Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia
Naka Andrian
Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi
yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara
televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa
kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme
kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan
syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan
dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari
yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun
1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini
nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional
yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di
Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada
tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai
hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai
ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai
keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk
perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin
kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat
diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di
televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi
hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji,
saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata
kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya.
Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti
perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus
menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat
berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk
menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu
bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya
berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu
tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah
hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak
“Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema
robotik. Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo.
Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang
sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas
persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk
meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik
ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi
dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah
saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk
Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya.
Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya,
untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian,
sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”.
Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika
hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung
menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin
tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang
kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme,
ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak
kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan
cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri
Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi,
“Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu.
Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu
meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di
televisi.”
Seharusnya
saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam
(1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu
mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan,
impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan
baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua
buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.