Selasa, 03 November 2015

Menyulut Uji Kompetensi Guru (Wawasan, 3 November 2015)

Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Saat ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama dalam berita harian.
Sesungguhnya bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya, mana lagi gaung great idea (ide besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.

Strategi Kebudayaan
Meminjam Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif, bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata. Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya, ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi, hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah lagi.
Terutama bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani. Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG, alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan hakikat pembelajarannya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Jumat, 30 Oktober 2015

Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)

Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia Naka Andrian

Pagi itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip, polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka langsung menggeber lagu-lagu dengan tawaran sound modern yang masih menampakkan nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi, mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi. Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera (garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan banyak lagi gesture yang begitu fasih semacam dramaturgi pertunjukan teater.

Fenomena Pelik  Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan “kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini. Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang, birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca: atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa, mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap kampanye-kampanyenya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Selasa, 27 Oktober 2015

Pengakuan Kecil untuk Penjagal Itu Telah Mati

Pengakuan Kecil untuk Penjagal Itu Telah Mati
Oleh Setia Naka Andrian

Satu hal yang sangat sulit saya lepas ketika membaca kumpulan cerpen Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan Budi Susanto (Kang Putu), yakni untuk memberi jarak antara teks dan penulisnya. Beberapa tahun yang lalu, di TBRS dalam diskusi yang diselenggarakan Lembah Kelelawar, Kang Putu telah menceritakan banyak hal tentang kegetiran yang dialami ia dan keluarganya. Masa lalu memutar dari mulutnya, mesin waktu bergerak ke belakang, tentang ketidakadilan dan kekejaman yang begitu menyayat. Saya tak tahu bagaimana rasanya jika dalam posisinya. Tentu bakalan tak setegar dirinya, yang hingga saat ini masih selalu membekas, entah sampai kapan. Barangkali sampai akhir hayatpun akan selalu menyelubunginya.
Dalam pembacaan ini, saya merasa bocor dengan apa yang telah saya dengar langsung dari mulutnya. Saya merasa mendengarkan cerita langsung darinya. Dan di sisi lain, saya merasa ini sangat mengganggu proses pembacaan. Bayang-bayang cerita yang sempat saya dengar langsung darinya begitu kuat mengakar. Barangkali sangat beda, ketika saya sama sekali belum sempat mendengar cerita kegetiran ini dari penulisnya. Akan muncul banyak harapan ketika menelusuri teks yang disuguhkan dalam 14 cerpennya.
Begitu gamblang dan blak-blakan, Kang Putu menumpahkan segalanya dalam kumpulan cerpen ini. Semua dilepas, hampir tanpa aling-aling. Berikut sedikit penggalannya, “Bu, ceritakanlah saat Ibu dan Bapak ditahan. Sekali saja. Mumpung tak ada siapa pun,” ujarku saat mengunjungi ibu di rumah mbakyu. (hlm. 22).... Itulah, selalu begitu setiap kali aku bertanya tentang masa lalu, masa ketika ibu ditahan selepas Peristiwa 1965. (hlm. 22).
Penceritaan begitu gamblang mengalir dalam setiap cerita-ceritanya. Ya, barangkali inilah upaya Kang Putu mengembalikan hakikat bercerita. Apa anane! Namun, saya sempat membayangkan alangkah akan lebih menyenangkan dan lebih mendebarkan jika kisah-kisah Kang Putu ini disajikan dalam cara penyajian lain yang tidak segamblang ini. Di luar kegamblangan penceritaan, bisa jadi, saya akan menjadi belum tentu percaya dengan apa yang disampaikan dalam cerpen-cerpen ini. Jika saya belum diguyur kebocoran kisah-kisah getir yang disampaikan Kang Putu kala itu. Walaupun, sangat diyakini bahwa penciptaan sebuah karya seni tak pernah akan lepas dari kenyataan. Lahir atau bersumber dari kehidupan beragama, sosial, politik, budaya dan kehidupan individual.
Saya tak tahu, yang saya terima ini menjadi kekuatan atau malah membunuh nasib segenap cerpen. Barangkali ada alasan lain, Kang Putu menyajikan cerita-ceritanya tersebut. Mungkin ingin benar-benar melepas, segalanya, apa pun, hingga menemukan kepuasan lain. Atau barangkali, kumpulan cerita ini dapat menjadi wakil tersendiri ketika suatu saat anak-anaknya menanyakan sesuatu mengenai masa lalu keluarga, kakek dan neneknya. Sehingga melalui kumpulan cerpen ini, barangkali Kang Putu tak akan menghabiskan air matanya setiap kali menceritakan kisah masa lalu yang begitu getir ini.
Namun secara garis besar, saya lebih memihak pada kumpulan cerpen yang sebelumnya terbit, yakni Nyanyian Penggali Kubur. Saya yakin, akan ada banyak tanda tanya yang menggenangi benak pembaca. Dari kumpulan tersebut, setidaknya akan mengundang rasa penasaran tersendiri. Segala hal belum begitu disajikan serta-merta, masih ada hal-hal yang perlu diselesaikan dalam perjalanan membaca. Namun beda, ketika saya membaca Penjagal Itu Telah Mati, saya seolah disuguhi banyak hal yang memang sudah terbuka lebar. Bahkan kadang malah cukup marah, ketika dihadapkan dari cerita yang begitu pendek dan tiba-tiba diakhiri begitu saja. Saya tak tahu, apakah ini kumpulan cerpen yang terakhir, atau akan ada kelanjutan lagi. Namun dengan pengakuan yang sangat pribadi, barangkali ini sudah cukup. Karena dalam hal ini seakan Kang Putu telah menciptakan pungkasan. Bahwa penjagal telah ‘mati’. Tidak akan ada lagi lanjutan-lanjutan cerita perihal kenangan getir ini. Atau masih menyisakan cerita lagi selanjutnya, mari kita tunggu saja. Walaupun jika boleh jujur, saya lebih dan sangat suka dengan kumpulan cerpen yang pertama, Nyanyian Penggali Kubur. Melalui kumpulan cerita tersebut, banyak harapan yang muncul ketika menekuni setiap perjalanan cerita yang saya baca.


