Kampus Bukan 'Menara Taring'
Oleh Setia
Naka Andrian
Barang
tentu, hal tersebut akan memberi ‘sedikit’ perbedaan ketangguhan yang dialami
akademisi masa lalu dengan akademisi masa kini. Melalui tempaan yang begitu
keras, dilakukan berulang-ulang, maka ilmu akan sangat membekas dan kuat
tertanam dalam diri. Seharusnya dengan segala kemudahan dan perkembangan
teknologi saat ini, akan mampu menciptakan generasi yang lebih unggul. Jika
generasi kita mampu memanfaatkan segala kelebihan-kelebihannya. Termasuk
terkait teknologi yang tentu tidak ditemukan pada masa lalu. Tinggal bagaimana sikapnya
memuliakan gelimang kecanggihan tersebut, karena informasi dan segalanya sudah
dengan sangat mudah didapatkan.
Tentu
kita yakin, jika mahasiswa, masyarakat akademis yang berproses di kampus,
memiliki cita-cita mulia untuk memajukan dirinya dalam tugas sebagai manusia
terdidik. Hal tersebut sejalan dengan yang dipaparkan Satmoko (1999) bahwa
manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa (untuk media berpikir dan
berkomunikasi) sehingga mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi,
membedakan antara baik-buruk, beriman dengan yang gaib, menahan nafsu yang
liar, memiliki kodrat, berusaha mengejar cita-cita idealnya, membina hubungan
sosial dengan orang lain, hidup bermasyarakat dan berusaha menguasai sumber
daya alam.
Perlakuan Lain
Maka
sudah sepatutnya, ada perlakuan lain. Tindakan beda kepada mahasiswa dalam
aktivitas pemerolehan ilmu di kampus. Harus ada upaya lain dalam pengelolaannya
antara siswa dengan ‘maha’ siswa. Barang tentu mahasiswa sudah sepantasnya
mendapat wilayah luas dalam pengembangan dirinya. Sudah saatnya mahasiswa mampu
mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk. Lalu
tugas pengajar/dosennya bagaimana? Haruskah benak mahasiswa di kampus masih
beranggapan sebagai gedung-gedung yang seram?
Tentu,
mahasiswa, generasi perubahan bangsa ini sangat mengidamkan kampus yang segar,
bergairah dan sangat anak muda. Lingkungan yang akan membuat mereka lebih
leluasa dalam berpendidikan dan mengembangkan diri. Mengingat, posisi usia
mahasiswa sangatlah perlu dipompa semaksimal dan seoptimal mungkin untuk
menggapai segala angan dan cita-cita. Kita juga tentu tidak ingin, melihat
lebih banyak lagi persoalan-persoalan yang bergelimang dalam dunia anak muda
masa kini. Misalnya terkait kenakalan-kenakalannya, gaya hidup yang terlalu
bebas, bahkan hingga menuju tindak kriminalitas.
Sepertinya
kita perlu kembali memutar ingatan menuju pemikiran pendidikan Ki Hadjar
Dewantara yang begitu mulia menjadi pijakan pendidikan di negeri ini.
Konsep-konsep yang diberikannya tentu tidak kalah dengan pemikiran dan teori
pendidikan modern yang berkembang hingga saat ini. Barang tentu sudah sangat
kita ketahui, bahwa Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri-Nga
dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang kita ketahui
sangat terkenal itu. Konsep tersebut di antaranya Ngerti (kognitif), Ngrasa
(afektif) dan Nglakoni (psikomotorik).
Belum
lagi konsep belajar yang selayaknya taman, proses pembelajaran yang
menyenangkan. Melakoni dan menyelesaikan segala sesuatu dengan pemecahan
bersama melalui perbincangan-perbincangan yang menyenangkan. Jika sudah seperti
itu, tentu kita pelan-pelan akan sedikit menyingkirkan wabah penyakit dari gerakan
teroris dan faham-faham radikalisme lainnya yang saat-saat ini begitu berkembang
pesat di negeri ini, tidak sedikit pula yang bermunculan dan mengakar begitu
kuat di kampus-kampus.
Tentu
pemerintah dan lembaga-lembaga terkait termasuk kampus, tidak boleh gegabah.
Jangan sampai timbul aktivitas latah akibat ada niatan besar untuk pencapaian
program secara cepat dan instan. Pendidikan nasionalisme memang sangat penting
dan sangat perlu. Namun, segala itu tidak dapat begitu saja dilakukan dengan
mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Segala itu membutuhkan proses.
Membutuhkan perjalanan dan perlakuan pelan melalui pembiasaan
aktivitas-aktivitas yang sehat.
Sudah
saatnya kita memberikan kebebasan sepenuhnya bagi mahasiswa untuk berekspresi
positif. Seluas-luasnya. Jangan sampai kampus menetapkan larangan-larangan yang
terkesan menyudutkan mahasiswa atau seolah-olah memposisikan mahasiswa sebagai
manusia yang selalu salah. Tentu kita sejenak harus sedikit merenungkan, bahwa
sejatinya mahasiswa adalah ujung kemuliaan siswa. Mereka pada posisi atas. Beri
kesempatan yang paling atas untuk mengembangkan posisi mulianya sebagai
masyarakat akademis.
Seperti
halnya yang disampaikan Prayitno (2009) pemuliaan kemanusiaan manusia dalam
kehidupan sehari-hari nampak melalui aktualisasi dimensi-dimensi
kemanusiaannya. Di antaranya dimensi kefitrahan, keindividulanan, kesosialan,
kesusilaan, dan keberagamaan. Jika penampilan kelima dimensi kemanusiaan
tersebut sudah benar-benar tertanam, maka setidaknya mahasiswa akan merasa
lebih dimuliakan lebih dari kemuliaannya. Selanjutnya, potensi-potensi baru pun
akan mengaliri lautan akademis kita. Kampus bukan lagi menjadi ‘menara taring’
bagi mereka. Semoga.***
─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI
Semarang.