Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Jumat, 06 November 2015
Selasa, 03 November 2015
Menyulut Uji Kompetensi Guru (Wawasan, 3 November 2015)
Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia
Naka Andrian
Saat
ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula
pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik
yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan
korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan
kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian
yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada
persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama
dalam berita harian.
Sesungguhnya
bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada
kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya,
mana lagi gaung great idea (ide
besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan
rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam
seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala
itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan
yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita
bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai
persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi
Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil
UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji
hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut
yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat
menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi
Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.
Strategi
Kebudayaan
Meminjam
Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi
untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu
sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang
bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika
kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif,
bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud
akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang
tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud
mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera
dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata.
Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada
ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya,
ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang
(UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh
tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot
para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud
dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat
pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan
saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika
korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat
nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya
tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan
menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi,
hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp
250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah
lagi.
Terutama
bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka
sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya
untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka
yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah
sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan
malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani.
Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG,
alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai
kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong
mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat
dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan
benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan
yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan
hakikat pembelajarannya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Jumat, 30 Oktober 2015
Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)
Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia
Naka Andrian
Pagi
itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri
untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak
beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup
iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera
menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari
WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa
lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang
bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan
drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik
yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran
penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di
benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar
Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat
berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia
membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan
Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang
kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat
masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas
keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang
sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu
menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya
tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip,
polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud
dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng
Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka
langsung menggeber lagu-lagu dengan
tawaran sound modern yang masih menampakkan
nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi,
mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi.
Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring
menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera
(garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin
menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari
estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik
muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak
detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan
dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan
banyak lagi gesture yang begitu fasih
semacam dramaturgi pertunjukan teater.
Fenomena Pelik Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh
bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara
banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin
menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang
sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi
dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan
“kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh
yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu
seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua
panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan
panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan
pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal
tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini.
Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga
pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan
kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon
penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan
menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade
bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan
sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang,
birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang
turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya
mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca:
atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang
kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani
hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah
digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan
berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan
visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa,
mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan
kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena
sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang
seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada
akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang
lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para
calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap
kampanye-kampanyenya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Selasa, 27 Oktober 2015
Pengakuan Kecil untuk Penjagal Itu Telah Mati
Pengakuan Kecil untuk Penjagal
Itu Telah Mati
Oleh Setia
Naka Andrian
Satu
hal yang sangat sulit saya lepas ketika membaca kumpulan cerpen Penjagal Itu Telah Mati karya Gunawan
Budi Susanto (Kang Putu), yakni untuk memberi jarak antara teks dan penulisnya.
Beberapa tahun yang lalu, di TBRS dalam diskusi yang diselenggarakan Lembah Kelelawar,
Kang Putu telah menceritakan banyak hal tentang kegetiran yang dialami ia dan
keluarganya. Masa lalu memutar dari mulutnya, mesin waktu bergerak ke belakang,
tentang ketidakadilan dan kekejaman yang begitu menyayat. Saya tak tahu
bagaimana rasanya jika dalam posisinya. Tentu bakalan tak setegar dirinya, yang
hingga saat ini masih selalu membekas, entah sampai kapan. Barangkali sampai
akhir hayatpun akan selalu menyelubunginya.
Dalam
pembacaan ini, saya merasa bocor dengan apa yang telah saya dengar langsung
dari mulutnya. Saya merasa mendengarkan cerita langsung darinya. Dan di sisi
lain, saya merasa ini sangat mengganggu proses pembacaan. Bayang-bayang cerita
yang sempat saya dengar langsung darinya begitu kuat mengakar. Barangkali
sangat beda, ketika saya sama sekali belum sempat mendengar cerita kegetiran
ini dari penulisnya. Akan muncul banyak harapan ketika menelusuri teks yang
disuguhkan dalam 14 cerpennya.
Begitu
gamblang dan blak-blakan, Kang Putu
menumpahkan segalanya dalam kumpulan cerpen ini. Semua dilepas, hampir tanpa aling-aling. Berikut sedikit
penggalannya, “Bu, ceritakanlah saat Ibu
dan Bapak ditahan. Sekali saja. Mumpung tak ada siapa pun,” ujarku saat
mengunjungi ibu di rumah mbakyu. (hlm. 22).... Itulah, selalu begitu setiap
kali aku bertanya tentang masa lalu, masa ketika ibu ditahan selepas Peristiwa
1965. (hlm. 22).
