Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Kamis, 03 Desember 2015
Rabu, 02 Desember 2015
Gelimang ‘Kado’ untuk Guru (Koran Wawasan, 14 Desember 2015)
Gelimang ‘Kado’ untuk Guru
Oleh Setia
Naka Andrian
Sejak
1994 silam, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan
Hari Guru Nasional jatuh pada 25 November 1994. Dua puluh satu tahun sudah, pemerintah
bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan peringatan Hari Guru
Nasional sekaligus HUT PGRI ke-70 yang biasanya dihadiri Presiden atau Wakil
Presiden, para menteri dan pejabat negara lainnya.
Guru,
sebagai insan yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Guru menjadi contoh teladan bagi siswa-siswanya. Tentunya juga akan melebihi
apa yang dilakukan/dicontohkan oleh gurunya. Misal saja, jika guru kencing
berdiri, maka murid akan kencing berlari. Barang tentu sangat benar, kelakuan
murid (orang bawahan) selalu mencontoh guru (orang atasannya).
Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi (1983),
menyebutkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual
di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi
hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status
spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja.
Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat
spiritualnya dari seorang gubernur.
Dapat kita gariskan semacam pertemuan
dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Barang tentu,
kita tak heran jika banyak menjumpai seorang anak yang lebih tenang
menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Kita kali ini
pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut, karena
memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari
rumah.
Guru
diyakini sebagai pekerjaan mulia. Tak kan pernah ada profesor, dokter, bahkan
presiden, jika tanpa guru. Mereka diajari membaca, menulis dan berhitung oleh
guru. Kita tak bisa membayangkan betapa besarnya guru tingkat sekolah dasar. Namun
apa yang terjadi, seperti sangat jauh mereka dari kebepihakan. Bahkan kebijakan-kebijakan
yang ada sangat mempersulitkannya.
Misalnya,
ada beberapa komponen yang harus ditunaikan sebelum guru diberi tunjangan
pofesi guru (TPG). Di antaranya guru harus melakukan penilaian kinerja guru
(PKG), pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), dan uji kompetensi guru
(UKG). Seharusnya
guru tidak melulu ditekan dengan beragam uji kompetensi saja, namun diberi
pendidikan, pelatihan, dan bimbingan. Jika guru-guru tetap dibebani, maka akhirnya
yang bisa mereka lakukan hanya pasrah saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan (Media Indonesia, 23/11), meminta guru untuk dapat membuat
terobosan dalam mengajar. Anies berpendapat, sudah tidak bisa lagi guru
menyamaratakan model pengajaran dulu dengan saat ini. Siswa dipersiapkan untuk menghadapi
abad ke-21, sementara guru berasal dari abad ke-20, dan pendidikan yang diemban
dari abad ke-19. Anies menilai guru dapat meningkatkan kemampuan murid
berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap murid.
Terobosan itu tentu sangat bagus, namun akan
sangat ironis jika mengejar terobosan-terobosan sedangkan pemerataan fasilitas
serta sarana-prasarana pendidikan di negeri ini saja belum selesai. Ketua
Panitia Temu Netizen Peduli Pendidikan, Nur Febriani Wardi (Media Indonesia,
23/11), pendidikan belum bisa dinikmati secara adil, misalnya sedikitnya jumlah
SMA/SMK di daerah-daerah terpencil dan pedalaman, jarak tempuh yang jauh, akses
yang tidak memadai, dan belum meratanya pendidikan gratis juga menjadi halangan
bagi masyarakat miskin.
Belum lagi persoalan pemerataan guru
yang belum memihak di daerah-daerah terpencil. Padahal secara nasional, Indonesia mengalami kelebihan guru. Untuk jenjang
pendidikan dasar, misalnya, kebutuhan guru sebanyak 492.765 orang di 34
provinsi. Namun, berdasarkan laporan mulai dari tingkat sekolah,
kabupaten/kota, hingga provinsi di seluruh Indonesia yang masuk dalam data
pokok pendidikan, ada kelebihan 143.729 guru. Data itu tanpa membedakan status
guru sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau guru tidak tetap (GTT).
Namun
masih saja ada persoalan kekurangan tenaga pengajar di daerah terpencil. Beberapa
waktu lalu, diberitakan di Kompas (23/11), Sarino (32), guru SDN Caringin di
Kampung Caringin, Desa Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Sarino mengajar siswa kelas I hingga kelas IV seorang diri di suatu
ruangan agar semua siswa yang jumlahnya 22 siswa dapat terlayani.
Tentu,
segala itu menjadi kado tersendiri untuk guru-guru kita. Kado persoalan-persoalan
atas kebijakan-kebijakan yang belum selesai juga hingga saat ini. Padahal, tema
besar yang diusung dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT ke-70 PGRI
tahun ini adalah ‘Memantapkan Soliditas dan Solidaritas PGRI sebagai Organisasi
Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat’. Sebuah doa dan harapan tersendiri,
agar nasib guru semakin diperhatikan. Terobosan-terobosan yang direncanakan
menteri pendidikan kita semoga dapat menjadi angin segar tersendiri. Sehingga
selanjutnya, kita tak pernah lagi merasa lelah menyaksikan keluhan-keluhan para
guru di koran dan di televisi. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.
