Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Selasa, 26 Juli 2016
Senin, 18 Juli 2016
Kutukan untuk Pemalsu Vaksin (Wawasan, 14 Juli 2016)
Kutukan untuk Pemalsu Vaksin
Oleh Setia
Naka Andrian
Banyak pihak
sangat menyayangkan terhadap tindakan pemalsuan vaksin yang sementara ini peredarannya
dikendalikan oleh tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasanga suami-istri
Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Hingga saat ini semua tersangka masih
dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka.
Selain itu, semua tersangka juga dikenai pasal berlapis karena melanggar
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Kejadian keji
ini begitu menggetarkan seantero dada para orangtua di negeri ini, lebih-lebih
bagi para ibu yang setiap waktu ingin selalu memberikan yang terbaik untuk
kesehatan dan pertumbuhan buah hatinya. Segalanya pasti akan siap dikorbankan
untuk kebutuhan kesehatan anak-anaknya. Beberapa waktu ini pun begitu ramai di
berbagai media sosial, semua orang seakan mengecam tindakan yang dilakukan para
pemalsu vaksin tersebut. Seperti halnya Change.org Indonesia pun dengan lantang
melayangkan petisi dengan seruan, “@KemenkesRI @NilaMoeloek Selamatkan nyawa Balita Indonesia, Usut Tuntas
#VaksinPalsu!”
Petisi tersebut
berisi, 1) Mendukung penyidikan kasus
ini, meminta agar POLRI dapat membasmi secara tuntas tindakan pemalsuan vaksin
dan mendukung penindakan yang tegas pada para pelaku. 2) Meminta Pemerintah,
Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini
beredar dan menggantinya dengan vaksin yang ASLI dan AMAN guna menjamin keamaan
dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia. 3) Meminta Pemerintah,
Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk mengumumkan nama-nama distributor,
Rumah Sakit, Klinik atau tempat kesehatan lainnya yang terindikasi dan/terbukti
menggunakan vaksin palsu. 4) Mendorong Pemerintah untuk melakukan vaksin
ulangan terhadap anak-anak yang lahir antara tahun 2003 – 2016 guna menjamin
generasi indonesia yang sehat dan bebas penyakit berbahaya. 5) Mendorong BPOM
untuk lebih agresif dalam mengawasi dan memfilter distribusi vaksin dan
obat-obatan pada umumnya.
Minggu lalu di
Nusa Dua, Bali (26/6), Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, anak
balita yang telah mendapatkan vaksin palsu perlu diimunisasi ulang. Sebab di
tubuh mereka tak terbentuk kekebalan. Imunisasi ulang pada anak usia 10 tahun
dimungkinkan. Yang pasti, segala ini sangat tidak dibenarkan, karena menyangkut
keberlangsungan kesehatan bagi anak-anak yan tentunya merupakan generasi
penerus bangsa dan negara ini. Lebih-lebih hingga saat ini 194 negara
menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit
berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya. Melalui imunisasi
yang lengkap dan teratur dimasukkan ke dalam tubuh bayi-balita, maka akan
timbul kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan, wabah, sakit berat,
cacat atau kematian akibat penyakit-penyakit tersebut. Setelah diimunisasi
lengkap, bayi-balita masih bisa tertular penyakit-penyakit tersebut, tetapi
jauh lebih ringan dan tidak berbahaya, dan jarang menularkan pada bayi-balita
lain sehingga tidak terjadi wabah.
Ini sebuah
kasus yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Pemerintah memberi perhatian
khusus. Pihak-pihak yang berwenang harus mengusut hingga tuntas. Bahkan hingga
saat ini, (Kompas, 28/6) polisi telah menetapkan 15 tersangka di sejumlah kota,
seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta
Semarang. Polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat,
dan saksi yang terlibat dalam pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat
rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat
peredaran vaksin palsu. Bayangkan saja, yang lebih mengerikan lagi ternyata
tindakan pemalsuan vaksin ini telah dilakukan sejak tahun 2003, maka dapat kita
ungkap bahwa sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan
telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.
Sungguh sangat
mengerikan, beberapa itu baru yang ditemukan, lalu bagaimana dengan yang masih
aman, yang masih beroperasi mengedarkan dan mengonsumsi vaksin-vaksin palsu.
Bagaimana nasib anak-anak di negeri ini, yang seharusnya sangat membutuhkan
kekebalan untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit-penyakit
berbahaya. Umpatan, kutukan, tangis, bahkan doa-doa buruk bermunculan dari para
ibu kepada mereka para pelaku. Sepertinya, jika melihat kasusnya yang tidak
hanya penipuan semata, tidak hanya pemalsuan semata, namun sudah menyangkut
keselamatan banyak nyawa. Kasus ini pun sudah sangat direncanakan, secara tidak
langsung inilah perencanaan membunuh, tidak hanya nyawa seorang, namun nyawa
dari jutaan orang, jutaan generasi penerus bangsa dan negara ini. Maka, belum
adil jika para pelaku hanya mendapatkan hukuman mati saja. Apalagi hanya
dipenjara puluhan tahun, atau hanya didenda saja. Semoga hukum ditegakkan
setegak-tegaknya untuk kasus ini. Semoga dan semoga.***
Setia Naka Andrian, Penyair
kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang (UPGRIS), Penulis Buku Puisi Perayaan Laut (April 2016).
