, juga mewakili istriku sangat ikhlas terhadap
apa pun yang akan menimpa kami. Aku tak tahu tentang guyur hujan yang setiap
malam menimpa seusai sujud yang terpenggal. Hingga merangkak terus dan
menelusur pada rupa langit yang tak lagi cerah ketika pagi. Langit malam pun
kini warnanya semakin tanpa hitam pekat. Sehingga malam yang tadinya berbintang
dengan nyala cerah, kini telah lemah entah kenapa. Begitu pula ketika pagi,
yang seharusnya langitnya cerah, namun kini telah menjadi muram, tertutup atap
rumahku yang semakin tua seiring usiaku. Enam puluh lima tahun, kapan kau akan
menambah? Atau sampai di sini saja? Sudah lengkap dengan tuntutan usia nabi,
maka aku pun harus yakin, ketika aku sebagi umatnya pastilah akan mengikutnya,
juga dalam usia. Lalu kau kapan Ina, kuatkah kau tanpaku bila angka ini
menutup?
Kau masih belum terlampau tua, Ina. Jika
kelak kita benar-benar dipisahkan karena tutup usia, kau tentunya tak mungkin
kebingungan untuk mencari penggantiku. Lima puluh lima tahun bagi perempuan
riang sepertimu tak membuat raut wajahmu kusam, apalagi kerut, tak mungkin. Kau
masih cantik, Ina. Apalagi rambutmu tak terlihat menguban sedikit pun. Bukan
karena kerudung yang selalu meutupinya, namun juga itu tak membuat rambutmu
beraroma apek, apalagi berkutu. Semua yang kau miliki indah, Ina. Kau masih
kelihatan cantik. Alismu masih bergaris seperti halnya tulisan latin. Matamu
menyala kunang-kunang. Tubuhmu pun masih anggun dengan penutup aurat yang
sempurna. Namun sayang, hanya saja nasib yang membuatmu tua pada pakaian.
Karena seharusnya kulit sawo matang darimu tak pantas mengenakan kebaya lusuh
serta jarit warisan loak itu. Namun apa boleh buat, itulah yang dapat aku
berikan kepadamu. Sekadar penutup aurat yang kita surgakan, agar kita tak kepanasan
kelak jika di akherat.
Kita memang tak cukup jika berserah,
terlampau mudah untuk menanam. Namun hanya beberapa sisa nyawa ini yang dapat
kusempurnakan untukmu. Tak lain, semenjak lima belas tahun yang lalu ketika
kita dipertemukan, kau tak menampakkan signal
penolakan terhadap persaanku. Walaupun seharusnya kala itu aku tak pantas
untukmu juga. Karena kau adalah mantan istri seorang lurah yang sangat berkuasa
di kampung ini. Seorang pengusaha kaya raya dan tetap menjabat hingga tahun
ini, walaupun akhirnya pun aku harus diusir dan menjadi warga di hutan. Dan kau
lebih membelaku. Tuduhan penipuan terhadapku telah kau bela, walaupun akhirnya
membuat kita diasingkan. Kau dituduh sebagai pembangkang suami dan sekaligus
sebagai perempuan yang menyelingkuhinya.
Ah, biarlah. Jika memang ini takdir.
Walaupun sebenarnya sungguh bahagianya diriku ketika menemukanmu. Aku
berlindung di balik kerudungmu. Walaupun nasib pun tak mempertemukan kita
sebagai pasangan suami-istri yang sah. Orang-orang kampung telah terhasut oleh
lurah mantan suamimu, agar tak ada seorang pun yang mau menikahkan kita. Para
kiai pun tak ada yang mau menikahkan kita secara agama. Semua telah teracuni
seorang lurah yang pernah menjadi orang nomor satu dalam hatimu. Tapi semua
kini telah berubah ketika tuduhan penipuan telah menghakimiku. Kau pun telah
menjadi penolong tunggal bagiku. Tapi semua tak membuatku selamat. Begitu pula
kau yang telah membuat dirimu sendiri terjerumus dalam nasibku. Juga perasaan
kita pun tak dapat sempurna menyatu dengan ikatan resmi. Berpuluh tahun hingga
aku hampir mengakhiri usia ini. Dan kita pun tak bisa melakukannya tanpa ada
pernikahan. Namun, walaupun begitu kita tetap memahami. Kita pun tak pernah
sama sekali melakukan hubungan suami-istri. Kita serumah, kita sekamar, namun
kita tak dapat setubuh. Biarlah bila di luar sana orang-orang berkata lain.