Setia Naka Andrian, penggila puisi, tinggal di Kendal, sesekali berkicau di @setianaka dan mengelola setianakaandrian.blogspot.com

Selasa, 13 Oktober 2015

Peneladanan Dharma Perguruan Tinggi (Koran Wawasan, 13 Oktober 2015)

Peneladanan Dharma Perguruan Tinggi
Oleh Setia Naka Andrian

Barangkali memang benar yang diungkapkan Rektor Upgris, Dr Muhdi SH MHum, dalam kesempatan tidak lama ini yang diikuti penulis pada orientasi dosen baru. Muhdi menggedor dada para dosen baru, “Jika dosen hanya mengajar saja, dosen itu ibarat tukang becak!”
Dosen yang hanya mengajar, barang tentu masih sebatas pekerja keras saja. Ia hanya menunaikan tugas pengajar. Memeras segalanya untuk menghadapi mahasiswa di kelas. Sudah sampai itu saja. Apakah itu salah? Tentu tidak salah. Namun, dosen sebagai ‘masyarakat’ perguruan tinggi (PT) mengemban tugas menunaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dosen  tidak bertugas sebagai pengajar saja, ia juga harus melakukan penelitian serta pengabdian masyarakat.
Pertama, dosen melakukan pendidikan/pengajaran. Kedua, penelitian dilakukan untuk menemukan atau membuktikan segala sesuatu secara ilmiah. Ketiga, pengabdian dilakukan untuk menerapkan ilmu kepada masyarakat lebih luas. Ketiga dharma tersebut jika sudah dilaksanakan, maka lengkap sudah kewajiban, tugas hidup, dan kebajikan sebagai dosen. Namun setelah diselami oleh berbagai PT di negeri ini, tiga dharma itu saja ternyata belum cukup untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik. Ada dharma keempat yang perlu ditambahkan oleh berbagai PT atas dasar karakternya masing-masing.
Misalnya PT agama menambahkan dharma pengembangan yang bersumber pada kitab suci agama tertentu, PT berbasis kewirausahaan diterapkan dharma kewirausahaan, PT berbasis pendidikan menambahkan dharma peneladanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Barang tentu, terkait dasar dan latar belakang dari PT, melalui dharma keempat mahasiswa beserta segenap masyarakat kampus digiring melalui mata kuliah dan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mewujudkan visi-misi kampus dengan karakternya masing-masing. Dengan masih bertumpu pada pendidikan sebagai ikhtiar memanusiakan manusia. Mewujudkan manusia sebagai kaum yang unggul dan terpelajar.

