Rabu, 02 Desember 2015

Program Pascasarjana UPGRIS Baca Puisi untuk Guru (Koran Sindo, 2 Desember 2015)


Sepasang Sepatu Tua di Jakarta dan San Fransisco (Rakyat Jateng, 28-29 November 2015)


Gelimang ‘Kado’ untuk Guru (Koran Wawasan, 14 Desember 2015)

Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Sejak 1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru, sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983), menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu, kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah.
Guru diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya, ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru (PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru (UKG). Seharusnya guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia, 23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34 provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah, kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu, segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri, agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para guru di koran dan di televisi. Semoga.***

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Selasa, 24 November 2015

Terbitkan Media Alternatif Sastra (Rakyat Jateng, 24 November 2015)


Kematian Anak di Televisi (Koran Wawasan, 24 November 2015)

Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia Naka Andrian

Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun 1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji, saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya. Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak “Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema robotik.  Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo. Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya. Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya, untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian, sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”. Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme, ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi, “Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu. Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di televisi.”
Seharusnya saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam (1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan, impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.