Allah maha tahu.
“Kang, apakah kau menyesali dengan
takdir kita?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena garis tangan.”
“Maksudmu, nasib? Takdir, Kang?”
“Bukan juga.”
“Lantas?”
“Allah.”
“Kenapa dengan Allah?”
“Dia yang telah memberi.”
“Lantas kau tak juga mau berusaha,
Kang?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena doa-doa kita telah semakin pucat
saja. Nyawaku pun hanya tinggal sisa.”
“Lima belas tahun yang telah kita lewati
ini akan tetap kau sia-siakan, Kang? Kau tak ingin mencari cara untuk dapat
menyatukan kita secara sempurna? Aku tak ingin jika hanya perasaan saja yang
kita seragamkan. Aku pun tak ingin jika sudah serumah, sekamar, namun tak
setubuh. Aku ingin kita menyempurnakan penyeragaman perasaan kita, Kang.”
“Aku pun juga ingin seperti itu, Ina.
Tapi bagaimana lagi? Akankah aku harus merengek kepada suamimu?”
“Apa? Suamiku, Kang? Bukan, aku sudah
tidak menjadi istrinya. Aku pun sudah lima belas tahun tak dinafkahi olehnya.
Namun bukankah kau yang telah menafkahiku di hutan ini? Lima belas tahun telah
kita lewati bersama. Ketika berawal dari gubug hingga rumah yang cukup gagah
dengan batang-batang kayu jati besar sebagai penyangga. Ini semua karena kamu,
Kang. Aku mohon, sempurnakanlah penyeragaman perasaan kita. Aku ingin kau
berusaha dengan cara apa pun, Kang.”
“Ina, apa kau tak ingat kerudungmu?”
“Aku lelah, Kang. Bukankah aku juga
manusia sepertimu? Yang juga membutuhkan seperti apa yang diinginkan oleh
perempuan-perempuan di luar sana. Hujan telah mengguyur deras. Langit pun
sangat gelap. Apakah kau tak ingin melindungiku dengan sempurna? Apakah kau
selamanya tak ingin setubuh denganku? Hingga tutup usiamu?”
“Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa
ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh
pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun
berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian
kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat.
Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada
proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran
memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum
menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar
senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang disekitar kita tak
lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan
dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang
terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum
sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.”
“Gunung telah membawa gerakan yang
tenang ketika sesaat setelah ia meledakkan tubuhnya. Hingga bayang-bayang atas
segala pertemuannya dengan manusia membawa perpisahan di antaranya. Lalu semua
akan lari mencari petunjuk, hingga yang sedang asyik bermain domino pun ikut
peran berduyun menuju serambi Masjid yang telah terkepung berjuta umat.”
“Namun, apakah kau akan tetap
berkeinginan sama ketika gunung yang kau agungkan telah tak lagi mampu
meledakkan tubuhnya lagi?”
“Kau menyerah?”
“Tidak juga.”
“Lantas?”
“Ingin rasanya pada sisa nyawa ini aku
akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit
lampu-lampu kota.”
“Kita bisa keluar dari rumah ini, Kang.
Kita harus meninggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa, Ina. Aku tak sanggup lagi.
Aku tak ingin ada yang terluka karena nasibku. Begitu pun orang lain yang tak
tahu menau tentang aku.”
“Kau ingin membiarkan kebiadaban lurah
itu?”
“Tentunya, iya. Aku ingin berserah
saja.”
“Berarti apakah kau juga tak
menginginkanku? Jawab, Kang? Aku tak ingin kau hanya diam, namun berpikir tak
jelas di belakang.”
“Aku ingin kelumpuhan ini menjadi sebab
yang tak lepas sebelum semua telah terbalik. Karena aku masih yakin jika
kebenaran akan tetap menang. Jika di dunia kalah, nanti di akherat pasti akan
dibenarkan oleh Dia Yang Maha Membenarkan.”
“Aku paham. Aku pun sangat paham tentang
yang dilakukan lurah itu. Ketika kau masih berjaya, kau masih memiliki sesuatu
yang megah. Hingga akhirnya lurah itu telah mengambil segalanya darimu. Dan kau
tenang. Itu yang membuatku terkagum kepadamu.”
“Namun sekarang semua telah berjalan
beda. Aku akan tetap menjadi diriku. Sebagai hamba yang mengabdi, terhadap
pemilik segala hidup ini. Aku berlingdung, semoga ada kehendak dari-Mu, Allah.”
Palebooné,
080811, 07.32 am.