Peran Lingkungan Akademis dalam Peneladanan
Lingkungan akademis menjadi tulang punggung perkembangan pendidikan. PT berperan sepenuhnya dalam pengokohan mutu pendidikan sesuai dengan visi-misinya guna mencetak sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, unggul, berbudi luhur dan melek iptek. Jika perguruan tinggi diibaratkan sebagai sebuah kereta api, maka para dosen merupakan segenap gerbong yang memuat mahasiswa. Setelah dosen mampu menunaikan tri dharma, maka dosen perlu meneladankan. Dharma peneladanan tentu menjadi keutamaan dari dharma-dharma lainnya.
Apa guna pengajaran tanpa peneladanan, apa guna penelitian tanpa peneladanan, dan apa pula guna pengabdian tanpa peneladanan. Segala dharma itu bermuara pada peneladanan. Bahkan tidak berarti apa-apa nilai dharma kewirausahaan, pendidikan, kebudayaan, moral dan dharma keagamaan jika tanpa ada langkah peneladaan. Dharma peneladanan mengontrol mana yang patut ditiru atau yang baik untuk dicontoh dan mana yang tidak patut. Mengenai ketekunan belajar, prestasi, moral, nilai-nilai kebudayaan, agama dan kebaikan-kebaikan lain yang tentunya menjadi peneladanan yang baik.
Barangkali, sampai saat ini masyarakat kita masih yakin dengan pembelajaran melalui contoh. Segala sesuatu akan lebih mudah dipahami jika disampaikan melalui contoh. Barang tentu secara sederhana dapat disimpulkan, seseorang yang ingin pandai menulis, maka harus membaca karya-karya tulis. Seseorang yang ingin pandai berbicara, tentunya harus menjadi pendengar yang baik.
Dalam hal ini, PT memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap generasi muda yang merupakan penentu masa depan bangsa. Jika generasi muda berkualitas rendah atau lemah dalam hal fisik maupun mental, maka dapat dipastikan suatu bangsa akan stagnan atau bahkan hancur dengan sendirinya. Mereka akan kebingungan ketika berhadapan dengan bangsa lain terkait kompetisi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, sosial, politik, keamanan, prestasi olahraga, kekayaan budaya, dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika suatu bangsa ditopang oleh generasi bangsa yang kuat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang berwibawa, berdikari, berdaulat, dan tentunya akan siap menghadapi persaingan global dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan menaruh harapan besar melalui sebuah peneladanan, perguruan tinggi akan melahirkan generasi unggul yang mampu bersaing pada masa yang akan datang. Generasi pencipta, pemberi, dan penjaga makna kehidupan. Bukan menjadi generasi semacam yang dialami Sisifus dalam mitologi Yunani. Sisifus yang terus menerus mendorong sebuah batu besar sampai ke puncak sebuah gunung. Lalu dari puncak gunung, batu itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri.
Sisifus dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia. Berulang kali begitu. Mendorong batu ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali.***

Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Rabu, 07 Oktober 2015

Ikhtiar Pemerataan Label Sekolah (Koran Wawasan, 7 Oktober 2015)

