Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Kamis, 19 Januari 2017
Rabu, 18 Januari 2017
Narasi 'Miring' Pendidikan Kita (Wawasan, 18 Januari 2017)
Narasi ‘Miring’ Pendidikan
Kita
Oleh Setia
Naka Andrian
Lagi-lagi
ada kasus yang mencoreng pendidikan kita. Sepertinya tidak pernah ada
henti-hentinya persoalan menyelimuti pendidikan kita. Jika tidak persoalan dari
dalam, ada masalah terkait kekerasan terhadap siswa yang dilakukan guru, dan yang dilakukan wali murid terhadap guru.
Selanjutnya baru-baru ini masih ada saja didapati hukuman fisik terhadap siswa kita.
Mereka terlambat masuk sekolah, lalu diberi hukuman fisik di bawah guyuran
hujan deras. Akhirnya membuat mereka tumbang pingsan dan harus menjalani
perawatan di puskesmas dan rumah sakit.
Melihat
kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak
sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan
kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional
kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan
bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa
pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak
seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan
bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan
jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika
masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah
tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang
membosankan, keras, dan menakutkan.
Butuh Pendidikan
Ideal
Masyarakat
kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan
yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya
Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang
bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan
kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak
lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan
(keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang
mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis,
seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku
harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita
pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih
bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas
kapal pelayaran pendidikan.
Kita
semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak
didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda
dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita
saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah
terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman
sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat
ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi
tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak
didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu
kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya,
anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli
yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.
Memberi "Nilai Lain"
Terkait
berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang
berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu
menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani
proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling
tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu
memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya.
Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran
semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya
yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan
kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam
kegiatan positif lainnya.
Setidaknya,
godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses
di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan
mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali
ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak
didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang
mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai
berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik
ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***
─Setia Naka
Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016)
dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi “Manusia Alarm”.
Selasa, 10 Januari 2017
Narasi Bus Masyarakat Kita (Wawasan, 10 Januari 2017)
Narasi Bus Masyarakat Kita
Oleh Setia Naka Andrian
Kita
tentu paham, transportasi umum di negeri ini tentu masih meriwayatkan berderet
persoalan yang belum kunjung selesai. Terutama di Semarang. Meskipun Pemerintah
Kota (Pemkot) telah menciptakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang dengan patokan
tarif yang begitu murah, sekali jalan hanya dengan biaya umum Rp 3.500, dan
pelajar hanya Rp 1.000. Namun masih saja menyisakan pekerjaan rumah yang
dilontarkan masyarakat. Misalnya saja terkait kenyamanan, ketersediaan bus,
serta jalur operasi.
Wali
Kota Semarang, Hendar Prihadi (Radar Semarang, Minggu, 8/1) mengungkapkan bahwa
pihaknya terinspirasi atas peristiwa ‘Om Telolet Om’ untuk menarik minat
masyarakat agar beralih ke transportasi umum. Momen tersebut dimanfaatkan
Pemkot dengan meluncurkan armada baru. Godaan diberikan dengan sebanyak 20
armadanya dilengkapi dengan klakson telolet. Akan diluncurkan pada Kamis (12/1)
untuk Koridor I Mangkang - Penggaron. Selanjutnya, pada bulan Februari 2017,
akan diluncurkan armada Koridor V PRPP – Dinar Mas, dan Koridor VI Undip –
Unnes.
Upaya
penambahan armada bus BRT serta perbaikan lainnya yang dilakukan Pemkot
Semarang, tentu menjadi jalan tersendiri dalam rangka pemenuhan alat
transportasi umum yang memadahi. Hal tersebut tentu menjadi godaan tersendiri
dan akan membentuk mental masyarakat kita untuk lebih menggemari angkutan umum
daripada menggunakan kendaraan pribadi. Paling tidak, upaya tersebut akan
sedikit mengurangi beragam persoalan lalu lintas, termasuk kecelakaan dan
kemacetan di jalan raya.
