Film dan Ikhtiar Kesadaran Kolektif
Oleh Setia
Naka Andrian
Salim
Said dalam bukunya Profil Dunia Film
Indonesia (1982) mengisahkan bahwasanya Usmar Ismail berusia 29 tahun
ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950. Usmar konon
berkata, “Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial.” Dengan bakat dan
kemauan ia bertekad menciptakan film nasional. Terbukti, film pertamanya Darah dan Doa (kisah Long March
Siliwangi) mengalami keterbatasan dana ketika sedang melakukan pemotretan
(pengambilan gambar) di Subang Jawa Barat.
Pengisahan
tersebut setidaknya dapat dijadikan pijakan generasi muda kita, khususnya bagi
sineas yang sedang berasyik-masyuk dalam gegap komunitas. Bahwa sebuah proses
kreatif harus tetap dilakukan, apa pun yang terjadi. Persoalan dana produksi
pun sejak masa Usmar hingga saat ini menjadi masalah klasik. Tiada alasan apa
pun yang dapat menghentikan roda berkesenian.
Seperti
di Kendal, Rumah Kreatif Film Kendal (RKFK) telah menggelar pemutaran perdana
filmnya beberapa waktu lalu pada 30 Juli 2017 di Pendopo Kabupaten Kendal. Malam
itu, di ruang pemutaran yang seadanya, ruang akustik yang entah, sound system ala kadarnya dan
pencahayaan yang semena-mena, tak membuat film berjudul Reksa dengan durasi 44 menit gagal menghampiri khalayak. Gedung
pendopo malam itu begitu penuh dengan kisaran 300 pengunjung, sebagian besar di
antara mereka adalah anak muda.
Hal
serupa itu sekiranya menjadi bukti nyata, bahwa masyarakat kita begitu
menggemari film. Ketimbang misalnya, jika dihadapkan dengan pertunjukan teater,
apalagi jika diminta untuk merampungkan sebuah kisah dalam novel. Maka
terbukti, akhir-akhir ini banyak bermunculan film yang bersumber dari kisah
novel. Menjadi upaya lain untuk tetap menghadirkan kemuliaan kisah novel
melalui sebuah karya visual dan audio. Lengkap sudah, masyarakat kita hanya
diminta untuk duduk manis saja, bisa pula tiduran, atau dengan cara menonton
seperti apa pun. Mereka tetap bisa menikmati guyuran kisah dengan tenang.
Apalagi
film garapan Mustofa, sineas yang baru berusia 19 tahun tersebut mencoba
mengangkat persoalan yang begitu dekat dengan masyakarat Kendal. Benak penonton
diguyur bahasa, gerak, seni, budaya, dan segala hal yang begitu lekat dengan
kampung halaman mereka. Dari mulai barongan khas Kendal, tradisi mencari ikan
(gebyok), hingga persoalan pelik mengenai Tenaga Kerja Wanita (TKW) begitu rupa
dihadirkan dalam jagat layar mereka.
Mengingat,
Kendal merupakan pengirim TKW terbanyak di Jawa Tengah selepas Cilacap. Ini tentu
menjadi persoalan lain, karena RKFK berencana untuk memutar keliling film ini
ke kampung-kampung. Akan beda ceritanya jika suatu ketika film tersebut diputar
dalam sebuah kampung yang ternyata didapati banyak keluarga TKW. Entah, segala
ini dapat melukai mereka atau justru membuat mereka sadar.
Meski
siapa pun berharap, melalui tangan Mustofa, sineas yang baru saja mendapatkan
beasiswa di Jogja
Film Academy tersebut, dapat membuat film ini
benar-benar menjadi ikhtiar untuk memantik kesadaran kolektif masyarakat kita. Dihadirkannya
sebuah keluarga petani miskin. Mereka adalah Reksa, seorang anak SD yang
diperankan oleh Wahyu Zulfahmi. Dilahirkan dari ayah bernama Sukri yang
diperankan Jatmiko dan ibu bernama Sum yang diperankan Siti Nur Azizah.
Awalnya
Reksa sangat tidak menginginkan jika ibunya berangkat kerja ke Malaysia. Begitu
pula ibunya, ia pun sama seperti Reksa. Apa pun yang terjadi, tetap ingin
menjalani segenap hidup di negeri sendiri. Namun segala itu tak bertahan lama.
Sukri, sang ayah tak kuasa menahan godaan dari tetangganya yang ternyata dapat
hidup lebih layak karena sang istri bekerja di luar negeri. Setiap kali
mengantarnya anaknya, Sukri menggunakan sepeda butut. Selalu berpapasan dan
bertemu dengan tetangganya yang mengenakan sepeda motor saat mengantar anaknya.
Sepeda motor hasil keringat sang istri yang bekerja di luar negeri.
Pada
akhirnya, Sukri nampak naik pitam. Terlihat memaksakan agar Sum mau bekerja di
Malaysia. Sum pun tak kuasa menolak, begitu pula Reksa. Meskipun, keseharian
Reksa nampak berantakan selepas ditinggal ibunya. Segala ketidakberesan pun
dijalani Reksa, sebagai anak yang begitu merindukan kehadiran sosok ibu, yang
baginya sangat tak tergantikan. Reksa mencuci pakaiannya sendiri, suatu ketika
baju seragamnya tak kering. Lantas ia tetap mengenakan seragam itu ke sekolah.
Akhirnya, ia diledek temannya. Reksa jadi korban.
Selain
beberapa hal tersebut, RKFK juga berupaya mengajak masyakarat untuk menumbuhkan
rasa kecintaan dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi serta dimiliki
daerahnya. Banyak kearifan suatu wilayah yang ternyata belum tergarap, belum
tercatat, dan bahkan semakin tak dikenali. Tentu segala ini sesunggunya menjadi
pekerjaan rumah bersama. Segenap masyarakat punya hak untuk menyelamatkannya. Sebelum
Kendal benar-benar lupa ingatan, karena tiada lagi yang sanggup atau terketuk
hati untuk menyelamatkan riwayat kampung halaman. Meskipun dalam peluncurannya,
film Reksa tak dihadiri oleh pejabat.
RKFK mengaku telah mengirim undangan kepada pemimpin dan segenap dinas terkait.***
─Setia Naka
Andrian, Dosen UPGRIS. Pencatat gerak seni budaya
Kendal.