Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis : Tubagus P. Svarajati
Penerbit : Bukusaya
Cetakan : Agustus 2016
Jumlah Halaman : xxv + 260 halaman
ISBN :
978-602-9682-65-6
Lewat esai-esainya, Tubagus P. Svarajati lugas
dalam berpendapat terkait dengan riwayat dan masa depan Pecinan Semarang.
Cobalah
menyusuri Semarang saat menyambut Imlek. Antusiasme itu sangat terasa di sudut
pecinan ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Mulai
Wotgandul, Gang Baru, Gang Pinggir, sampai Gang Lombok. Pasar Imlek Semawis
ke-14 juga digelar di Semarang pada tahun Ayam Api ini.
Semarang
memang memiliki etnis Tionghoa yang cukup banyak. Kelentengnya saja mencapai
puluhan, persisnya 70.
Dan,
berbicara pecinan di Semarang tentu tak lepas dari sosok Tubagus P.
Svarajati. Ia dianggap sosok paling representatif dalam memberikan pandangan
tentang keberadaan dan arus gerak seni-budaya pecinan
di Semarang.
Dalam bukunya, Pecinan Semarang dan
Dar-Der-Dor Kota (2016), melalui esai-esainya yang terbagi menjadi empat, yakni pecinan,
kota, seni, dan tokoh, Tubagus menyinggung mengenai segala sesuatu yang terkait
dengan pengembangan/penataan kawasan.
Terutama
tentang kesenian dan seni rupa di Semarang. Khususnya dalam lingkup ruang gerak
di kawasan Pecinan.
Melalui
buku ini atau jika siapa saja yang sempat bersinggungan dan dihadapkan langsung
pada sosok Tubagus, pasti akan muncul pandangan bahwa orang ini nyinyir dan
sinis. Namun, Tubagus kerap diakui berbagai kalangan sebagai orang yang lugas
dalam setiap berpendapat terkait riwayat dan masa depan pecinan di Semarang.
Kejernihan pun selalu ia torehkan dalam esai-esainya di buku ini.
Tubagus
menggarap berbagai hal yang timbul dan berkembang dari masyarakat Pecinan
Semarang. Gagasan dan ktitik pedasnya ia kelola apik atas kerusakan lingkungan,
transportasi, turisme, gerak kesenian dan sastra (folklore). Pada salah satu
esainya yang bertiti mangsa 2012, Tubagus berpendapat bahwasanya merancang
pembangunan kawasan pecinan perlu dipikirkan. Sebagai destinasi wisata terpadu
agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan.
Karena
itu, semuanya harus terorganisasi dengan baik. Pihak pengelola yang kerap
mengaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang pun tak boleh hanya terfokus
pada sisi komersial.
Ia
berharap, dalam segala pengelolaan warga dan tata wilayah, harus jelas bagaimana
konsepnya. Misalnya, dalam tataran konsep turisme. Harus jelas akan seperti apa
yang hendak dipraktikkan dan dijalankan.
Ada
tidak dampak positif bagi warga. Bagi Tubagus, setiap bangunan kebijakan yang
menyangkut warga haruslah dapat meluaskan lapangan kerja, meningkatkan devisa,
dan memeratakan pembangunan antarwilayah.
Tentu,
yang paling utama adalah masyarakat lokal harus terlibat langsung dalam segenap
perencanaan dan pengelolaan. Dan, warga benar-benar mengakui sebagai penikmat
pertama.
Buku
ini juga memuat surat terbuka yang ditulis Tubagus untuk wali kota Semarang, Gonjang-Ganjing Pecinan Semarang (hlm.
77). Ia lontarkan catatan atas apa yang terjadi dan tentu ia berikan pula
bagaimana rekomendasinya.
Disebutkan
bahwasanya Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan
wakil atau representasi warga Pecinan Semarang. Rekomendasinya, bilamana Kopi
semawis tetap hendak berkiprah dan hendak memenuhi janjinya perihal “Revitalisasi
Pecinan Semarang”, mereka harus melakukan riset yang memadahi.
Segala
hal itu berkaitan erat dengan situs-situs warisan budaya (heritage) yang bermekaran. Tubagus beranggapan, peran pemerintah
atau lembaga apa pun di luarnya hanyalah sebagai akselerator.
Gerakan
serupa itu lazim disebut sebagai aksi masyarakat madani (civil society). Tujuannya, kelak orang-orang dalam kota atau yang dari
luar mengenal (penuh) Pecican sebagai pusat kebudayaan, terutama di Semarang.
Kebinekaan yang diimpikan pun pelan-pelan tak hanya utopis.***
─Setia
Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi
(2016).