Jumat, 27 Mei 2016
Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci (Wawasan, 12 Mei 2016)
Pak Ogah, Dirindu dan Dicaci
Oleh Setia
Naka Andrian
Sepertinya
kita seakan merasa kuwalahan sebagai
pemakai jalan yang kian hari semakin padat saja. Kita tentu sangat kesusahan
jika harus menyeberang di jalanan yang begitu padat. Lebih-lebih jika pagi
hari, suasana jalanan begitu ramai dengan kendaraan orang-orang yang memburu
waktu agar tidak telat menuju tempat kerja. Belum lagi siswa-siswa sekolah,
bus, dan angkutan umum lainnya dengan segenap asap kenalpot yang terkadang
begitu menyebalkan bersanding dengan parfum yang sudah kita kenakan di segenap
badan, polesan wajah para perempuan pun terasa cepat kusam, itu menyakitkan.
Menambah semakin cemas, lautan kendaraan bermotor berlalu-lalang seakan tanpa
jeda. Hingga akhirnya, entah menjadi sebuah keberuntungan atau malah menjadi
semacam pertolongan buat kita, jika tidak sedikit kita begitu dimanjakan oleh
Pak Ogah, sosok berbendera dan bercadar atau berhelm yang senantiasa membantu
kita menyeberang di jalan-jalan yang belum disambangi lampu merah, di persimpangan
jalan atau jalan putaran balik jalan-jalan ramai di kota kita.
Pak
Ogah, begitulah sebutannya. Mereka mau tidak mau, telah banyak membantu kita.
Mereka tidak sedikit yang hanya meminta sekadarnya (seikhlasnya) melalui sebuah
ember kecil, mengharap sebatas recehan dari para pengguna jalan. Namun ada
pula, sebagian dari mereka yang ternyata cukup meresahkan dengan meminta paksa.
Namun memang, kenyataan semacam itu terjadi tidak begitu saja. Tentu sangat
beralasan. Entah yang dimaksudkan mereka dengan dalih membantu, atau bahkan
mengemban misi soasial untuk tidak sekadar membantu pengguna jalan semata,
namun meringankan beban Polisi yang sedang mengatur arus lalu lintas. Tentu itu
sangat wajar, jika kita melihat jumlah pengatur lalu lintas (Polisi) di negeri
ini seakan tidak sebanding dengan perempatan-perempatan atau persimpangan jalan
yang begitu ramai pada tiap harinya.
Pengganggu atau
Penertib
Pak
Ogah, atau kerab disebut sebagai Polisi Cepek, seakan menjadi produk jalanan
modern kita yang kehadirannya terkadang dirindu saat mampu menertibkan jalan,
namun ada pula yang menganggap kehadirannya sangat mengganggu arus perjalanan
kita. Tentu hal tersebut sangat wajar. Tidak sedikit pula sebagian dari mereka
yang dinilai sangat meresahkan masyarakat. Misal saja ketika mereka yang
awalnya berdalih ingin menolong ketika ada perbaikan jalan, ketika jalanan
terpaksa harus dibuka dan ditutup secara bergantian. Mereka seakan mengatur
dengan begitu apik. Dari sisi yang berlawanan, mereka saling berkopmunikasi
jalur mana dulu yang akan diperkenankan untuk berjalan. Bahkan tidak sedikit
pula di antara mereka tidak hanya menggerakkan simbol-simbol melalui bendera
saja, namun sudah merelakan untuk memanfaatkan alat telekomunikasi semacam Handy Talkie (HT) atau bahkan rela
menghabiskan pulsa telepon genggamnya untuk berkomunikasi mngatur jalanan.
Namun
jika kita sempatkan menengok beberapa kicauan masyarakat di media sosial, atau
barangkali di antara kita ada yang sempat mengalami sendiri, tidak sedikit Sdi
antara mereka yang mengumpat ketika para pengguna jalan tidak memberi imbalan,
menggedor kendaraan kita, sambil melotot dan marah-marah dengan
teriakan-teriakannya. Lebih-lebih, sangat dimanfaatkan mereka jika perbaikan-perbaikan
jalan dilalui kita pada saat malam hari atau di jalanan-jalanan yang sepi. Pada
posisi tersebut, mereka seakan begitu memanfaatkan untuk memeras. Tentu sangat
meresahkan. Mengingat, tidak banyak uluran-uluran tangan aparat Polisi yang menjangkau
lalu lintas yang kita temui pada posisi semacam itu. Apalagi malam hari,
sungguh sangat sedikit. Namun kita pun tak bisa menyalahkan. Barang tentu
memang belum begitu banyak aparat penegak lalu lintas kita, mengingat negeri
ini sangat luas. Masih banyak pula jalan-jalan kota, jalan-jalan daerah-daerah
di negeri ini yang masih kerap rusak dan selalu ada perbaikan. Bahkan, masih
banyak pula jalanan pedalaman yang masih bobrok. Di situlah, mereka para oknum
yang berniat jahat mulai beraksi dengan berjuta dalih demi mendapatkan
keberuntungan-keberuntungan, yang bagi mereka sangat mengasyikkan.