Ikhtiar Pemerataan Label Sekolah
Oleh Setia Naka Andrian
Dewasa ini, sekolah favorit semakin menjadi incaran segenap orangtua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah label favorit ibarat menjadi muara bagi siswa-siswa unggulan dari jenjang pendidikan sebelumnya.
Sekolah unggulan barang tentu sudah dengan sekuat tenaga membuka pendaftaran dengan berbagai jalur. Dari mulai jalur siswa berprestasi, jalur reguler, dan jalur khusus. Jalur berprestasi yang sudah dibuka akhir semester sebelum siswa lulus, lalu berikutnya ada jalur reguler, dan jalur khusus bila diperlukan.
Lalu bagaimana nasib sekolah lainnya yang notabene belum menyandang label favorit. Bagaimana pula nasib sekolah-sekolah pinggiran yang berada di daerah pelosok. Tentu kita ingat, tidak lama ini persoalan pendistribusian buku teks Kurikulum 2013 mengalami keterlambatan bagi daerah-daerah terpencil.
Belum lagi mengenai pembelajaran Scientific Approach (pendekatan ilmiah) yang terpatri dalam Kurikulum 2013 tersebut. Dalam pendekatan saintifik, siswa dituntut untuk menggali banyak informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, dan lain sebagainya. Termasuk yang menjadi momok perihal penggunaan internet dalam mencari informasi. Bagi siswa perkotaan hal tersebut tidak menjadi persoalan, namun menjadi masalah besar bagi siswa di pedalaman yang sangat jauh dari internet.
Nasib sekolah yang belum menyandang label favorit atau sekolah pinggiran pun tentu akan semakin terpinggirkan. Sekolah tersebut semakin dijauhi, diabaikan, dan menjadi pilihan terakhir bagi siswa pencari sekolah lanjutan. Bahkan hanya siswa sisa-sisa saja yang akhirnya memilih untuk berproses di sekolah yang belum menyandang label favorit tersebut.

Standar Sekolah Favorit
Sekolah favorit dinilai telah memenuhi delapan standar yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kepala Sub Direktorat Pembelajaran, Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Eko Warisdiono (SM, 1/9) mengatakan, seharusnya setiap sekolah berpeluang menjadi favorit.
Barang tentu sekolah harus mampu memenuhi Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan.
Pemerintah mempunyai tugas yang sangat berat jika label sekolah hendak disamaratakan. Kedelapan standar tersebut pun harus terpenuhi. Pemerintah tentunya tidak hanya bertugas mempertajam pisau ukurnya dalam BSNP saja.
Pemerintah harus pula mencambuk banyak pihak untuk memeratakan standar nasional pendidikan tersebut. Misalnya bagi dinas pendidikan kabupaten/kota dan pihak-pihak lain di bawahnya, termasuk dalam lingkup sekolah, untuk lebih gencar lagi menggenjot kinerjanya. Dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan terkait perwujudan pendidikan nasional yang bermutu.
Hal tersebut tentu sangat klop dengan tujuan BSNP. Menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Jika ada yang kurang atau belum tepat, maka selanjutnya akan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Selanjutnya diharapkan mampu mewujudkan cita-cita yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 3). Bahwa pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Lantas, akankah pemerataan tersebut dapat terlaksana? Jika benar-benar hendak dilaksanakan, barang tentu hal tersebut merupakan cita-cita yang sangat mulia. Kita tidak lagi menemukan sekolah dengan label-label tertentu. Tidak akan kita temukan sekolah favorit, sekolah standar nasional, sekolah standar internasional, dan lain sebagainya. Semua sekolah sama, baik fasilitas, manajemen pengelolaan, siswa, dan sumber daya pengajarnya. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Sabtu, 29 Agustus 2015