Jika
kita simak saat ini, kemacetan yang menggila sudah tidak lagi menjadi milik
ibukota semata. Angka kecelakaan lalu lintas pun tiap tahun selalu meningkat. Kota-kota
lain seperti Semarang, kini turut serta meramaikan persoalan tersebut. Barang
tentu, kecelakaan, kemacetan, hingga kontak emosi bagi para pengguna jalan itu
sebagian besar disebabkan karena kepadatan arus kendaraan.
Tak Percaya Angkutan Umum
Selama
ini, masyarakat kita seakan tidak lagi percaya dengan keberadaan transportasi/angkutan
umum. Mereka berdalih, bahwa dengan menggunakan angkutan umum, perjalanan
mereka akan lebih lambat untuk sampai tujuan. Lebih lagi, perihal penyelenggara
jasa angkutan umum yang dinilai kerap kurang berpihak kepada masyarakat kita.
Serupa dengan sepenggal pengisahan God Bless dalam lagunya Bis Kota berikut.
Kulari mengejar laju bis kota.
Belomba-lomba saling berebutan. Tuk sekedar, mendapat tempat di sana. Kucari
dan terus kucari-cari. Namun semua kursi telah terisi dan akhirnya aku pun
harus berdiri. Bercampur dengan peluh semua orang. Dan bermacam aroma bikin
kupusing kepala. Serba salah, nafasku terasa sesak. Berimpitan berdesakan,
bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya. Kemanapun naik bis kota.
Dalam
lagu tersebut, begitu jelas bagaimana bus kota diriwayatkan. Berebut bus kota, kursi
penuh, serta bermacam aroma keringat yang membuat udara pengap. Hingga ditegaskan,
dengan terpaksa bus kota akhirnya hanya diminati orang-orang tak punya saja.
Dikisahkan oleh /rif, dalam pengisahan serupa, bus kota hanya dinikmati bagi
orang tak punya saja, Salah Jurusan. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup
untuk bayar bis. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis
kota. Ku terjepit dalam bis. Yang telah penuh beraneka aroma.
Lagu
berjudul Bis Kota yang dipopulerkan
Franky Sahilatua pun memberikan ruang pengisahan serupa mengenai bus kota.
Berikut syairnya, Berjalan di bawah
lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan. Di
hempas oleh bis kota. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang.
Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Bis kota
sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak
para penumpang yang bergantungan. Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya
yang panas. Debu-debu ramai beterbangan dihempas oleh bis kota.
Belum
lagi yang dikisahkan Slank dalam lagunya berjudul BMW. Kemacetan, kesumpekan, menjadi santapan masyarakat kita. Berikut
penggalan syairnya, Kebenaran mau rekaman
di Jack Sound. Naik bis dari Potlot ke Pluit. Jalanan berantakan, semberautan.
Agak sumpek, macet... Sore hari capek habis rekaman. Naik taksi dari Pluit ke
potlot. Biar cepat terpaksa lewat jalan tol. Tetap aje (uughhh) macet...
Beberapa
lagu tersebut, setidaknya telah mewakili seabrek riwayat persoalan transportasi
umum kita. Bus sebagai salah satu angkutan umum yang sesungguhnya diidamkan
masyarakat kita. Namun karena angkutan umum kita banyak menyisakan persoalan,
akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Mengakar Lama
Walaupun
sesungguhnya, narasi bus sudah begitu lama mengakar di benak masyarakat kita. Jika
kita tengok, misalnya saja pada anak-anak muda (remaja) sejak era 60-an, mereka
telah menggemari dan begitu akrab dengan narasi tentang bus. Hingga mereka
tergiring melalui pengisahan syair Koes Plus dalam lagu Bis Sekolah, dalam penggalan berikut. Bila ku pergi bersama kekasihku. Ku kan merasa gembira riang slalu. Bila
menunggu sendiri. Sendiri hatiku sunyi. Dan hatiku kan bernyanyi. Bernyanyi
lagu sepi. Bis sekolah yang kutungu. Kutunggu tiada yang datang. Ku telah lelah
berdiri. Berdiri menanti nanti.