Keberadaan
Pak Ogah hingga saat ini seakan masih terbelah antara dirindukan dan dicaci.
Barang tentu, bagi para Polisi Cepek tersebut merasa sangat menguntungkan,
sebab menjadi sebuah lapangan kerja tersendiri. Misal saja mengenai pengisahan Wawan
(27) perantau dari Surabaya, yang saya kutip dari perbincangan dari salah satu
media sosial. Dikisahkan Wawan yang sehari-harinya beroperasi di perempatan
sebuah ruas jalan di Cilincing, Jakarta Utara. Ia bersama 3 orang temannya
sudah setahun beroperasi. Diakui menjalani profesi tersebut karena tidak
mempunyai pekerjaan lain setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai buruh
pabrik di Jakarta Barat. Wawan dan ketiga temannya mengaku senang dengan
penghasilan dari mengatur lalu lintas kendaraan di persimpangan yang cukup
ramai tersebut. “Kalo dihitung-hitung mah lumayan banget. Apalagi saya setiap
hari emang di sini. Enggak pernah bolos, kecuali kalau emang sakit,” tutur
Wawan. Bersama ketiga temannya, Wawan berpenghasilan 60 ribu sehari dalam waktu
2 jam. Jadi sehari mereka bisa dapat kesempatan 2 kali (pagi dan sore) atau 4
jam, maka kisaran rata-rata penghasilannya mencapai 120 ribu dalam sehari. Sungguh
lumaan menguntungkan bagi mereka. Doa mereka, tentu ingin selalu jalanan ramai.
Namun tetap saja, segala itu masih kita tunggu bagaimana pemerintah memiliki
upaya mulia untuk menyelesaikannya. Penghakiman yang tepat dan tidak merugikan
bagi siapa saja. Utamanya, tidak merugikan pula bagi para Polisi Cepek
tersebut. Semoga.***
─Setia Naka Andrian,
Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April
2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.
Selasa, 03 Mei 2016
Balutan “Luka” di Balik Perayaan Laut
Sebuah Catatan Pendek atas
Kumpulan Puisi Setia Naka Andrian *)
Oleh Sawali Tuhusetya
Sebagai
sebuah produk budaya, teks sastra tak pernah terlahir dalam situasi kosong. Ia
berkelindan dengan berbagai persoalan dan dinamika sosial yang terjadi di
seputar kehidupan sang sastrawan. Tidak berlebihan apabila teks sastra tak pernah
diam; ia terus menyuarakan luka, derita, bahkan juga kegelisahan sang
sastrawan. Teks sastra, dalam konteks demikian, bisa dijadikan sebagai medium
sang sastrawan dalam menyuarakan kegelisahan, luka, dan derita yang mengendap
dalam ruang batinnya.
Demikian
juga halnya dengan teks puisi. Sebagai genre sastra, teks puisi juga tak pernah
hadir dalam situasi kosong. Ia senantiasa mengusung berbagai persoalan yang
berkelindan dalam diri personal sang penyair (jagat cilik) dan
berbagai dinamika sosial yang terjadi di seputar kehidupan sang penyair (jagat gedhe). Melalui kepekaan intuitifnya, sang
penyair senantiasa terlibat dalam pergulatan kreatif untuk menyuarakan
kegelisahan yang mengerak dalam gendang nuraninya. Melalui bahasa sebagai
medium utama dalam berekspresi, sang penyair melakukan transpirasi total
kepenyairan sesuai dengan gaya tutur dan licentia poetica yang dimilikinya. Dalam proses pergulatan
kreatif yang semacam itu lahirlah berbagai genre puisi dengan corak khasnya
masing-masing.
Puisi-puisi
karya Setia Naka Andrian (SNA) yang terkumpul dalam Perayaan Laut (PL)
pun –dalam penafsiran awam saya– tak luput dari pergulatan yang semacam itu.
SNA dengan amat sadar memilih puisi sebagai teks yang dianggap tepat untuk
memberikan “kesaksian” dan menyuarakan kegelisahan yang mengendap dalam ruang
batinnya. Kepiawaian dalam merawi kosakata, idiom, atau langgam bahasa agaknya
dimanfaatkan benar untuk mengekspresikan berbagai persoalan yang bernaung di
bawah jagat
cilik dan jagat gedhe yang membayang dalam gendang
nuraninya. Tak berlebihan kalau sejumlah puisi yang terantologikan dalam PL menyiratkan
berbagai persoalan personal dan sosial yang menggelisahkan nuraninya; semacam
cinta, idealisme, religi, atau hajat kehidupan yang yang lain.
Tema yang
didedahkan dalam setiap puisinya pun tidak terjebak dalam narasi-narasi besar
yang berambisi kuat untuk melakukan sebuah perubahan. SNA lebih suka mengakrabi
persolan-persoalan keseharian yang seringkali luput dari perhatian banyak
orang. SNA agaknya sangat menikmati betul ketika sedang berproses kreatif.