Selasa, 24 November 2015
Kematian Anak di Televisi (Koran Wawasan, 24 November 2015)
Kematian Anak di Televisi
Oleh Setia
Naka Andrian
Kita lihat sejenak, ada berapa acara televisi
yang memihak anak-anak setiap harinya. Kita dapat menyimak dalam jadwal acara
televisi di koran-koran atau internet. Seakan tidak ada lagi chanel yang cocok untuk pertumbuhan masa
kanak-kanak. Jika tidak tayangan-tayangan sinetron dengan bergelimang hedonisme
kisahnya, ada juga gosip-gosip artis, dan pentas-pentas musik dangdut dengan
syair tidak seronoknya.
Menyoal fenomena tersebut, dapat kita kaitkan
dengan peringatan Hari Anak Internasional diperingati 20 November, kemarin. Hari
yang juga diperingati sebagai hari lahirnya Konvensi Hak-hak Anak di tahun
1989. Edy Ikhsan (2003), menyatakan bahwa masyarakat dunia sekarang ini
nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (lembaga swadaya masyarakat internasional
yang bekerja untuk perlindungan anak).
Jebb merawat para pengungsi anak di
Balkan, akibat Perang Dunia I. Ia membuat sebuah rancangan Piagam Anak pada
tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan gagasan mengenai
hak-hak anak. Di antaranya, anak harus dilindungi dari segala pertimbangan mengenai
ras, kebangsaan dan kepercayaan. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai
keutuhan keluarga. Anak juga harus disediakan sarana yang diperlukan untuk
perkembangan secara normal, baik material, moral dan spritual.
Barang tentu anak-anak semakin
kehilangan kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan hak-hak anak yang sempat
diperjuangkan Jebb tersebut. Terutama sajian-sajian yang dihadirkan di
televisi. Saya ingat, dulu masa kanak-kanak saya di desa, televisi menjadi
hiburan utama bersama teman-teman dan keluarga. Setiap malam sehabis mengaji,
saya menyaksikan serial yang sangat mendidik, sebut saja Wiro Sableng.
Pendekar yang fenomenal dengan senjata
kapak dan rajah di dada bertuliskan 212 memberikan banyak nilai bagi penontonnya.
Di antaranya, Wiro tak akan mungkin bisa menjadi pendekar jika tidak menuruti
perintah Sinto Gendeng, gurunya. Serial tersebut mengajarkan bahwa kita harus
menghormati guru. Kemudian, walaupun Wiro lahir sebatang kara, namun dia tetap semangat
berjuang dan mengembara hingga bisa menjadi orang berhasil (pendekar) untuk
menegakkan kebenaran di muka bumi.
Ada pula serial Lorong Waktu yang ditayangkan khusus bulan Ramadhan. Lorong Waktu
bercerita tentang seorang ustadz yang menemukan mesin yang mampu membawanya
berkelana menuju masa lalu dan masa depan. Dalam perjalanan menjelajah waktu
tersebut, ditampilkan orang-orang atau tokoh-tokoh menginspirasi dengan kisah
hidup yang bisa diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya serial Anak Ajaib yang dibintangi Joshua Suherman, pelantun lagu anak
“Diobok-obok”. Serial yang menumbuhkan trend film anak-anak lokal bertema
robotik. Selain itu, ada serial Keluarga Cemara yang naskahnya ditulis Arswendo.
Sangat lekat dengan muatan pendidikan yang sangat berbobot. Bercerita tentang
sebuah keluarga sederhana yang harus memperjuangkan kelangsungan hidupnya atas
persoalan ekonomi. Seluruh anggota keluarga tukang becak ini bahu membahu untuk
meringankan beban hidup dengan cara berjualan makanan ringan (opak), baik
ketika di sekolah maupun sepulang sekolah. Namun anak-anak tetap berprestasi
dan hidup bahagia.
Ada lagi serial yang saat itu menggugah
saya untuk kuliah, yang notabene saya sebagai anak desa. Yakni serial Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk
Majuindo yang disutradarai oleh Syumanjaya.
Mengisahkan tentang perjuangan anak asli Betawi mengejar cita-citanya,
untuk kuliah dan merubah garis takdir keluarga yang berekonomi lemah. Kemudian,
sempat pula imanjinasi anak-anak dimanjakan dengan serial laga “Saras 008”.
Ketika itu masih awal-awalnya penggunaan telepon genggam (ponsel), ketika
hendak menghubungi dan minta bantuan Saras (sang manusia kucing) bisa langsung
menekan tombol ponsel dengan angka 008.
Hingga saat ini seakan kita semakin
tersudut dalam fenomena tayangan di televisi bagi anak-anak. Selain serial yang
kini hadir sangat kurang mendidik dan begitu mengguyur kisah-kisah hedonisme,
ada juga gelontoran berita-berita pembunuhan, perkosaan, dan tindak-tindak
kekerasan yang merusak generasi penerus kita. Saya menjadi ingat penggalan
cerita pendek berjudul Galuh Suka Mencuri
Bunga Mawar karya Andy Sri Wahyudi,
“Sore harinya Galuh dan ibunya datang ke rumahku. Galuh meminta maaf pada ibu.
Galuh mengaku, tiap pulang sekolah ia mencuri bunga mawar ibu lalu
meletakkannya di atas televisi, karena setiap hari Galuh melihat orang mati di
televisi.”
Seharusnya
saat ini segenap perusahaan televisi harus memegang yang disampaikan Umar Kayam
(1981), bahwa tayangan harus mampu menjadi media kultur yang mampu
mengkomunikasikan semua buah pikiran, cita, cita-rasa, fantasi, harapan,
impian, idiologi, nilai-nilai yang menghantar proses antisipasi kepada kebudayaan
baru kita. Bukan malah menjadi tayangan yang merusak. Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua
buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.
Langganan:
Postingan (Atom)