Narasi
tentang bus bagi masyarakat kita, tentu telah meriwayatkan banyak hal. Dari
mulai kritik terhadap gerak roda transportasi, fenomena telolet yang menggila, upaya
pemerintah dalam menanggapinya, hingga pada wilayah keindonesiaan. Barang
tentu, cerminan masyarakat kita akan begitu nampak ketika berada di bus. Misalnya
saja, bagaimana penyikapan ‘kelelakian’ atau ‘kepemudaan’ masyarakat kita.
Bagaimana laku kita ketika melihat ada penumpang lain yang berjenis kelamin perempuan,
ibu-ibu yang menggendong anak, orang cacat, atau bahkan bagi penumpang yang
lebih tua. Kita akan tetap diam saja, pura-pura baca buku, pura-pura memejam
(mengantuk), atau kita relakan tempat duduk kita untuk mereka. Walaupun sudah
pasti, banyak tempelan di bus yang mengingatkan kita.***
─Setia
Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini
sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.
Selasa, 03 Januari 2017
Remang-Remang Kontemplasi
Ada
salah seorang teman bertanya kepada saya, "Kenapa kamu menulis?" Saya
jawab, "Karena saya bodoh." Lalu ia bertanya lagi, "Kenapa
bodoh, buktinya kau bisa menulis banyak hingga terkumpul menjadi buku?"
Saya jawab lagi, "Karena bibir saya terbatas, ingatan saya terbatas,
tenaga saya pula, usia saya tentu juga terbatas. Dengan tulisan, dengan karya,
segala itu setidaknya akan lebih memanjang."
Pembicaraan
kami pun terhenti. Kami sama-sama menyeruput kopi. Saya menghela napas, dalam
batin, "Paling tidak, selain kebodohan-kebodohan dan dosa-dosa, ada
karya-karya yang ditinggalkan di dunia ini."
Ini
kabar kecil, dalam waktu dekat ini, jika tidak akhir bulan Januari ya awal
bulan Februari. Saat-saat kalau tidak salah mendekati momen-momen hari
kelahiran saya. Maka, buku "Remang-Remang Kontemplasi" ini, kali
pertama akan diobrolkan di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir Sabranglor
Kaliwungu Kendal yang akan diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu.
Terkait waktu penyelenggaraan yang pasti, dan siapa saja yang akan didapuk
menjadi pemantik obrolan, nanti segera akan diunggah.
Monggo,
bagi siapa saja yang berminat hadir, bisa meluangkan sejenak waktunya untuk
berjabat sapa dengan kami. Jika berminat dengan buku setebal 250 halaman,
berisi tiga bagian: seni budaya, sastra, dan pendidikan, yang hendak diobrolkan
ini, silakan bisa inbox, atau sms/wa 085641010277. Harga buku 35 ribu. Terima
kasih. Salam.
Rabu, 14 Desember 2016
Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)
Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian
Saya
masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak
menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat
itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001. Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh
siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian
Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional
(1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam
perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada
terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai
jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses
sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan
dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi
terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional
tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika,
bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian
oleh guru kelas saya.
Bahkan,
saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester
akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata
pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak
diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang
dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan
siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari
ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran
yang semestinya.
Bayangkan,
pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi
hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada
masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan
mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD),
Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan.
Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu
pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan
pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu
untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan
ujian.
Orangtua
pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan
semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada
saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu,
saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak
ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga
akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari
bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap
pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden
Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit
tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak
sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana
yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu
peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus
benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi
tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan
dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka
hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu
masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita
semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing
untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan
buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang
terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang
sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti
dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta
tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti
halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola
pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya.
Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa
saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak
atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu
tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja
banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang
lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada.
Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi
siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu
sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati
tentunya. Semoga.