Tema-tema keseharian yang diangkatnya justru mampu menumbuhkan imaji-imaji
“liar” dan mencengangkan. Ibarat orang mau memetik mangga, ia tidak langsung
melemparnya dengan batu, tetapi ia panjat dengan penuh kenikmatan sambil
merapal mantra-mantra suci yang dianggap mampu menjadi sugesti untuk
mendapatkan buah mangga yang diinginkannya. Dalam proses semacam inilah, SNA
menemukan berbagai imaji dari “dunia lain” yang dianggap “liar” dan
“mencengangkan”.
***
Jika ditilik
dari muatan isi, 74 puisi yang terkumpul dalam anotologi PL sesungguhnya
merupakan kisah tali-temali antara jagat cilik dan jagat gedhe yang yang bernaung-turba dalam
kehidupan SNA. Sebagai sosok anak manusia yang secara biologis memiliki naluri
sebagaimana makhluk Tuhan yang lain, SNA tak luput dari kisah pergulatan dengan
masa depan yang “disembunyikan”, percintaannya dengan lawan jenis (fa?),
aktivitasnya sebagai awak Teater Gema, hubungan kekerabatan dengan
sanak-saudara, atau berbagai respon dan “kesaksian”-nya terhadap berbagai
fenomena sosial yang mencuat ke permukaan.
Melalui
kelincahannya dalam bertutur dengan permainan metafora yang secara estetik
membuka ruang multitafsir, “keliaran” imaji yang mencengangkan tampak melalui
dekonstruksi logika yang secara diametral sangat kontradiktif dengan logika
awam. Simak saja: //Para masa depan terlihat lelah yang berjamaah/para masa depan
mengantuk/lalu kita giring mereka pulang ke rumah/Kita ajak para masa depan
untuk minum susu/kemudian mengajak mereka bergegas ke kamar mandi// (“Masa
Depan yang Kelelahan”: 93); //kau pasti akan selalu gemetar/setiap mendengar kabar dari
rumah/setiap pagi, ponselmu berkeringat/tak segan memukul mata dan telingamu// (“Perempuan
Rantau”: 82); //Hari-hari telah sepakat/menjatuhkan bibir kita
di laut/agar ikan-ikan semakin gemar/menidurkan petaka kita/dan membunuhnya
pelan-pelan/dengan penuh ciuman// (“Perayaan Laut”: 72); //Hujan, maukah kau menjadi temanku/pagi ini sungai terlanjur
menggantung dirinya/di atap kamar// (“Hujan,
Maukah Kau Jadi Temanku”: 64).
Sebagai
pemilik “kemerdekaan berekspresi”, tentu sah-sah saja SNA melakukan proses
dekonstruksi logika untuk menciptakan metafora dalam menggarap persoalan yang
dipuisikannya. Ia tidak harus mengikuti arus metafora “mainstream” yang sering
didaur-ulang untuk menciptakan kekuatan dan daya estetik. Persoalan apakah
puisinya bisa dipahami orang lain atau tidak, itu soal lain. “Pulchrum dicitur
id apprensio”, begitulah kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang
berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa
keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Begitulah,
pergulatan kreatif SNA sudah tertunaikan ketika ia berhasil merawinya ke dalam
sebuah teks puisi.
Yang tidak
kalah menarik, selalu saja ada balutan “luka” yang membayang dalam sebagian
besar puisi SNA. Simak saja pada puisi bertitel “Bidadari Tidur dalam Kitab
Suci” (:11), “Beberapa Nama yang Sering Muncul di Ponselmu” (:25), “Untuk
Pernikahan yang Tak Sebatas Ciuman” (:27), “Kaki dan Kenangan Kita yang
Terpisah-pisah” (:29), “Dari Perempuan Elegan hingga Perempuan Es Degan” (:34),
“Kita Lahir dari Musim yang Bersebelahan” (:36), “Takdir yang Mempertemukan
Kita” (:38), “Seorang Pemuda di Hati Kita” (:43), “Ada yang Tenggelam di Balik
Rel Kereta” (:44), “Perihal Sandiwara” (:47), “Munajat Air Mata” (:52),
“Tabrakan” (:55), “Seorang Luka” (:57), “Perempuan Berhati Kaca” (:58), “Rindu”
(:61), “Lampu Merah” (:62), “Kehidupan Aneh di Balik Jendela” (:63), “Hujan,
Maukah Kau Jadi Temanku” (:64), “Negeri Berhidung Panjang” (:66), “Perayaan
Laut” (:72), “Perempuan yang Ingin Menjadi Kereta” (:75), atau “Kematian
Hari-hari yang Menjadi Kamarmu” (:80).
Meski
bertutur tentang “luka”, puisi-puisi tersebut tidak lantas terjebak dalam
ungkapan-ungkapan vulgar yang sarat dengan sumpah serapah. Melalui permainan
metaforanya, “luka” dibalut dalam kemasan bahasa tutur yang subtil dan lembut. //kau terus membayangi
perjalananku/yang semakin subuh mendoakan cinta-cinta/kepada para tetangga yang
sedang asyik menyeruput malapetaka dalam rahim istrinya// (:25),
//dan orang-orang di sekitar kita/akan membaca hikayat kematiannya
masing-masing/yang selalu bermula-mula/karena kesepakatan kita/adalah doa
pertanggungjawaban lupa// (:27), //Begitulah takdir, mempertemukan
kita/dari perjalanan dan pengkhianatan-pengkhianatan/Ia yang membawa kita
menelusuri jejak dan luka-luka// (:38), atau //hendak
kau kirim ke mana lagi/air matamu/lihatlah, sungai tiba-tiba dangkal/kesedihan
meriwayatkan senyumnya/sebab keridaan tlah tak berpenghuni,/mereka bunuh
diri/menggantung kakinya/setinggi-tinggi di atas kepala// (:52).
