Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku :
Kolektor Mitos
Penulis :
Halim Bahriz
Penerbit :
Langgam Pustaka
Cetakan : Januari
2017
Jumlah Halaman : viii + 110 halaman
ISBN :
978-602-60094-3-2
Dewasa
ini tentu tidak sedikit cerita-cerita yang bermunculan ditulis oleh penyair,
baik dipublikasikan dalam media massa maupun media lainnya. Tidak sedikit pula
dijumpai cerita-cerita tersebut dengan ciri khas aroma syair. Narasi-narasi yang
terbentuk, pengisahan suatu cerita atau kejadiannya, deskripsi suatu kejadian
atau peristiwa dalam ceritanya, bahkan tema dan judulnya sangat lekat dengan
puisi.
Tidak
ada yang salah, baik puisi yang menyerupai prosa ataupun prosa yang menyerupai
puisi. Namun, setidaknya keduanya harus memiliki batasan-batasan yang dapat
dipercayai, paling tidak oleh pembaca. Penulis haruslah mampu meyakinkan
pembaca, bahwasanya yang ditulis itu puisi, atau cerpen.
Fenomena
tersebut agaknya dapat dijumpai dalam kumpulan cerpen Kolektor Mitos karya Halim Bahriz (Langgam Pustaka, Januari 2017),
yang setidaknya selain menulis cerpen, ia juga kerap menyandang gelar penyair,
dan tak sedikit ia dinobatkan sebagai juara dalam ajang lomba penciptaan puisi.
Halim
begitu kental menyuguhkan kehadiran puisi-puisinya dalam cerpen. Bangunan
narasi dan pengisahannya begitu kental ia tanami puisi-puisi. Entah, apakah ketika
menulis cerita ia begitu kesulitan meninggalkan puisi. Atau ketika menulis
cerita ia bersanding dengan puisi-puisinya, lalu ia comoti mana yang bisa
ditaburkan dalam cerita yang sedang dibuatnya.
Dalam
cerpen Sebuah Makam dalam Cahaya, misalnya.
Halim seakan terlihat sangat berambisi menghadirkan cerita yang sangat puisi. Mereka terlalu banyak: Jilan dikeroyok. Ia
mulai merasakan tubuhnya semakin jauh. Ia dan tubuhnya saling melepas, menuju
keharuan yang tak perlu, dadanya disesaki kata yang tak mampu diucapkan lagi,
“Tidak! Tidak! Kenapa bahasa tak lagi mencukupi untuk menyatakan aku saja?!... (hlm.
2).
Tentu
menjadi kebaikan tersendiri jika pengisahan-pengisahan bernada puisi telah
bertabur erat dalam cerita. Kata-kata puitik hadir dan singgah dalam sebuah
bangunan narasi yang memadahi. Sehingga, akan menjadikan cerpen memiliki ruang
pembacaan yang berlapis. Selain harus menyibak segala sesuatu dalam bangunan
kisah, pembaca juga harus berkerut-kening dengan kode-kode yang begitu puitik
itu.
Pada
persoalan ini, Halim pun memiliki tugas keras dalam menghadirkan sandi-sandi
narasinya. Jangan sampai, beragam kode atau sandi-sandi yang digulirkannya
menjadi semacam kode rahasia yang tak terjangkau pembaca (gelap). Halim
pastinya harus sudah sanggup mempertimbangkannya, karena yang ia garap adalah
cerita.
Jangan
sampai kehadiran narasi-narasi puitik yang dihadirkan justru menjadi bumerang. Nilai
hakiki sebuah cerita yang dihadirkan tak mampu ditembus oleh pembaca. Meminjam
apa yang sempat disampaikan Agus Noor dalam sebuah forum diskusi, “kenapa harus
dikisahkan dengan rumit dan dengan teknik yang berjungkir-balik, jika dengan pengisahan
sederhana saja cerita sudah memikat?”
Hal
itu dapat menjadi pijakan, bahwa kisah yang sudah bagus, pasti sudah memiliki tempat
di hadapan pembaca, sudah memiliki daya pikat. Maka, pengisahan yang rumit atau
cerita yang menggunakan teknik berjungkir-balik, hanya untuk kisah-kisah yang
biasa-biasa saja. Agar kisah itu memiliki daya pikat di hadapan pembaca.
Dalam
cerpen berjudul Mutan, nampak pula
Halim membuka cerpennya dengan sangat puisi. Jingga tipis dari senja melapisi tembok kaca. Seperti mengecat cahaya
dengan kesementaraan yang berulang. Ben, sedang berbicara mengenai post-modern,
sedikit-sedikit, mirip roh kata-kata yang tersedak; momen tengil antara
ketiadaan waktu dan ruang yang kembali bernapas. (hlm. 64).
Dari
penggalan itu, nampak seperti apa kehadiran puisi dalam cerpen Halim. Pembaca
diajak mengembara, diberi tugas dan beban berat untuk memecah sandi-sandi yang
ia ciptakan. Hanya saja, ada kalanya hingga akhir cerita pembaca masih
kesulitan untuk memecahkan sandinya.
Walaupun
begitu, cerpen-cerpen lain dalam kumpulan cerpen ini, Halim kerap kali berhasil
dalam membawakan kisah-kisahnya. Halim sesunggungnya telah sanggup menghadirkan
kisah memikat dalam narasi-narasi sederhananya. Dalam Lelampak Lendong Kao, misalnya. Halim begitu rupa menghadirkan
persoalan kemanusiaan, rasa syukur, ketabahan, keimanan, dan penghambaan kepada
Tuhan.***