Penceritaan
begitu gamblang mengalir dalam setiap cerita-ceritanya. Ya, barangkali inilah upaya
Kang Putu mengembalikan hakikat bercerita. Apa
anane! Namun, saya sempat membayangkan alangkah akan lebih menyenangkan dan
lebih mendebarkan jika kisah-kisah Kang Putu ini disajikan dalam cara penyajian
lain yang tidak segamblang ini. Di luar kegamblangan penceritaan, bisa jadi,
saya akan menjadi belum tentu percaya dengan apa yang disampaikan dalam
cerpen-cerpen ini. Jika saya belum diguyur kebocoran kisah-kisah getir yang
disampaikan Kang Putu kala itu. Walaupun, sangat diyakini bahwa penciptaan
sebuah karya seni tak pernah akan lepas dari kenyataan. Lahir atau
bersumber dari kehidupan beragama, sosial, politik, budaya dan kehidupan
individual.
Saya tak tahu, yang saya terima ini menjadi
kekuatan atau malah membunuh nasib segenap cerpen. Barangkali ada alasan lain,
Kang Putu menyajikan cerita-ceritanya tersebut. Mungkin ingin benar-benar melepas,
segalanya, apa pun, hingga menemukan kepuasan lain. Atau barangkali, kumpulan
cerita ini dapat menjadi wakil tersendiri ketika suatu saat anak-anaknya
menanyakan sesuatu mengenai masa lalu keluarga, kakek dan neneknya. Sehingga
melalui kumpulan cerpen ini, barangkali Kang Putu tak akan menghabiskan air
matanya setiap kali menceritakan kisah masa lalu yang begitu getir ini.
Namun secara garis besar, saya lebih
memihak pada kumpulan cerpen yang sebelumnya terbit, yakni Nyanyian Penggali Kubur. Saya yakin, akan ada banyak tanda tanya
yang menggenangi benak pembaca. Dari kumpulan tersebut, setidaknya akan
mengundang rasa penasaran tersendiri. Segala hal belum begitu disajikan
serta-merta, masih ada hal-hal yang perlu diselesaikan dalam perjalanan
membaca. Namun beda, ketika saya membaca Penjagal
Itu Telah Mati, saya seolah disuguhi banyak hal yang memang sudah terbuka
lebar. Bahkan kadang malah cukup marah, ketika dihadapkan dari cerita yang begitu
pendek dan tiba-tiba diakhiri begitu saja. Saya tak tahu, apakah ini kumpulan
cerpen yang terakhir, atau akan ada kelanjutan lagi. Namun dengan pengakuan
yang sangat pribadi, barangkali ini sudah cukup. Karena dalam hal ini seakan
Kang Putu telah menciptakan pungkasan. Bahwa penjagal telah ‘mati’. Tidak akan
ada lagi lanjutan-lanjutan cerita perihal kenangan getir ini. Atau masih
menyisakan cerita lagi selanjutnya, mari kita tunggu saja. Walaupun jika boleh
jujur, saya lebih dan sangat suka dengan kumpulan cerpen yang pertama, Nyanyian Penggali Kubur. Melalui
kumpulan cerita tersebut, banyak harapan yang muncul ketika menekuni setiap
perjalanan cerita yang saya baca.
─Setia
Naka Andrian, penggila puisi, tinggal di Kendal, sesekali berkicau di
@setianaka dan mengelola setianakaandrian.blogspot.com
Selasa, 13 Oktober 2015
Peneladanan Dharma Perguruan Tinggi (Koran Wawasan, 13 Oktober 2015)
Peneladanan Dharma Perguruan Tinggi
Oleh Setia
Naka Andrian
Barangkali memang benar yang
diungkapkan Rektor Upgris, Dr Muhdi SH MHum, dalam kesempatan tidak lama ini
yang diikuti penulis pada orientasi dosen baru. Muhdi menggedor dada para dosen
baru, “Jika dosen hanya mengajar saja, dosen itu ibarat tukang becak!”
Dosen yang hanya mengajar,
barang tentu masih sebatas pekerja keras saja. Ia hanya menunaikan tugas
pengajar. Memeras segalanya untuk menghadapi mahasiswa di kelas. Sudah sampai
itu saja. Apakah itu salah? Tentu tidak salah. Namun, dosen sebagai ‘masyarakat’
perguruan tinggi (PT) mengemban tugas menunaikan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dosen tidak bertugas sebagai pengajar saja, ia juga harus melakukan
penelitian serta pengabdian masyarakat.