“Luka”
dalam PL agaknya bukanlah fokus dan basis utama
SNA dalam berproses kreatif. “Luka” lahir sebagai bagian dari “digresi”
pemaknaan arus hidup yang mustahil dihindarinya ketika luka-luka peradaban
masih menganga di tengah panggung kehidupan sosial. SNA hanya sekadar
mewartakan dan memberikan kesaksian tentang “luka” yang memfosil dalam ceruk
kehidupan umat manusia yang belum sepenuhnya terpotong oleh sejarah. Balutan
“luka” dalam konteks PL juga
bisa dimaknai sebagai pengejawantahan totalitas sikap SNA yang ingin tetap
“setia” pada jalur kepenyairan yang “khas” menjadi miliknya; bertutur tentang
persoalan apa pun, metafora tetap menjadi bagian esensial dalam sebuah teks
puisi. Dengan kata lain, esensi puisi sebagai teks sastra akan kehilangan
“roh”-nya apabila menanggalkan bahasa sebagai medium utama dalam membangun
kekuatan dan daya estetika.
***
Sebagai
sebuah catatan pendek, tulisan ini mustahil dapat menampilkan telaah secara
utuh dan lengkap terhadap puisi-puisi SNA dalam PL. Masih
banyak aspek dan unsur yang terabaikan. Menelaah puisi SNA membutuhkan
kecermatan interteks secara intens. Saya berharap catatan pendek ini bisa
dilengkapi melalui diskusi bersama.
Nah,
selamat berdiskusi!
***
—————————————————–
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)
*) Disajikan dalam “Bedah Buku Puisi Perayaan Laut Karya Setia Naka Andrian” pada Selasa, 17 Mei 2016 (pukul 19.00-selesai) di Kedai Kopi Jakerham, Sekopek, Kaliwungu” yang digelar oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)
Sumber: http://sawali.info/2016/05/18/balutan-luka-di-balik-perayaan-laut/
Kartini dan Keajaiban Surat (Wawasan, 25 April 2016)
Kartini dan Keajaiban Surat
Oleh Setia
Naka Andrian
Bulan
April, seakan kerap kali menjadi beban kita saat ini. Berat rasanya jika kita
mengenang momen mulia yang setiap tahun diperingati ini hanya sebatas selebrasi
semata, tanpa ada upaya pemuliaan-pemuliaan di dalamnya. Kita tentu paham, ada
banyak upaya besar yang disuarakan RA. Kartini pada masa itu, hingga saat ini
berdampak besar bagi bangsa kita ini, khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya
saja surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Surat-surat
yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat kita saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Kartini dalam sebagian besar
surat-suratnya mengisahkan keluhan dan gugatan-gugatan, di antaranya perihal budaya
di Jawa yang seolah-olah menghambat kemajuan perempuan. Misalnya saja terkait keterbatasan
pemerolehan pendidikan bagi kaum perempuan.
Selepas
Kartini wafat, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa tersebut. Abendanon saat itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda. Buku tersebut berjudul Door
Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya" (terbit 1911). Buku dicetak lima
kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Selanjutnya pada
tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa
Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang:
Boeah Pikiran”, diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938,
keluarlah kembali "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi Armijn Pane (Sastrawann Pujangga Baru). Surat-surat Kartini semakin
diminati di mana-mana, hingga akhirnya juga pernah terbit dalam bahasa Inggris
yang diterjemahkan Agnes L. Symmers. Selain itu, juga pernah diterjemahkan
dalam daerah, yakni bahasa Jawa dan Sunda.
Hingga
kini, kita tentu selalu mengingat, sejak kita masih duduk di bangku SD,
kelahiran Kartini selalu diperingati. Setiap tahun, Jepara dan 21 April selalu
terngiang-ngiang di benak kita. Walau usia hidupnya hanya seperempat abad (25
tahun) namun hal besar telah dicapai. Kartini diriwayatkan sebagai seorang
tokoh perempuan Jawa yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Putri R.M.
Sosroningrat dan pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini
memberi angin segar bagi kaum perempuan. Ia sepenuhnya memperjuangan perempuan
agar memperoleh kebebasan-kebebasan, berotonomi dan memperoleh persamaan hukum setara
dengan laki-laki. Hingga dampak besar dapat kita simak saat ini,
pemimpin-pemimpin di negeri kita ini dari mulai kepala desa, kepala daerah,
bahkan kepala negara sempat dipimpin oleh kaum perempuan.
Barangkali,
baru kali itu terdapat surat-surat seorang perempuan pribumi yang begitu menarik
perhatian masyarakat Belanda. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang
dilambungkan Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
perempuan pribumi di Jawa. Kartini mengubah pandangan kita terhadap perempuan.
