Natal
yang Mukim di Kamar Lindra
■cerpen Setia Naka
Andrian
Natal segera tiba. Besok Natal akan mengunjungi
rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku. Namun kurasa masih sama dengan
Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap tak beda. Aku masih tak mampu
berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang sambil meniti kesunyian ini.
Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai, dan hanya dentang lonceng yang
damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak mampu membalas dentang damai
bebunyian itu.
Kata ibuku, yang setiap Natal selalu bilang
kepadaku, katanya Natal adalah hari yang damai. Ramai dengan lampu yang
melantunkan doa-doa dari setiap rumah-rumah. Dentang damainya mengalun ke
mana-mana. Kedatangannya ditunggu-tunggu oleh umat Kristiani sedunia. Namun
hingga tujuh belas tahun usiaku ini, aku belum pernah menyaksikannya dengan
sempurna. Aku tak tahu, kapan Tuhan mendengar doa-doaku pada setiap Natal agar
aku diperkenankan menikmati kesempurnaan hari damai itu.
Kadang hatiku begitu berat dan berkecamuk dengan
begitu dahsyat jika hari hendak menjelang Natal. Lebih-lebih pada masa Natal
ini, Sinterklas telah mengecewakanku. Malam itu, pada tanggal 6 Desember,
Sinterklas datang di kamarku. Kata ibuku, “Lindra, malam ini kau mesti bahagia.
Karena Sinterklas malam ini mengunjungimu. Benar, Lindra. Ini dia datang, akan
datang pada malam menjelang pestanya setiap tahun. Sinterklas datang dengan
membawa berbagai macam hadiah untuk anak-anak yang manis. Dan kau adalah salah
satu anak manis itu, Lindra. Kali ini Sinterklas datang membawakanmu hadiah
baju bagus. Sentuhlah, Lindra. Baju yang sangat halus ini, sehalus tubuh dan
hatimu.”
Aku ingat betul waktu itu, Sinterklas menyapaku,
yang kata ibuku, Sinterklas berbaju merah. Kata ibuku, merah adalah warna,
walaupun aku sendiri tak tahu warna merah itu seperti apa, “Hai anak manis, aku
datang lagi kepadamu. Kali ini aku membawakanmu hadiah baju yang sangat bagus.
Berbahagialah ya, Lindra? Malam ini, seorang malaikat penolong yang membawa daftar
nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa kau anak yang
baik, kau sangat sayang kepada ibumu. Maka aku memberimu hadiah. Jangan bersedih
ya, Lindra. Kau anak manis. Maka aku berhak memberimu hadiah baju bagus ini. Berbahagialah.”
Sejujurnya waktu itu aku sangat marah kepada
Sinterklas. Kenapa harus memberiku hadiah baju? Bukankah aku sudah banyak
memiliki baju bagus? Aku sebenarnya ingin mataku bisa melihat, mulutku bisa
bicara, dan aku tak lagi lumpuh. Aku ingin kau bilang kepada Tuhan tentang
permohonanku ini, Sinterklas! Bukan malah membawakanku hadiah baju!
Waktu itu aku sangat marah dan sangat bersedih.
Aku yakin, ibu pasti juga bersedih, karena melihat cucuran airmataku. Tapi
bagaimana lagi, aku tak mampu menolak ataupun menyanggah segala sesuatu yang
disebut hadiah dari Sinterklas itu. Kapan Sinterklas mampu mendengar bahasa
hatiku?
Sungguh aku sangat kecewa dengan Sinterklas. Tapi
ini mending, ia memberiku hadiah baju, barang yang bisa bermanfaat bagiku. Coba
kalau tahun kemarin, aku ingat betul. Tahun kemarin Sinterklas dan sukacita
yang ia datangkan ke dalam perayaan Natal di kamarku telah memberiku hadiah
sepatu. Apa Sinterklas tak tahu kalau aku lumpuh dan tidak bisa berjalan? Tapi
tak tahu juga bila Sinterklas punya maksud lain kepadaku, ketika memberiku
sepatu. Pikirku malah tahun ini ia akan memberiku hadiah agar aku bisa
berjalan. Eh, ternyata tidak.
Pikirku Sinterklas terkadang memang sungguh
keterlaluan. Namun terkadang aku sadar, tak apa seperti itu. Aku cukup
bersyukur ketika tiap tahun Sinterklas selalu mau datang kepadaku untuk memberi
hadiah. Dan aku berbahagia, karena seorang malaikat penolong yang membawa daftar
nama anak-anak yang baik telah memperlihatkan catatannya bahwa aku anak yang
baik, kata Sinterklas aku sangat sayang kepada ibuku. Ya, benar begitu. Karena
ibuku juga sangat menyayangiku.
Tetapi ketika itu dan hingga kini aku tetap saja merasa
sangat kurang bersyukur atas segala yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa sepertinya
yang ada di kepala dan sekujur tubuhku tak lebih dari hiasan saja. Mataku kosong,
airmataku yang hujan selalu basah meminang kesepian ini. Mata yang seharusnya
mampu menemukan yang hendak kucari dan kunikmati keindahan serta kedamaian
hidup di dunia, namun hingga kini aku belum mampu memperoleh itu. Aku juga
masih lumpuh dan tidak bisa berjalan. Muluku juga bisu. Tuhan tidak adil! Apa
dosaku Tuhan?