Pertama, dosen melakukan
pendidikan/pengajaran. Kedua, penelitian dilakukan untuk menemukan atau
membuktikan segala sesuatu secara ilmiah. Ketiga, pengabdian dilakukan untuk
menerapkan ilmu kepada masyarakat lebih luas. Ketiga dharma tersebut jika sudah
dilaksanakan, maka lengkap sudah kewajiban, tugas hidup, dan kebajikan sebagai
dosen. Namun setelah diselami oleh berbagai PT di negeri ini, tiga dharma itu
saja ternyata belum cukup untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik. Ada
dharma keempat yang perlu ditambahkan oleh berbagai PT atas dasar karakternya
masing-masing.
Misalnya PT agama
menambahkan dharma pengembangan yang bersumber pada kitab suci agama tertentu, PT berbasis kewirausahaan diterapkan dharma kewirausahaan, PT berbasis
pendidikan menambahkan dharma peneladanan, kebudayaan dan lain sebagainya. Barang tentu, terkait dasar dan latar belakang dari PT, melalui dharma keempat mahasiswa beserta segenap masyarakat
kampus digiring melalui mata kuliah dan aktivitas-aktivitas tertentu untuk
mewujudkan visi-misi kampus dengan karakternya masing-masing. Dengan masih bertumpu pada pendidikan sebagai ikhtiar memanusiakan
manusia. Mewujudkan manusia sebagai kaum yang unggul dan terpelajar.
Peran Lingkungan Akademis dalam
Peneladanan
Lingkungan akademis menjadi
tulang punggung perkembangan pendidikan. PT berperan sepenuhnya dalam
pengokohan mutu pendidikan sesuai dengan visi-misinya guna mencetak sumber daya
manusia yang kreatif, inovatif, unggul, berbudi luhur dan melek iptek. Jika
perguruan tinggi diibaratkan sebagai sebuah kereta api, maka para dosen
merupakan segenap gerbong yang memuat mahasiswa. Setelah dosen mampu menunaikan
tri dharma, maka dosen perlu meneladankan. Dharma peneladanan tentu menjadi
keutamaan dari dharma-dharma lainnya.
Apa guna pengajaran tanpa
peneladanan, apa guna penelitian tanpa peneladanan, dan apa pula guna
pengabdian tanpa peneladanan. Segala dharma itu bermuara pada peneladanan.
Bahkan tidak berarti apa-apa nilai dharma kewirausahaan, pendidikan,
kebudayaan, moral dan dharma keagamaan jika tanpa ada langkah peneladaan.
Dharma peneladanan mengontrol mana yang patut ditiru atau yang baik untuk
dicontoh dan mana yang tidak patut. Mengenai ketekunan belajar, prestasi,
moral, nilai-nilai kebudayaan, agama dan kebaikan-kebaikan lain yang tentunya
menjadi peneladanan yang baik.
Barangkali, sampai saat ini
masyarakat kita masih yakin dengan pembelajaran melalui contoh. Segala sesuatu
akan lebih mudah dipahami jika disampaikan melalui contoh. Barang tentu secara
sederhana dapat disimpulkan, seseorang yang ingin pandai menulis, maka harus
membaca karya-karya tulis. Seseorang yang ingin pandai berbicara, tentunya
harus menjadi pendengar yang baik.
Dalam hal ini, PT memiliki
tanggung jawab yang sangat besar terhadap generasi muda yang merupakan penentu
masa depan bangsa. Jika generasi muda berkualitas rendah atau lemah dalam hal
fisik maupun mental, maka dapat dipastikan suatu bangsa akan stagnan atau
bahkan hancur dengan sendirinya. Mereka akan kebingungan ketika berhadapan
dengan bangsa lain terkait kompetisi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, sosial, politik, keamanan, prestasi olahraga, kekayaan budaya, dan
lain sebagainya. Sebaliknya, jika suatu bangsa ditopang oleh generasi bangsa
yang kuat dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bangsa tersebut akan
menjadi bangsa yang berwibawa, berdikari, berdaulat, dan tentunya akan siap
menghadapi persaingan global dengan bangsa-bangsa lain.
Dengan menaruh harapan besar
melalui sebuah peneladanan, perguruan tinggi akan melahirkan generasi unggul
yang mampu bersaing pada masa yang akan datang. Generasi pencipta, pemberi, dan
penjaga makna kehidupan. Bukan menjadi generasi semacam yang dialami Sisifus
dalam mitologi Yunani. Sisifus yang terus menerus mendorong sebuah batu besar
sampai ke puncak sebuah gunung. Lalu dari puncak gunung, batu itu akan jatuh ke
bawah oleh beratnya sendiri.
Sisifus dikutuk untuk
selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia. Berulang kali begitu. Mendorong
batu ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali.***
─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Langganan:
Postingan (Atom)