Narasi Bus Masyarakat Kita
Oleh Setia Naka Andrian
Kita
tentu paham, transportasi umum di negeri ini tentu masih meriwayatkan berderet
persoalan yang belum kunjung selesai. Terutama di Semarang. Meskipun Pemerintah
Kota (Pemkot) telah menciptakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang dengan patokan
tarif yang begitu murah, sekali jalan hanya dengan biaya umum Rp 3.500, dan
pelajar hanya Rp 1.000. Namun masih saja menyisakan pekerjaan rumah yang
dilontarkan masyarakat. Misalnya saja terkait kenyamanan, ketersediaan bus,
serta jalur operasi.
Wali
Kota Semarang, Hendar Prihadi (Radar Semarang, Minggu, 8/1) mengungkapkan bahwa
pihaknya terinspirasi atas peristiwa ‘Om Telolet Om’ untuk menarik minat
masyarakat agar beralih ke transportasi umum. Momen tersebut dimanfaatkan
Pemkot dengan meluncurkan armada baru. Godaan diberikan dengan sebanyak 20
armadanya dilengkapi dengan klakson telolet. Akan diluncurkan pada Kamis (12/1)
untuk Koridor I Mangkang - Penggaron. Selanjutnya, pada bulan Februari 2017,
akan diluncurkan armada Koridor V PRPP – Dinar Mas, dan Koridor VI Undip –
Unnes.
Upaya
penambahan armada bus BRT serta perbaikan lainnya yang dilakukan Pemkot
Semarang, tentu menjadi jalan tersendiri dalam rangka pemenuhan alat
transportasi umum yang memadahi. Hal tersebut tentu menjadi godaan tersendiri
dan akan membentuk mental masyarakat kita untuk lebih menggemari angkutan umum
daripada menggunakan kendaraan pribadi. Paling tidak, upaya tersebut akan
sedikit mengurangi beragam persoalan lalu lintas, termasuk kecelakaan dan
kemacetan di jalan raya.
Jika
kita simak saat ini, kemacetan yang menggila sudah tidak lagi menjadi milik
ibukota semata. Angka kecelakaan lalu lintas pun tiap tahun selalu meningkat. Kota-kota
lain seperti Semarang, kini turut serta meramaikan persoalan tersebut. Barang
tentu, kecelakaan, kemacetan, hingga kontak emosi bagi para pengguna jalan itu
sebagian besar disebabkan karena kepadatan arus kendaraan.
Tak Percaya Angkutan Umum
Selama
ini, masyarakat kita seakan tidak lagi percaya dengan keberadaan transportasi/angkutan
umum. Mereka berdalih, bahwa dengan menggunakan angkutan umum, perjalanan
mereka akan lebih lambat untuk sampai tujuan. Lebih lagi, perihal penyelenggara
jasa angkutan umum yang dinilai kerap kurang berpihak kepada masyarakat kita.
Serupa dengan sepenggal pengisahan God Bless dalam lagunya Bis Kota berikut.
Kulari mengejar laju bis kota.
Belomba-lomba saling berebutan. Tuk sekedar, mendapat tempat di sana. Kucari
dan terus kucari-cari. Namun semua kursi telah terisi dan akhirnya aku pun
harus berdiri. Bercampur dengan peluh semua orang. Dan bermacam aroma bikin
kupusing kepala. Serba salah, nafasku terasa sesak. Berimpitan berdesakan,
bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya. Kemanapun naik bis kota.
Dalam
lagu tersebut, begitu jelas bagaimana bus kota diriwayatkan. Berebut bus kota, kursi
penuh, serta bermacam aroma keringat yang membuat udara pengap. Hingga ditegaskan,
dengan terpaksa bus kota akhirnya hanya diminati orang-orang tak punya saja.
Dikisahkan oleh /rif, dalam pengisahan serupa, bus kota hanya dinikmati bagi
orang tak punya saja, Salah Jurusan. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup
untuk bayar bis. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis
kota. Ku terjepit dalam bis. Yang telah penuh beraneka aroma.
Lagu
berjudul Bis Kota yang dipopulerkan
Franky Sahilatua pun memberikan ruang pengisahan serupa mengenai bus kota.
Berikut syairnya, Berjalan di bawah
lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan. Di
hempas oleh bis kota. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang.
Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Bis kota
sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak
para penumpang yang bergantungan. Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya
yang panas. Debu-debu ramai beterbangan dihempas oleh bis kota.
Belum
lagi yang dikisahkan Slank dalam lagunya berjudul BMW. Kemacetan, kesumpekan, menjadi santapan masyarakat kita. Berikut
penggalan syairnya, Kebenaran mau rekaman
di Jack Sound. Naik bis dari Potlot ke Pluit. Jalanan berantakan, semberautan.
Agak sumpek, macet... Sore hari capek habis rekaman. Naik taksi dari Pluit ke
potlot. Biar cepat terpaksa lewat jalan tol. Tetap aje (uughhh) macet...
Beberapa
lagu tersebut, setidaknya telah mewakili seabrek riwayat persoalan transportasi
umum kita. Bus sebagai salah satu angkutan umum yang sesungguhnya diidamkan
masyarakat kita. Namun karena angkutan umum kita banyak menyisakan persoalan,
akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.
Mengakar Lama
Walaupun
sesungguhnya, narasi bus sudah begitu lama mengakar di benak masyarakat kita. Jika
kita tengok, misalnya saja pada anak-anak muda (remaja) sejak era 60-an, mereka
telah menggemari dan begitu akrab dengan narasi tentang bus. Hingga mereka
tergiring melalui pengisahan syair Koes Plus dalam lagu Bis Sekolah, dalam penggalan berikut. Bila ku pergi bersama kekasihku. Ku kan merasa gembira riang slalu. Bila
menunggu sendiri. Sendiri hatiku sunyi. Dan hatiku kan bernyanyi. Bernyanyi
lagu sepi. Bis sekolah yang kutungu. Kutunggu tiada yang datang. Ku telah lelah
berdiri. Berdiri menanti nanti.
Narasi
tentang bus bagi masyarakat kita, tentu telah meriwayatkan banyak hal. Dari
mulai kritik terhadap gerak roda transportasi, fenomena telolet yang menggila, upaya
pemerintah dalam menanggapinya, hingga pada wilayah keindonesiaan. Barang
tentu, cerminan masyarakat kita akan begitu nampak ketika berada di bus. Misalnya
saja, bagaimana penyikapan ‘kelelakian’ atau ‘kepemudaan’ masyarakat kita.
Bagaimana laku kita ketika melihat ada penumpang lain yang berjenis kelamin perempuan,
ibu-ibu yang menggendong anak, orang cacat, atau bahkan bagi penumpang yang
lebih tua. Kita akan tetap diam saja, pura-pura baca buku, pura-pura memejam
(mengantuk), atau kita relakan tempat duduk kita untuk mereka. Walaupun sudah
pasti, banyak tempelan di bus yang mengingatkan kita.***
─Setia
Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini
sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.