Aku ingin menikmati hidup ini dengan sempurna,
Tuhan! Karena kata ibuku, dunia ini indah. Ada cahaya dan keistimewaan lainnya.
Seperti juga tentang Natal yang berwarna-warni dengan lampu-lampunya yang
bermekaran nan indah. Namun itu semua sebatas kata ibuku, juga kadang guru privatku
yang berkata begitu. Ya benar, ibu dan guru privatku sering berkata seperti
itu. Namun aku hanya mampu mendengar saja, hanya telingaku saja yang tidak
buta. Aku hanya mampu mendengarkannya saja, aku tak dapat melihat atau
menjawabnya. Hanya dalam hati saja aku bicara, dan pasti ibuku atau guru
privatku tak tahu apa kata hatiku. Dan padahal setiap ada orang berkata-kata
kepadaku, aku selalu ingin menjawabnya. Siapapun tak pernah akan tahu jawaban
kata hatiku. Kepada berita di radio dan televisi pun selalu aku berusaha
menjawabnya. Ya, radio dan televisi yang setiap hari selalu diputarkan oleh
ibuku, yang katanya agar aku tahu wawasan. Dan aku pun mendengarkan kata ibu,
juga apa saja yang keluar dari televisi atau radio. Ya begitulah, informasi-informasi
tentang hidup manusia di dunia yang kerap selalu kudengar. Karena kata ibu dan
guru privatku, itu sangat penting sebagai wawasan. Aku turuti kata mereka.
Karena aku sangat menyayangi mereka berdua, juga agar aku tahu tentang
perkembangan dunia serta manusia yang juga sama sepertiku. Mungkin yang
membedakan hanya nasib saja.
Sebenarnya aku sangat bosan dengan hidupku ini.
Dulu ketika masih kecil, beberapa kali aku hendak bunuh diri. Beberapa kali aku
berguling dan terjatuh di lantai, lalu ada benda-benda padat yang membentur di
kepalaku. Sempat ada gelas di lantai yang membentur dengan keras di kepalaku.
Sontak ketika itu darah mengucur dengan deras dari kepalaku. Ibuku menangis
meraung-raung dan memelukku dengan erat. Itu berkali-kali kulakukan, hampir
setiap sebulan sekali aku berusaha bunuh diri. Namun ketika aku berusaha bunuh
diri, ibu selalu saja menangis, juga ibu selalu memelukku dengan erat. Maka setelah
itu berulang-ulang kulakukan, aku menjadi sadar, kalau ternyata ibu sangat
menyayangiku. Setelah itu aku menjadi sadar, tak lagi berusaha bunuh diri atau
sekadar menyakiti diri sendiri. Karena kata ibuku itu adalah perbuatan dosa,
Tuhan tak suka dengan orang yang bunuh diri. Selain itu juga ibu sangat
menderita jika aku bunuh diri. Karena kata ibuku, aku adalah satu-satunya yang
dimiliki setelah bapakku meninggal ketika aku dilahirkan. Ibu pun tak mau
menikah lagi, karena ibuku tak mau jika orang yang dinikahinya akan
menyakitiku. Maka ibu yakin untuk memutuskan tidak menikah lagi, karena ibu
sangat menyayangiku lebih dari apa pun.
Berdasarkan pengalaman yang dikatakan ibuku, jika
ibu menikah lagi, maka biasanya orang itu akan jahat kepada anaknya. Karena
orang itu adalah bapak tiri. Seseorang yang bukan bapak kandung. Karena bapak
kandungku telah meninggal semenjak aku dilahirkan. Kata ibuku, bapakku adalah
orang yang sangat baik. Bapakku adalah seseorang yang selalu bekerja keras.
Buktinya ibuku kali ini tidak kerja. Ibuku hanya di rumah, menemaniku setiap
saat dan ketika aku membutuhkan. Ibuku selalu merawat dan melindungiku dari apa
pun, bahkan dari nyamuk sekalipun, ketika aku sedang tidur ataupun terjaga.
Aku dan ibuku merasa sangat bangga memiliki
bapakku, karena ia telah mewariskan semua harta dan segala sesuatu yang
dimilikinya untuk aku dan ibuku. Hingga kali ini aku dan ibuku tak perlu harus
bersusah payah untuk mencari uang sebagai pemenuhan hidup, untuk makan, pakaian
dan lain sebagainya. Lebih-lebih bagi ibuku yang sudah cukup lelah termakan
usia, ibu tak perlu repot-repot mencari uang untuk menghidupiku yang tak
berdaya berbuat apa-apa ini. Aku semakin bangga memiliki ibu. Aku yakin ibu
begitu menyayangiku. Namun kadang aku masih heran kepada Tuhan, lagi-lagi
kepada Tuhan. Kenapa belum juga mau mengabulkan doa-doaku agar aku mampu
melihat dan berbicara? Aku juga ingin bisa berjalan, tidak lumpuh terus seperti
ini. Aku bosan jika harus selalu di kamar ini, Tuhan! Aku tak kuat jika seumur
hidup aku harus selalu di kamar ini! Bayangkan saja, aku setiap waktu harus
selalu di kamar, dari mulai mandi, makan, berak, belajar dengan guru privat
serta apa pun itu selalu saja kulakukan di kamar. Yang buta tidak hanya mata
dan bibirku saja, namun tubuhku juga buta.
