Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia
Naka Andrian
Gerak
kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat
kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya
disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap
dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam
aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh
tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu
saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita.
Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar
dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan
atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi,
lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah
dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap
sangat bermanfaat itu.
Dengan
dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan
waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga
kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa
yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih
berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala
itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika
hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat
kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar
atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya,
seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon
genggam.
Ketika
itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar
informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan
yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan
begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di
berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.
Kembali ke Masa Silam
Tradisi
yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk
kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita
masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa
pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali
dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita
sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar
menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari
tanggung jawab!
Namun
bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita.
Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di
ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan
saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup,
selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak
murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk
selalu disentuh.
Sudah
sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku,
koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut
kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan
seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan
sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari
pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar
belanja bulanan.
Upaya
pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan
bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar
ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu
sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat
perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk
kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel
pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi
jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun
kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu
ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap
detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa
berkilah apa-apa.
Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih
saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di
ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja,
hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru.
Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi
dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya,
segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat,
menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan
selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam
ruang-ruang media sosial kita.
Disadari
atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar
bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan
mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin
bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar
grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan
kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu,
segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi
masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi
yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu
saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan
gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa,
mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa
diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar
generasi di bawah kita?***