Ikhtiar Memaknai Perayaan Hari Merdeka

Oleh Setia Naka Andrian

Kemerdekaan bukanlah berarti telah bebas sepenuhnya dengan tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Kemerdekaan bukan pula perayaan dan pesta kesenangan semata. Barangkali, pahlawan yang telah mendahului kita akan sangat bersedih di alam sana jika melihat generasi penerusnya tidak mampu mengisi kemerdekaan sesuai hakikatnya. Mengisi dengan aktivitas hidup yang penuh kebermaknaan dalam berbangsa dan bernegara.
Setiap tahun, kita terus mengulang keberadaan diri sebagai individu dan kelompok dalam pengambilan perannya masing-masing. Merefleksikan diri, seolah-olah kita kembali pada masa lalu ketika pahlawan pembela bangsa dan megara berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Pahlawan membebaskan diri, melepaskan bangsa ini dari penjajahan, memberikan kebebasan, dan lain sebagainya. Setiap tahun begitu, perayaan, pesta, dan kemeriahan. Memaknai kemerdekaan hanya sebatas kesenangan atas kemenangan. Apakah begitu?
Barang tentu penulis menyadari, sangat memprihatinkan memang. Di kampung-kampung halaman, di pinggiran desa, hingga di perkotaan, pemaknaan memperingati hari kemerdekaan masih sebatas ritual-ritual kesenangan. Di sudut-sudut gang, perempatan kampung, banyak didirikan panggung-panggung hiburan yang siap menggoyang masyarakat dengan dangdut koplonya. Lengkap dengan syair-syair lagunya yang tidak senonoh, tidak patut dan dan sangat tidak sopan. Di lapangan-lapangan kelurahan begitu riuh dengan perlombaan-perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar. Dari mulai lomba makan kerupuk, mengambil uang logam menggunakan mulut, memasukkan pensil di botol, menggendong istri, hingga lomba memecahkan balon di pantat. Seperti itu cara kita merayakan kemerdekaan?
Kemerdekaan barangkali sangat erat dan begitu akrab dengan diri kita. Merdeka dari tuntutan penjara seumur hidup, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan lain sebagainya. Lalu apakah ikhtiar untuk mengisi dan atau merayakan kemerdekaan dengan cara seperti itu? Tentu kita akan menjawab “tidak” dengan lantang, jika kita bersedia sedikit melihat sejarah dan masa lalu bangsa ini dengan baik. Hingga setelah itu kita akan lebih berhati-hati dan tentunya sangat bersungguh-sungguh dalam mengisi kemerdekaan yang sangat mahal ini.

Penanaman Nasionalisme
Ada sebagian masyarakat kita beranggapan, bahwa beragam perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar itu semata-mata niatan untuk mempermudah pengenalan hari kemerdekaan negeri ini kepada anak-anak. Maka perlombaan-perlombaan itu pun dikemas dengan lelucon dan sorak-canda yang pastinya sangat mengundang tawa bagi khalayak. Lalu apakah akan selalu dan terus-terusan semacam itu? Penulis sangat ingat, sejak kecil bahkan hingga saat ini, masih saja begitu yang terjadi. Sangat jarang ada perayaan berisi kegiatan yang memupuk nilai-nilai nasionalisme bagi generasi masa depan bangsa dan negara ini. Misalnya dengan perlombaan-perlombaan terkait sains, kesenian, dan budaya. Pasti semua masih selalu dimaknai sebagai pesta dengan segenap kesenangan-kesenangannya.
Barangkali pemaknaan perayaan hari kemerdekaan yang sesuai hakikatnya tidak dapat kita lakukan semudah membalik telapak tangan. Perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu dan penyadaran mendalam. Terutama bagi orangtua, pemuda, tokoh masyarakat hingga pemerintah tingkat desa/kelurahan yang kerap kali langsung terlibat dengan kegiatan-kegiatan peringatan HUT RI. Semua pihak tentunya harus berupaya keras untuk mengubah mindset masyarakat mengenai pemaknaan perayaan kemerdekaan yang tidak sebatas ritual kesenangan-kesenangan saja.
Tujuh puluh tahun sudah bangsa ini merdeka, telah cukup tua jika disandingkan dengan hitungan usia manusia. Lalu apakah kita akan terus-terusan seperti ini? Tentunya banyak hal yang dapat kita lakukan dalam upaya pemaknaan memperingati kemerdekaan. Kapan lagi kita akan mengisi kemerdekaan ini dengan dengan kembali pada hakikatnya. Bukankah momentum hari kemerdekaan sangatlah tepat untuk transfer ideologi kepada generasi masa depan depan bangsa ini?
Jika kita berkenan merenung sejenak, bukankah sangat kaya bangsa ini. Bukankah sangat melimpah sumber daya alam di negeri ini. Bukankah sangat kaya pula kebudayaan di negeri ini. Maka setidaknya itu modal, itu warisan tak ternilai dari para pendahulu kita, dari pahlawan-pahlawan dan nenek moyang kita. Agar kita mampu melanjutkan dan menjaga terus-menerus hingga tanpa berujung.
Bayangkan saja, jika kita masih sepakat dengan perayaan kemerdekaan yang hanya diisi dengan sebatas ritual-ritual bersenang-senang, lomba-lomba lelucon, dan memutar musik keras-keras di perempatan jalan dari malam hingga pagi. Apa jadinya bangsa dan negara ini? Barang tentu generasi penerus bangsa ini akan menyaksikan, merekam, dan akan melanjutkan kesalahan-kesalahan kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk merayakan kemerdekaan. Misalnya dengan perlombaan terkait sains, atau aktivitas kreatif terkait kesenian sastra, teater, musik, dan seni pertunjukan lainnya. Dengan masih kita arahkan dan kita selipkan nilai-nilai naisonalisme. Melalui perlombaan baca puisi atau menulis puisi misalnya, yang bertema perjuangan serta nasionalisme. Lomba mencipta lagu bertema perjuangan dan nasionalisme. Lomba menyanyikan lagu-lagu wajib nasional dan daerah yang kerap kali masih belum dihafal anak-anak kita.
Barang tentu banyak jalan untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jiwa nasiolisme tidak akan tumbuh begitu saja. Segalanya butuh proses, pembiasaan, dan tanggung jawab besar untuk terus menjaga serta menjiwai nilai-nilai keindonesiaan ini. Tentu butuh kesadaran panjang dari dalam diri kita untuk mengisi kemerdekaan bangsa dan negara ini. Bersama-sama dengan sepenuh potensi dan perannya masing-masing guna mencapai, mempertahankan, serta mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa sebagai salah satu ikhtiar menebar pemaknaan nasionalisme. Semoga. ***