─Setia
Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini
sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.
Minggu, 23 Oktober 2016
Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi (Jawa Pos, 23 Oktober 2016)
Wakul Pustaka dan Godaan Berliterasi
Oleh Setia
Naka Andrian
Belakangan
tidak jarang dan begitu panjang diperdebatkan perihal dunia cetak dan digital.
Semua seakan memberikan riwayat masing-masing yang dirasa sama-sama kuat atas dua
hal tersebut.
Namun,
tetap saja buku-buku cetak, koran, atau majalah cetak tetap yang masih tetap
dan perlu diperjuangkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Komunitas
Lerengmedini (KLM) Boja Kendal Jawa Tengah.
Komunitas
sastra di daerah kecil di Lereng Kebun Teh Medini yang begitu intens dalam
program-program mulia dalam menggerakkan denyut sastra. Dari mulai Parade
Obrolan Sastra dan Kemah Sastra yang sudah digelar tahunan dengan menghadirkan
tokoh-tokoh sastra maestro, di antaranya Agus Noor, Ahmad Tohari, Remy Sylado,
Korrie Layun Rampan, Martin Aleida, Iman Budhi Santosa dan sederet sastrawan
lain.
Mereka
kerap menjalankan gerakan tersebut selama berhari-hari di Bumi Perkemahan Lereng
Medini. Menyuntuki buku, pentas baca puisi, hingga obrolan-obrolan kreatif yang
terus didengungkan di sana.
Itu pun
belum cukup atau menghentikan kegelisahan. Mereka buktikan, akhir-akhir ini KLM
tengah gencar-gencarnya menggalakkan program mulianya yang diberi nama Wakul Pustaka. Dengan niatan sederhana,
kata mereka, bahwasanya manusia tidak hanya cukup memberikan asupan untuk tubuh
dengan hanya mengisi perut. Namun, bacaan-bacaan pun diperlukan manusia,
khususnya bacaan sastra.
Buku-buku
sastra tersebut, yang berupa puisi, cerpen, dan novel akan mereka letakkan di
sebuah wakul, tempat nasi yang
terbuat dari anyaman bambu yang biasanya digunakan oleh warga desa.
Wakul Pustaka itu kemudian mereka tawarkan ke warung-warung makanan yang ada di
Boja. Dengan begitu, para pembeli akan menyantap buku-buku sastra tersebut. Mereka
bisa menikmati puisi, cerpen atau novel atau bahkan buku-buku umum lainnya sembari
menunggu makanan disajikan, atau selepas menyantap makanan.
Tentu
sudah sangat wajar kita temukan di warung-warung makan, bertebaran koran-koran
yang setiap hari diletakkan di meja-meja. Dengan dalih, para pelanggan merasa
sedikit tergoda untuk membaca berita-berita atau apa saja yang ditawarkan dalam
koran.
Godaan
Wakul Pustaka seolah ingin menawarkan
jika bacaan umum, dan sastra pada khususnya, itu juga sangat diperlukan untuk
asupan gizi bagi jiwa manusia. Barangtentu, selain buku-buku dari tokoh-tokoh
sastra nasional, buku terbitan komunitas mereka pun akan ditampilkan.
Jika
ternyata dalam buku-buku bacaan tersebut juga didapati penulis lokal yang
ternyata dikenal oleh para pelanggan di warung, KLM pun sangat berharap dengan
begitu setidaknya akan membuat masyarakat Boja tergugah untuk mengenal dunia
komunitas, dunia baca, dan dunia tulis-menulis lebih lanjut.
Lebih-lebih
akan semakin mengepakkan sayap KLM yang selama ini berproses di Taman Baca Masyarakat
(TBM) Pondok Maos Guyub di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kendal. Banyak
aktivitas yang dilakukan oleh KLM di taman baca tersebut.
