Sejak Langit Merah
Sejak langit merah
Kita seakan tidur di hari paling terjaga
Betapa tidak,
Rumah-rumah kita begitu cepat
berubah-ubah warna
Kita, kian hari merasa tiada daya
Melihat doa dan janji
yang seakan tiada beda rupa-rupanya
Seperti dada kita yang mekar
dan kempis tiba-tiba
Serupa diri kita yang bising
Lalu tiba-tiba hening dengan terpaksa
Seakan menjadi paling rahasia
Mimpi dan masa depan kita dibeli
Dengan peluru pula,
dengan begitu tragis dan tiba-tiba
Kita lihat bersama,
hari-hari semakin sia-sia saja,
katamu,
Lalu kau merasa asing dengan diri sendiri
Suaramu seakan lantang,
ditanam dengan dalih yang beterbangan
Tubuhmu seolah membara,
Dihidupkan di depan speaker
yang meledakkan janji belaka
Dan perabotan kotor yang menumpuk
Ditumbuhkan paksa di dada-dada kita
Lalu selanjutnya,
kita seakan dibuat sangat butuh tangan mereka
Menunggu renovasi dapur
Menanti tanda tangan dan stempel
Hingga semua semakin tak berujung-ujung
Sejak langit merah
Di dapur, kita kian sengsara
Bumbu-bumbunya dipalsu di mana-mana
Aroma rempah yang dulu tak bersekat di lidah
kita
Kini seakan mati-matian untuk meminangnya
Lihatlah pula, halaman dan ladang rumah kita
Pelan-pelan disapu habis
Kita seakan semakin dipisahkan
dengan milik kita sendiri
Sejak langit merah
Kita seakan sering mengendarai
ibu kandung kita sendiri
Lalu di luar sana banyak yang bertanya,
Tunggangan seperti apa ibumu itu?
Bukankah kau yang dikendarainya?
Lihat saja, jarak dan ingatan,
kian hari semakin fiktif-fiktif saja
dalam hitungan-hitungan tak terduga
Lalu kini kita tiada berkeputusan,
Merah ini, warna-warna rumah kita kini
Semakin tiada bermuara,
Tak pernah benar menembus dada kita,
Apa lagi nurani
yang sering digemborkan
di panggung-panggung mereka
Kendal, Agustus 2016
Pesan Ibu
Sekolahlah, Nak
Agar kelak kau hidup mulia
Kau akan membalik diri sendiri
Di atas telapak tanganmu sendiri
Selepas orang lain lari pagi
Kau akan hangat pula
Dengan degub dadamu sendiri
Sekolahlah, Nak
Agar kelak kau mampu mandi
Kau akan mengerti,
Jika pagi-pagi akan tinggal serumah
dengan sore hari
Dan kau akan tersenyum manis
Melihat tanganmu sendiri
yang mengaduk secangkir kopi
Sekolahlah, Nak
Sebelum hari-harimu kacau
Memilih hidup tanpa nyali
Tinggal serumah dengan sejarah
Yang kata mereka sungguh tak pasti
Masa lalu yang terus dibuat-buat
Diulang-ulang di sepanjang momen negeri paling
ngeri
Sepanjang tahun,
kau akan kebingungan memilih mana yang pasti
Lalu akhirnya kau akan lebih sepakat
dengan jalan mati bunuh diri
Kendal, Agustus 2016