Minggu, 16 Agustus 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Solopos, 16 Agustus 2015)

Perempuan Berhati Kaca

Di hatimu, pernah ditumbuhi kaca oleh ibumu. Ia berharap, kelak ketika kau terbangun dapat menyaksikan seberapa perempuan kau mendoakan hatimu sendiri. Ibumu juga ingin agar setiap hari kau melihat kakimu berjalan-jalan di antara banyangan dan kemesraan yang sering terbang di balik pemakaman. Sebagai perempuan yang memiliki sepasang sayap bertuliskan kekayaan. Berisi harta benda yang kau lepaskan di dadaku. Hingga akhirnya kita akan mati, membawa beban dan bahaya-bahaya.

Sanggargema, Januari 2015


Hari-hari yang Jauh dari Doa

Seperti kau, sebagai hari yang lain. Yang sempat dilupakan orang-orang: meninggalkan doa. Seperti halnya tanganmu, yang berjabat dengan kekasih teman. Lelah-lelahnya berpelukan menjadi leher. Menjadi ciuman, lipstik dan parfum.

Sanggargema, Januari 2015


Akhir Bahagia

Katamu, pagi ini ada yang lupa menaruh bahagia. Ia mengaku sebagai perasaan yang berlayar menelusuri rindu dan sisa kecemasan. Di matanya tumbuh tulang dan logam. Lalu tiba-tiba ada kepunahan yang berakhir setelah tangan dan kakinya berpindah di perut. Hingga akhirnya ia tak sanggup berbuat apa-apa, kecuali memejamkan doa yang ia akhiri di lubang hidungnya.

Sanggargema, Januari 2015


Rindu

Ada kelupaan yang kau tubuhkan di dadaku. Ia melakonkan kisah tragis seputar mimpi-mimpi yang dibacakan di batas cemburu. Kau tanyakan kepadaku, adakah yang aneh mengenai panjang rindu. Lalu kujawab dengan tayangan televisi, tentang gerai rambut dan shampo.

Sanggargema, Januari 2015