Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia
Naka Andrian
Saat
ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula
pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik
yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan
korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan
kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian
yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada
persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama
dalam berita harian.
Sesungguhnya
bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada
kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya,
mana lagi gaung great idea (ide
besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan
rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam
seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala
itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan
yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita
bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai
persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi
Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil
UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji
hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut
yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat
menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi
Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.
Strategi
Kebudayaan
Meminjam
Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi
untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu
sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang
bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika
kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif,
bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud
akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang
tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud
mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera
dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata.
Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada
ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya,
ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang
(UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh
tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot
para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud
dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat
pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan
saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika
korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat
nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya
tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan
menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi,
hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp
250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah
lagi.
Terutama
bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka
sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya
untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka
yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah
sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan
malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani.
Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG,
alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai
kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong
mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat
dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan
benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan
yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan
hakikat pembelajarannya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).