Hanya ibu yang selalu sabar merawatku. Aku
mendengar dengan baik kasih sayang yang selalu ibu hujankan kepadaku. Semoga
kelak aku mampu membalasnya, dan tentunya Tuhan juga harus mau memberikan
pahala yang melimpah kepada ibuku, juga kepada bapakku yang sudah terlebih
dahulu menemui Tuhan. Karena kata guru privatku, Tuhan itu baik hati. Tapi aku
juga tak tahu itu bohongan atau memang benar. Katanya Tuhan adalah
segala-galanya, Tuhan adalah pemilik kebahagiaan dan kenikmatan. Maka ya aku
pun selalu memohon kepada Tuhan melalui doa, agar ibuku diberi pahala yang
banyak. Karena ibu telah menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Juga kepada
bapakku yang telah terlebih dahulu menemui Tuhan, dan kepada guru privatku yang
selalu mendidik dan mengajariku tentang berkehidupan di dunia. Karena memang
hanya mereka saja yang dekat dalam hidupku. Yang selalu setiap hari menemaniku,
merawat dan melindungiku dari apa pun.
Malam ini aku kembali teringat. Natal segera tiba.
Besok Natal akan mengunjungi rumahku. Juga pasti Natal akan mukim di kamarku.
Namun kurasa masih sama dengan Natal yang tiap tahun mukim di kamarku, tetap
tak beda. Aku masih tak mampu berbuat apa-apa. Hanya terbaring saja di ranjang
sambil meniti kesunyian ini. Walaupun katanya Natal itu sangat indah, damai,
dan hanya dentang lonceng yang damai saja yang mampu kudengar. Walaupun aku tak
mampu membalas dentang damai bebunyian itu.
“Lindra, apakah kau belum tidur?” sapa ibuku
kepadaku, yang memang belum tidur, “Besok Natal, Lindra. Berbahagialah. Ini
Natal yang ke tujuh belas bagimu. Kau kini telah dewasa. Karena umur tujuh
belas tahun adalah kematangan bagimu. Apa lagi kau adalah perempuan. Berkah
Tuhan buatmu, Lindra.” Sembari iu mengelus-elus rambutku. Namun sangat
menyakitkan, aku tak mampu menjawab apa yang dikatakan oleh ibuku, hanya
airmata saja yang mampu kubalas, lebih-lebih agar ibu tahu kalau aku belum
tidur. Dan hanya itu saja yang mampu kulakukan untuk merespon lawan bicaraku.
“Kau cantik, Lindra. Kau semakin menjadi wanita.
Natal kali ini, ibu ingin bilang sesuatu, namun sebenarnya tak perlu kubilang
kepadamu. Karena kau adalah tanggung jawabku. Namun ini juga harus kau dengar,
entah kau mampu mendengar suaraku atau tidak. Lindra, kau tak perlu bersedih.
Ini yang ingin kubilang kepadamu, Lindra. Tentang harta serta kekayaan dari
bapakmu kini telah habis. Maka mau tidak mau setelah Natal besok, ibu hendak
pergi mencari uang. Entah bekerja apa saja. Mencari uang agar mampu
menghidupimu. Hidup kita berdua, Lindra. Maaf, kalau mulai besok mungkin ibu
tak mampu menemanimu setiap waktu. Dan mulai besok juga, ibu tak mampu membayar
guru privat untuk belajar bersamamu. Juga mungkin besok ibu akan pergi ke
gereja untuk menengadah kepada para pengunjung. Agar di antaranya mau berbagi
harta. Maaf, Lindra. Ibu akan tidak selalu ada di dekatmu. Tapi percayalah, ibu
sangat menyayangimu.”
Airmataku mengalir, mengucur dengan deras. Balasku
kepada ibu. Sebagai rasa sayang yang tiada terhenti. Aku yakin ibu juga sangat menangis
melihat airmataku. Maaf, aku membuatmu sedih. Maaf, aku belum bersyukur atas
karuniamu, Tuhan. Bagiku, hidupku merupakan suatu kesaksian yang cukup bagus bagi
diriku sendiri juga bagi ibuku. Dan airmata ini adalah sukacita yang Tuhan
datangkan ke dalam perayaan Natal kepadaku juga bagi ibuku. Aku harus yakin, kiranya
Tuhan benar-benar mengilhamiku dengan doa-doaku dan semangat kasih sayang ibuku
yang tak bertepi, serta teladan hidup agar kita dapat merayakan Natal dengan
penuh iman.
Palebone, Desember 2015