Kita semakin meyakini dan mengamini keberadaan mereka. Bahkan suatu ketika jika
perempuan begitu menakjubkan dalam sikap laku dan gerak berkehidupan, kita
begitu percaya hingga mengangkat tinggi posisi mereka di atas kita. Kita sangat
yakin, pemikiran-pemikiran Kartini begitu menginspirasi generasi kita. Namun
apakah segala itu hanya mampu kita kenang begitu saja. Kita rayakan setiap
tahun. Kita ledakkan setiap April. Sedangkan jika sejenak kita kontemplasikan
kecil-kecilan, kita saat ini sudah terasa malas menarasikan segala yang kita
keluhkan dan yang kita gelisahkan dalam berkehidupan ini.
Kita
seakan malas beranjak untuk mencatat hal-hal kecil di sekitar kita, dan barangkali
segala yang kita anggap kecil itu belum tentu hal kecil pula di mata
orang-orang. Kita lebih memilih berdiam di kamar, mendekam dalam kondisi paling
sepi, berpeluk gawai, lalu berkicau di beberapa media sosial, bercakap-cakap
dengan beberapa teman melalui pesan pribadi, begitu serampangan, tak terarah,
dan pasti tak terdokumentasikan. Kita terkadang tak merasa, begitu berarti
pengisahan-pengisahan semacam yang dilakukan Kartini pada masa itu. Ia begitu
rajin menulis surat-surat untuk teman-temannya di Eropa, terkait segala yang
digelisahkannya tentang kehidupan perempuan pribumi yang masih begitu banyak
pengekangan-pengekangan, misalnya. Kaum perempuan yang belum memiliki persamaan
hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Walaupun
begitu, perjuangan-perjuangan perempuan terhadap kaumnya hingga saat ini masih
terus digaungkan, misalnya saja pengisahan Dewi Nova yang begitu memperjuangkan
diri, keluarga, dan anak-anaknya, dalam buku kumpulan cerita pendeknya, Perempuan Kopi (2012), dalam penggalan
cerpennya, Belum tuntas khotbah pagi itu,
suara gergaji mesin di kebun kopi menghentak jemaat. Beberapa nama menjerit,
menangis berguling-guling, seolah gergaji itu merobek tubuh mereka. Anak-anak
menangis kencang ketakutan, dipeluk erat ibu mereka. Melalui sepenggal
pengisahan tersebut, kita seakan disuguhkan kenyataan hidup kita yang masih
lekat dengan posisi perjuangan kaum perempuan (ibu) yang tiada batas. Pada
segala lapis kehidupan kita, sampai kapanpun posisi perempuan masih selalu kita
perhitungkan.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan
Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.
Rabu, 30 Maret 2016
Digitalisasi Ojek dan Taksi (Wawasan, 30 Maret 2016)
Digitalisasi Ojek dan Taksi
Oleh Setia
Naka Andrian
Tentu
kita sangat menyadari, betapa kian hari, diri kita ini semakin malas beranjak
dari titik aman dan kenyamanan. Seakan rasa-rasanya diri kita ini ingin
dilayani segalanya, diantar, dibelikan, semua diimpikan datang sendiri ke hadapan
kita. Seperti halnya akhir-akhir ini marak diperbincangkan kontroversi Gojek,
kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi bagi pelanggan taksi.
Keduanya serupa, seolah memanjakan diri kita dengan segenap kemudahan-kemudahan
dalam berkehidupan. Sama-sama memanfaatkan aplikasi dalam hal pelayanan kepada
para pelanggan.
Sempat
dikabarkan di merdeka.com terkait kabar
aplikasi pemesanan Gojek yang menjadi sorotan berbagai pihak. Berawal dari
sikap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendukung para
tukang ojek untuk bergabung dengan aplikasi tersebut. Sontak, sikap Ahok itu
dikritik oleh Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan. Ditimpali
tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan
Umum Orang dan Barang, yakni sepeda motor bukan diperuntukkan sebagai angkutan
umum orang dan barang. Lalu bagaimana dengan kemunculan digitalisasi pelanggan
taksi, apa lagi timpalan yang akan mendarat sebagai dalih pembelaan terhadap
gerak konvensional yang sudah lazim mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun?
Sebelum
kemunculan kedua ‘momok’ bagi para tukang ojek dan sopir taksi ‘konvensional’,
sebenarnya telah banyak beredar berbagai usaha jasa yang disertai dengan jemput
dan antar barang. Misalnya saja, jasa fotokopi atau mencetak (printing)
dokumen. Para pelanggan dimudahkan dengan dijemput orderannya, hingga setelah
orderan jadi akan diantarkan kembali kepada pelanggan. Hal tersebut tentu
sangat dekat dengan kita, terutama bagi para mahasiswa/karyawan yang tinggal indekos.
Jasa cuci pakaian dilayani dengan begitu manjanya, pakaian kotor dijemput,
setelah selesai dicuci, dikeringkan bahkan hingga diberi pewangi dan sudah
setrika baru diantarkan kembali.
Masyarakat dan
Peralihan
Jika
dihadapkan pada peralihan semacam ini, pastilah di antara kita tidak sedikit
yang menggunjingi atau bahkan berteriak selantang-lantangnya. Padahal, mau atau
tidak mau, segalanya pasti akan berubah. Cepat atau lambat, kita akan hanya
semakin disiksa jika kita tidak berupaya menatap dunia peralihan yang kian hari
mengguyur diri dan kehidupan kita.