Misalnya,
Reading Group, proses tadarus novel
buku dengan pelan-pelan setiap seminggu sekali yang dilakukan bersama anak-anak
seusia sekolah di lingkungan desa tersebut. Dari mulai pembacaan novel-novel
sastrawan Indonesia, hingga tokoh dunia semacam Ernest Hemingway dengan
karyanya The Old Man and The Sea pun
sempat disuntuki di ruang taman baca kampung tersebut. Bayangkan!
Bahkan,
sempat pula dilakukan penghargaan tahunan yang diberikan kepada penulis puisi,
cerpen, pembaca puisi, dan beberapa pelaku kreatif lainnya yang semua berasal
dari lingkungan tersebut.
Segala
aktivitas itu tentu dapat dicontoh dan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain.
Tentu butuh kesadaran dan penyadaran. Baik bagi para pegiat agar siap berdarah-darah
menyusun strategi gerakan. Dan, dukungan bagi siapa saja untuk turut serta
meramaikan, menyuarakan, dan menjaga makna gerakan literasi tersebut. Tentu
semua akan berjalan beriringan. Patut kita contoh apa yang telah dilakukan KLM
tersebut.***
─Setia Naka
Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini
sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.
Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2016)
(Bukan) Mantan Aktivis
aku
bukan aktivis itu
yang
mondar-mandir
mentereng
dengan jas pekat
berisi
logo-logo masa depan
bertaring
dengan kancing emas
bergelantungan
kenangan
dan
doa-doa ayah ibu
sebagai
mahasiswa
yang
sering lupa jadwal pulang
mengakrabi
kampung halaman
aku
bukan aktivis itu
yang
kerap mendengkur
di
gedung-gedung megah
yang
katanya diciptakan
dari
keringat degub jantung
dan
kepalan tangan kirimu
aku
bukan aktivis itu
arjuna
yang selalu sigap
menggemborkan
luapan visioner
tentang
masa depan pondasi sarjana
dan
segala hal tentang iman
kepada
roda ekonomi tetangga
sudahlah,
aku bukan aktivis itu
hari-hariku
hanya kemalasan, katamu
aku
hanya deretan huruf
yang
sering lepas
dari
tombol-tombol ponselmu
setiap
hari
hanya
memimpikan daun-daun hijau
bermekaran
di atas batu
dan
sisa reruntuhan bangunan
tubuhku
sendiri
lalu
sekarang apa maumu
aku
masih sama seperti dulu
setiap
pagi hanya menjadi puisi
menjadi
koran
yang
kerap ditumbuhi berita mati
siang
hari,
berkutat
bayang-bayang kamar mandi
sore
hari menakar hidup
dengan
segelas kopi
lalu
malamnya lagi,
aku
lari darimu
yang
sedang memikirkan
banyak
perkara
perihal
rindu dan benci
yang
tumbuh
di
belahan dada paling kiri
ah,
itu-itu lagi,
katamu,
semua
seakan berjarak
menjadi
iman
yang
terbenam di bak mandi
dan
kau tak lagi mau menepi
menemani
kesekian kalinya
untuk
tidak menjadi masa lalu
yang
sering aku lukai
Kendal,
Oktober 2016
Sebagian yang Luput
Aku
lah sebagian itu
Dari
yang luput
di
hidupmu
Kita
sempat bakar diri
Kepada
doa kita
yang
sebagian lagi dipisahkan
aku
mengeras
di
dadamu yang leleh
Sebab
sepertiga malam
hingga
paginya,
Selepas
tubuh-tubuh berjatuhan
Kita
seperti waktu
yang
beku
Diliburkan
setiap kali
Orang-orang
sibuk
Memilih
diri sendiri
Ia
seperti waktu
Menyaksikan
masa lalu
yang
banyak dicari
di
hari paling minggu
Ia
seperti pagi, dua hari lalu
kita
masih disibukkan
dengan
lonceng
dengan
sirine
dan
gambar atap rumah
yang
bocor
Mereka
pastikan semua
bahwa
tak ada lagi bagian lain
Selain
tubuh-tubuh yang tanggal
Kendal, Oktober 2016
Langganan:
Postingan (Atom)