Tiada
di antara kita yang kuasa menghentikan waktu. Bahkan jika kita berupaya untuk
menolah perubahan, pastilah yang kita rasakan malah seakan waktu semakin kejam
menenggelamkan diri kita dalam kubangan kecemasan yang panjang. Gerak waktu tak
pernah mau berhenti, semakin dilawan, ia akan semakin cepat memutar jarumnya. Selanjutnya
kita hanya akan merasa sangat berkesusahan. Kita menjadi sangat gelisah, jika
ada hal-hal baru atau segala sesuatu yang mendahului kita.
Segala
ini tentu menjadi persoalan yang tak pernah selesai. Jika diri kita masih
merasa sebagai orang-orang yang terlalu mendewakan masa lalu yang begitu lazim
dalam setiap gerak mengamini dan mengimani aktivitas berkehidupan. Kita tentu
ingat, bagaimana pengisahan Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan
digitalisasi pelanggan taksi yang sama-sama berdalih mempermudah bahkan
merajakan pelanggan. Semua dianggap sebagai pemberangusan kelaziman dan gerak
konvensional kehidupan kita.
Lalu,
kita akan merasa bahwa peralihan ini akan memojokkan bahkan bisa membunuh para
pekerja konvensional yang telah berpuluh-puluh tahun dilakukan tukang ojek dan
sopir-sopir taksi. Namun, apa daya kita, jika sesungguhnya diri kita sendiri,
diri pelanggan mereka sendirilah terasa mengamini dan begitu membanggakan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tersebut. Memang benar pula, ada kalanya
kita tetap harus mendukung, perjuangan dan segala upaya yang dilakukan oleh
pelaku konvensional, walaupun sudah semestinya, semuanya sama-sama memiliki
pelanggan. Sama-sama memperoleh bagiannya masing-masing. Kita tentu yakin,
tidak sedikit masyarakat kita yang belum menggunakan ponsel-ponsel pintar,
tidak sedikit pula di antara orang-orang tua di sekitar kita yang masih merasa
bertahun-tahun kesulitan beradaptasi dengan gadget
di genggam tangannya.
Saya
ingat, terkait pengisahan Scott Lash (1990), bahwasanya dalam beberapa
dasawarsa sekitar pergantian abad menuju abad dua puluh, kehidupan kultural
dalam kota-kota di dunia belahan Barat perlahan mulai berubah. Sifat dan arti
perubahan pun menjadi salah satu pertanyaan yang ada dalam inti perdebatan
sepanjang zaman, misalnya hingga saat ini mengenai modernitas dan modernisme.
Tentu kita yakin, di belahan dunia mana pun megalami masa-masa peralihan yang
serupa yang kita alami ini. Pelan-pelan, segalanya akan digiring menuju gerak
digitalisasi yang membuat sebagian oang di sekitar kita merasa geram.
Semua
seolah diharuskan menyelami dunia digital. Misal saja yang berkembang di
segenap lembaga pemerintahan, perpajakan, lembaga pendidikan, dan lain
sebagainya, semua diharuskan melaporkan hasil kerja, melaporkan proses hingga
penilaian pembelajaran, dan semua harus direkam secara detail di laman yang
sudah disediakan. Tentu segala ini bukanlah semacam gerakan subversif. Fenomena
ini dapat kita yakini sebagai takdir dari zaman yang semakin bergerak, bergerak
dan bahkan berlari. Mau tidak mau, cepat atau lambat, kita tetap akan
menyinggahinya. Begitu.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama,
“Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.
Kamis, 24 Maret 2016
Urbanisme dan Riwayat Kampung (Wawasan, 23 Maret 2016)
Urbanisme dan Riwayat Kampung
Oleh Setia
Naka Andrian
Ingatan
saya membuka lebar menuju beberapa lagu-lagu terkait urbanisme, di antaranya Tunggu Aku di Jakarta (Sheila on 7), Sapa Suruh Datang Jakarta (Melky
Goeslaw), serta Preman Urban (Slank),
ketika menjadi salah satu saksi pemanggungan teater yang digelar Teater Gema di
Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang, Rabu (16/3). Mereka menggarap
lakon Ronggeng Keramat (RK) karya Eko
Tunas yang disutradarai oleh Alfiyanto (Komunitas Panggung Semarang). Panggung
teater diciptakan sedemikian rupa, bersikeras meyakinkan diri dan berupaya
menyuarakan teater sebagai sebuah peristiwa. Mereka coba tunaikan tugas besar
untuk menjaga peristiwa dengan memproduksi teater dari lakon yang meriwayatkan
kampung serta kehidupan urban.
Jakarta
dan kampung halaman menjadi dua sisi mata uang yang saling berseberangan.
Jakarta menjadi kota impian untuk memanjangkan iman tentang upaya mengubah
kehidupan menjadi lebih baik dalam tataran ekonomi. Sedangkan kampung,
diriwayatkan sebagai tubuh yang masih alami, segala sesuatunya terasa manual,
lambat dan jauh dari kemajuan-kemajuan, hingga ditakdirkan sebagai tempat yang
serba sulit untuk memperoleh banyak uang (pekerjaan). Dalam cerita, dikisahkan
Dukuh Keramat yang masih alami, penuh aroma bunga melati yang menjadi khas
kampung dan dicita-citakan memberi kemakmuran. Namun ternyata segalanya tidak
sesuai yang diimpikan,
Dalam
lagu Sheila on 7, setidaknya melambungkan keyakinan Jakarya sebagai kota penancap
mimpi. Penggalan syairnya, Tunggulah aku,
di Jakarta mu. Tempat labuhan, semua mimpiku. Seperti halnya dalam lakon RK
ini, Paijo dan Paimin, pada awal pertunjukan digambarkan sebagai warga kampung Dukuh
Keramat yang hendak hijrah ke kota dengan mimpinya untuk memperoleh kemakmuran.
Namun sebaliknya, ada penggambaran lain yang berkebalikan dengan Paimin dan
Paijo. Terdapat dua tokoh, Raden Bos dan Katak. Keduanya merupakan kaum kota
yang berkeinginan menguasai kampung.
Raden
Bos, dalam kisahnya ditakdirkan sebagai orang yang sangat kaya raya, ia
memiliki kekuasaan, dan Katak sebagai orang kepercayaannya. Mereka berdua
berpikir bagaimana menciptakan surga buatan di kampung. Dengan dalih ‘negatif’
menyelamatkan kesenian kampung (ronggeng), mereka ciptakan tempat-tempat
hiburan dan perempuan-perempuang ronggeng sebagi objek pemuas nafsu para
pelanggan. Pada akhirnya, Raden Bos merasa telah memiliki segalanya, dari mulai
harta, tahla, hingga akhirnya wanita menjadi titik akhir keruntuhannya. Raden Bos
menyerahkan kekuasaan dan segala hartanya untuk orang kepercayaannya, Katak. Termasuk
juga senjata, sebagai simbol kemenangan atas kekuasaan dalam pengisahan lakon. Akhirnya,
saat Raden Bos sedang lengah dengan wanita-wanitanya (para ronggeng), ia mati
ditangan Katak, ditembak dengan menggunakan senjata yang dimiliki Raden Bos
sendiri.
Isu Urban dan
Teater Modern
Isu-isu
urbanisme, setidaknya menjadi garapan yang cukup menggairahkan bagi
teater-teater modern (kontemporer) saat ini. Teater yang membentuk ingatan dan
makna baru dalam setiap gagasan dalam garapan-garapannya mengenai takdir sebuah
kota serta kekejaman-kekejamannya. Seperti pengisahan Radhar Panca Dahana
(2001), teater modern menjadi teater yang berada di kota besar, menggunakan
meode-metode kerja yang serupa yang serupa dengan teater di Barat, serta
memiliki kebebasan fakultatif dalam proses kreatif maupun pemilihan
idiom-idiomnya. Sebut saja, Teater Sae, Teater Koma, Teater Mandiri, Teater
Garasi.
Barang
tentu, proses penciptaan teater bagi para pembuat teater sangat berpengaruh
gerak zaman yang selalu menjadi langkah dan pijakan manusia dalam menciptakan
penanda kehidupan dan lingkungannya. Bahkan, persoalan kekalahan, kegagalan,
kemuraman, menjadi dalih memperoleh keimanan kita dalam menyimak takdir
panggung teater yang seolah-olah ‘sesungguhnya’. Seperti halnya kegagalan Paimin
dan Paijo, setelah berjuang di Jakarta, ternyata segalanya sangat tidak sesuai
dengan yang mereka bayangkan dan mereka impikan sebelumnya. Jakarta menjadi
tempat yang suram.
Dalam
dialog, mereka mengeluhkan, “Di Jakarta, kita ini kayak coro-coro saja ya!”
(Kayak coro-coro: seperti para kecoa). Itu bukti, bahka kota telah
menelantarkan mereka. Hal ini seperti yang disuarakan Slank dalam lagunya Preman Urban yang mengisahkan teman dari
desa yang berniat mengejar mimpi di Jakarta. Syairnya, temanku seorang pengembara, yang datang dari timur negeri ini. Mencoba
mengadu nasib di Jakarta, karena di desa kelahirannya susah mengejar mimpi.
Melki
Goeslaw pun seolah turut menyalahkan juga dalam lagunya, Sapa Suru Datang Jakarta. Berikut penggalan syairnya, Ado kasian yeng mama. Jauh-jauh merantau
mancari hidup mama. Nasib tidak beruntung. Siang dan malam yeng mama. Jalan
kesana kemari. Sanak saudara mama. Semua tidak peduli. Sapa suru datang Jakarta.
Hingga pada akhir cerita, Paimin dan Paijo berkeinginan untuk pulang
kampung, karena merasa kota tidak memberikan apa-apa, kota telah menelantarkan
mereka. Setelah sampai di kampung Dukuh Keramat, mereka kaget, semua telah
berubah. Tidak lagi mereka temukan aroma melati, yang dulu menjadi aroma khas
Dukuh Keramat. Kampung tumbuh menjadi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Kampung
tak lagi mampu mengisahkan dirinya sebagai ruang gerak berkemanusiaan yang
selalu dirindukan.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan
Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.
Langganan:
Postingan (Atom)